tribudhis
New member
Guru Biasa Yang Hendaknya Juga Biasa-Biasa Saja
Ada guru pemotivator yang tulisan di blognya ada ribuan, begini dia berkata
Jadilah guru biasa yang luar biasa, jadilah guru biasa yang berhati cahaya.
Slogan ini tentu luar biasa tetapi masalah yang ditimbulkan juga luar biasa.
Guru biasa yang luar biasa itu seperti apa, guru biasa yang berhati cahaya
Itu seperti apa bentuk dan tampangnya, atau kalau dihaluskan seperti apa
Sih tampilannya sehingga pantas diberi gelaran luar biasa berhati cahaya?
Belum lagi, bukankah slogan ini abstrak adanya, dan hanya enak di telinga
Tetapi bagaimana mewujudkannya, mungkin tidak ada yang tahu caranya.
Hanya saja untuk acara yang tujuannya memotivasi guru agar gairah kerja
Dan semangat pengabdian terus membara dan menggelora, ya boleh saja.
Lebih dari itu ... hmm pengalaman pribadi menjadi dosen tahunan lamanya
Justru mengkonfirmasi hal yang sebaliknya ... tak perlu menjadi guru biasa
Yang luar biasa, yang diperlukan adalah guru biasa yang hendaknya juga
Biasa-biasa saja ... dan mengapa seperti itu, karena begitulah seharusnya.
Guru yang luar biasa adalah guru biasa yang biasa-biasa saja … bukannya
Guru biasa yang luar biasa, karena guru biasa yang luar biasa itu tidak ada.
Yang ada adalah guru biasa yang hendaknya juga biasa-biasa saja karena
Hanya dalam kondisi seperti inilah seorang guru menjadi sangat luar biasa.
Setiap guru yang berusaha keras agar menjadi luar biasa. ujung-ujungnya
Pastilah sia-sia, setiap guru yang berusaha keras tetap biasa, pastilah dia
Sudah luar biasa, karena hanya yang berhasil tetap jadi biasa-biasa saja
Yang pantas untuk menyandang label luar biasa bagi pikiran dan jiwanya.
Lalu bagaimana menjadi guru biasa yang hendaknya juga biasa-biasa saja?
Ha ... ha ... ha ... di sinilah menarik dan luar biasanya menjadi guru biasa.
Tetapi maaf, khusus untuk stanza kedua istilah dosenlah yang diajak serta
Karena saya memang tidak pernah jadi guru, saya dosen yang dosen biasa.
Dosen itu menurut saya hanya ada tiga tipenya, begitu saya sering berkata
Di depan pertemuan dengan kolega dan … pertama tentunya dosen biasa
Yang goblok-goblok saja, lalu saya biasanya berhenti lalu serius bertanya
Siapa merasa masuk tipe ini, dan biasanya hanya terangkat tangan saya.
Tangan dosen yang lain? Kalau bukannya tetap terlipat, yah … diam saja.
Ciri utama dosen biasa yang goblok adalah selalu belajar tak ada hentinya,
Habis goblok kan memang harus begitu, ini kalau bicara tentang ilmunya.
Kalau bicara tentang memberi nilai, dosen biasa yang goblok seperti saya,
Amat sangat sering dan bahkan selalu memberi nilai ‘A’ pada mahasiswa,
Karena memang ada tiga alasannya, yang pertama karena saya biasanya
Memperoleh nilai A ketika kuliah dulu, sehingga stok nilai A di gudang saya
Jumlahnya luar biasa banyak, tak akan pernah habis dibagikan, gratis pula.
Jadi tidak ada alasan tidak beri mahasiswa nilai A, apalagi bukankah fakta
Kelak di kemudian hari mereka hampir pasti bisa jauh lebih hebat dari saya?
Jadi bagaimana saya yang goblok saja dulu memperoleh nilai A lalu mereka
Yang nanti pasti jauh lebih hebat dari saya tidak diberikan nilai yang sama?
Yang kedua karena dengan memberi nilai ‘A’ mereka pastilah amat gembira,
Dan … karena gembira timbullah semangatnya untuk belajar supaya nilai ‘A’
Yang diberikan mempunyai makna dan pada akhirnya sesuai kemampuannya.
Yang ketiga, jika seenaknya divonis dengan nilai minimum dan kelak ternyata
Dia tidak hanya menjadi jawara tetapi juga sangat ahli dalam ranah ilmunya,
Bukankah stigma nilai minimum selamanya ada padahal itu bukan realitanya?
Protes pun datang tidak hanya dari mahasiswa tetapi juga dari sesama kolega.
Kalau dari mahasiswa biasanya karena iri motifnya, kalau dari kolega asalnya,
Pastilah karena tidak termasuk tipe dosen pertama, yang goblok dan biasa saja,
Melainkan tipe kedua atau ketiga, kalau bukannya merasa pintar ya sok pintara
Ha ... ha ... ha ... baca sejarah bung, kan murid selalu lebih hebat dari gurunya!
Dosen dan guru merupakan profesi yang sama setara hanya berbeda stratanya.
Dosen penting, guru juga penting, karenanya tidak bisa keduanya saling berkata
Yang satu lebih penting dari yang lain … keduanya pendidik dan anak didiknya
Jelas sekali manusia … ada yang belia, ada yang remaja, ada yang sudah tua.
Jadi usia tidak terlalu penting karena semua usia jelas boleh belajar kapan saja.
Kalau usia anak didik menjadi kurang penting lalu apanya yang paling utama?
Tentu saja gurunya, tentu dosennya, karena keduanya bukan pengajar semata,
Keduanya pemberi teladan, teladan dalam dunia idea, teladan dalam dunia nyata
Jujur, lurus, terbuka, ceria, tidak ada kebencian dalam perilakunya … sifat mulia.
Penuh empati, pemaaf, bersedia merasakan penderitaan sesama … sifat utama.
Cerdas dan menguasai ilmu pengetahuan juga harus menjadi nilai tambahnya,
Tetapi yang paling dicari oleh seluruh anak didik di mana saja menimba ilmunya
Adalah tipe guru atau dosen biasa, tidak berlomba-lomba ingin tampil luar biasa,
Tetap rendah hati, pantang berdusta, dan tidak agulkan dirinya yang paling bisa.
Memang pernah ada yang berkata bahwa guru biasa bisanya hanyalah bercerita.
Lalu guru yang agak lebih dari biasa, mampu bercerita sekaligus menjelaskannya.
Lalu guru di atas biasa, bisa bercerita, menjelaskan, dan demonstrasikan ilmunya.
Tetapi yang dicari sebenarnya tetap saja guru biasa, yang selalu bersikap biasa,
Namun mampu memberi inspirasi pada anak didiknya, inspirasi guna sebisanya
Menjadi yang terbaik bagi dirinya dan … nilai akhir sama sekali bukan ukurannya.
Asalkan anak didik terinspirasi untuk belajar sampai batas kemampuan terbaiknya,
Seorang guru boleh menepuk dada – walau mungkin hanya di dalam kamar saja,
Bahwa dia tidak sia-sia ditunjuk menjadi pendidik karena telah jalankan tugasnya.
Memberi inspirasi adalah segala-galanya dalam agungnya peradaban manusia.
Selamat mengabdi, selamat berbakti, semoga selalu ceria, gembira dan bahagia
Karena tidak pernah terjerat dalam jaring maut bangga menjadi yang luar biasa.
Tetap biasa tetapi memberi inspirasi bagi siapa saja untuk menjadi apa adanya.
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Poznan, Poland
Ada guru pemotivator yang tulisan di blognya ada ribuan, begini dia berkata
Jadilah guru biasa yang luar biasa, jadilah guru biasa yang berhati cahaya.
Slogan ini tentu luar biasa tetapi masalah yang ditimbulkan juga luar biasa.
Guru biasa yang luar biasa itu seperti apa, guru biasa yang berhati cahaya
Itu seperti apa bentuk dan tampangnya, atau kalau dihaluskan seperti apa
Sih tampilannya sehingga pantas diberi gelaran luar biasa berhati cahaya?
Belum lagi, bukankah slogan ini abstrak adanya, dan hanya enak di telinga
Tetapi bagaimana mewujudkannya, mungkin tidak ada yang tahu caranya.
Hanya saja untuk acara yang tujuannya memotivasi guru agar gairah kerja
Dan semangat pengabdian terus membara dan menggelora, ya boleh saja.
Lebih dari itu ... hmm pengalaman pribadi menjadi dosen tahunan lamanya
Justru mengkonfirmasi hal yang sebaliknya ... tak perlu menjadi guru biasa
Yang luar biasa, yang diperlukan adalah guru biasa yang hendaknya juga
Biasa-biasa saja ... dan mengapa seperti itu, karena begitulah seharusnya.
Guru yang luar biasa adalah guru biasa yang biasa-biasa saja … bukannya
Guru biasa yang luar biasa, karena guru biasa yang luar biasa itu tidak ada.
Yang ada adalah guru biasa yang hendaknya juga biasa-biasa saja karena
Hanya dalam kondisi seperti inilah seorang guru menjadi sangat luar biasa.
Setiap guru yang berusaha keras agar menjadi luar biasa. ujung-ujungnya
Pastilah sia-sia, setiap guru yang berusaha keras tetap biasa, pastilah dia
Sudah luar biasa, karena hanya yang berhasil tetap jadi biasa-biasa saja
Yang pantas untuk menyandang label luar biasa bagi pikiran dan jiwanya.
Lalu bagaimana menjadi guru biasa yang hendaknya juga biasa-biasa saja?
Ha ... ha ... ha ... di sinilah menarik dan luar biasanya menjadi guru biasa.
Tetapi maaf, khusus untuk stanza kedua istilah dosenlah yang diajak serta
Karena saya memang tidak pernah jadi guru, saya dosen yang dosen biasa.
Dosen itu menurut saya hanya ada tiga tipenya, begitu saya sering berkata
Di depan pertemuan dengan kolega dan … pertama tentunya dosen biasa
Yang goblok-goblok saja, lalu saya biasanya berhenti lalu serius bertanya
Siapa merasa masuk tipe ini, dan biasanya hanya terangkat tangan saya.
Tangan dosen yang lain? Kalau bukannya tetap terlipat, yah … diam saja.
Ciri utama dosen biasa yang goblok adalah selalu belajar tak ada hentinya,
Habis goblok kan memang harus begitu, ini kalau bicara tentang ilmunya.
Kalau bicara tentang memberi nilai, dosen biasa yang goblok seperti saya,
Amat sangat sering dan bahkan selalu memberi nilai ‘A’ pada mahasiswa,
Karena memang ada tiga alasannya, yang pertama karena saya biasanya
Memperoleh nilai A ketika kuliah dulu, sehingga stok nilai A di gudang saya
Jumlahnya luar biasa banyak, tak akan pernah habis dibagikan, gratis pula.
Jadi tidak ada alasan tidak beri mahasiswa nilai A, apalagi bukankah fakta
Kelak di kemudian hari mereka hampir pasti bisa jauh lebih hebat dari saya?
Jadi bagaimana saya yang goblok saja dulu memperoleh nilai A lalu mereka
Yang nanti pasti jauh lebih hebat dari saya tidak diberikan nilai yang sama?
Yang kedua karena dengan memberi nilai ‘A’ mereka pastilah amat gembira,
Dan … karena gembira timbullah semangatnya untuk belajar supaya nilai ‘A’
Yang diberikan mempunyai makna dan pada akhirnya sesuai kemampuannya.
Yang ketiga, jika seenaknya divonis dengan nilai minimum dan kelak ternyata
Dia tidak hanya menjadi jawara tetapi juga sangat ahli dalam ranah ilmunya,
Bukankah stigma nilai minimum selamanya ada padahal itu bukan realitanya?
Protes pun datang tidak hanya dari mahasiswa tetapi juga dari sesama kolega.
Kalau dari mahasiswa biasanya karena iri motifnya, kalau dari kolega asalnya,
Pastilah karena tidak termasuk tipe dosen pertama, yang goblok dan biasa saja,
Melainkan tipe kedua atau ketiga, kalau bukannya merasa pintar ya sok pintara
Ha ... ha ... ha ... baca sejarah bung, kan murid selalu lebih hebat dari gurunya!
Dosen dan guru merupakan profesi yang sama setara hanya berbeda stratanya.
Dosen penting, guru juga penting, karenanya tidak bisa keduanya saling berkata
Yang satu lebih penting dari yang lain … keduanya pendidik dan anak didiknya
Jelas sekali manusia … ada yang belia, ada yang remaja, ada yang sudah tua.
Jadi usia tidak terlalu penting karena semua usia jelas boleh belajar kapan saja.
Kalau usia anak didik menjadi kurang penting lalu apanya yang paling utama?
Tentu saja gurunya, tentu dosennya, karena keduanya bukan pengajar semata,
Keduanya pemberi teladan, teladan dalam dunia idea, teladan dalam dunia nyata
Jujur, lurus, terbuka, ceria, tidak ada kebencian dalam perilakunya … sifat mulia.
Penuh empati, pemaaf, bersedia merasakan penderitaan sesama … sifat utama.
Cerdas dan menguasai ilmu pengetahuan juga harus menjadi nilai tambahnya,
Tetapi yang paling dicari oleh seluruh anak didik di mana saja menimba ilmunya
Adalah tipe guru atau dosen biasa, tidak berlomba-lomba ingin tampil luar biasa,
Tetap rendah hati, pantang berdusta, dan tidak agulkan dirinya yang paling bisa.
Memang pernah ada yang berkata bahwa guru biasa bisanya hanyalah bercerita.
Lalu guru yang agak lebih dari biasa, mampu bercerita sekaligus menjelaskannya.
Lalu guru di atas biasa, bisa bercerita, menjelaskan, dan demonstrasikan ilmunya.
Tetapi yang dicari sebenarnya tetap saja guru biasa, yang selalu bersikap biasa,
Namun mampu memberi inspirasi pada anak didiknya, inspirasi guna sebisanya
Menjadi yang terbaik bagi dirinya dan … nilai akhir sama sekali bukan ukurannya.
Asalkan anak didik terinspirasi untuk belajar sampai batas kemampuan terbaiknya,
Seorang guru boleh menepuk dada – walau mungkin hanya di dalam kamar saja,
Bahwa dia tidak sia-sia ditunjuk menjadi pendidik karena telah jalankan tugasnya.
Memberi inspirasi adalah segala-galanya dalam agungnya peradaban manusia.
Selamat mengabdi, selamat berbakti, semoga selalu ceria, gembira dan bahagia
Karena tidak pernah terjerat dalam jaring maut bangga menjadi yang luar biasa.
Tetap biasa tetapi memberi inspirasi bagi siapa saja untuk menjadi apa adanya.
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Poznan, Poland
Last edited: