Kalina
Moderator
Wanita tidak boleh menjadi Khalifah (pemimpin umat Islam). Dengan kata lain, Khalifah harus laki-laki; dia tidak boleh seorang wanita. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah yang mengatakan: -Sungguh Allah SWT telah memberikan manfaat - dari kata-kata yang pernah kudengar dari Rasulullah SAW - pada saat perang Jamal, setelah semula hampir saja aku mengikuti tentara Jamal (yang dipimpin oleh Aisyah yang mengendarai unta) dan berperang di pihak mereka.- Lalu ia melanjutkan : -Ketika sampai berita kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai ratu, maka beliau bersabda: -Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita.- Ikhbar (pemberitahuan) Rasulullah SAW dengan menafikan keberuntungan pada orang yang menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang wanita adalah menunjukkan larangan terhadap kepimpinan wanita. Sebab pernyataan tersebut merupakan shiyagut thalah (bentuk-bentuk perintah). Ditambah, pemberitahuan tersebut merupakan pemberitahuan yang berisi celaan (adz dzam) kepada mereka yang menyerahkan kekuasaannya kepada seorang wanita, dengan cara menafikan keberuntungan pada mereka, maka hal itu dapat dijadikan indikasi (qarinah) bahwa celaan tersebut merupakan larangan yang pasti dan tegas. Sehingga larangan mengangkat seorang wanita untuk jabatan kekuasaan di sini disertai dengan indikasi yang menunjukkan tuntutan meninggalkan perbuatan tersebut secara pasti. Jadi, mengangkat seorang wanita sebagai penguasa adalah haram. Sedangkan yang dimaksud dengan larangan mengangkat seorang wanita menjadi penguasa di sini adalah menduduki jabatan khalifah dan jabatan-jabatan kekuasaan di bawahnya. Sebab, yang dibicarakan di sini adalah pengangkatan putri Kisra sebagai ratu yang berkuasa. Jadi persoalannya adalah khusus persoalan pemerintahan, bukan khusus mengenai kejadian diangkatnya putri Kisra saja, tetapi juga tidak bisa diartikan umum, mencakup segala hal. Oleh karena itu, larangan ini tidak mencakup hal-hal lain selain pemerintahan.
Sepakat para ulama mujtahid empat mazhab, bahwa mengangkat kepala negara seorang wanita adalah haram. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya al-Jaami’ li ahkami al-Qur’an mengatakan, "Khalifah haruslah seorang laki-laki dan para fuqaha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah/kepala negara)". Secara rinci, terdapat sejumlah argumen sebagai dasar haramnya wanita menjadi kepala negara.
Pertama, terdapat hadits shahih yang melarang wanita sebagai kepala negara. "Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita" (HR. Bukhari). Lafadz wallau amrahum dalam hadits ini berarti mengangkat seseorang sebagai waliyul amri (pemegang tampuk pemerintahan). Ini tidak mengherankan oleh karena hadits ini memang merupakan komentar Rasulullah SAW. tatkala sampai kepadanya berita tentang pengangkatan putri Kisra, Raja Persia.
Sekalipun teks hadits tersebut berupa kalimat berita (khabar), tapi pemberitaan dalam hadits ini disertai dengan celaan (dzam) atas suatu kaum atau masyarakat yang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada seorang wanita, berupa ancaman tiadanya keberuntungan atas mereka. Celaan ini merupakan qarinah (indikasi) adanya tuntutan yang bersifat jazm (tegas dan pasti). Dengan demikian mengangkat wanita sebagai presiden secara pasti hukumnya haram.
Memang ada sementara kalangan yang meragukan keshahihan hadits ini. Mereka menunjuk salah seorang perawi hadits ini, Abu Bakrah, sebagai orang yang tidak layak dipercaya lantaran menurut mereka ia pernah memberikan kesaksian palsu dalam sebuah kasus perzinaan di masa Umar bin Khattab. Tapi pengkajian terhadap sosok Abu Bakrah sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab yang menulis tentang perawi (orang yang meriwayatkan) hadits seperti Tahdibu al-kamal fi Asmaa al-Rijal, Thabaqat Ibnu Sa’ad, Al Kamil fi Tarikh Ibnul Atsir menunjukkan bahwa Abu Bakrah adalah seorang shahabat yang alim, dan perawi yang terpercaya. Oleh karena itu, dari segi periwayatan tidak ada alasan sama sekali menolak keabsahan hadits tentang larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara.
Di samping itu, ada juga yang menganggap bahwa larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara tidaklah mencakup larangan untuk menjadi presiden oleh karena, katanya, jabatan presiden tidak sama dengan jabatan kepala negara dalam Islam, atau presiden bukanlah al-imamu al-azham sebagaimana dalam sistem pemerintahan Islam. Pendapat seperti ini sangatlah lemah. Mengapa? Karena teks hadits di atas sudah menjawab dengan sendirinya. Buran, putri Kisra yang diangkat sebagai ratu dalam sistem kekaisaran Persia memang tidak sama dengan sistem pemerintahan Islam. Bila dalam kasus Buran, Rasulullah mengharamkan, apa bedanya dengan sistem presiden sekarang yang juga sama-sama bukan sistem pemerintahan Islam?
Kedua, didalam al-Qur’an terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada kepala negara. "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (as-Sunnah)" (An Nisa’ 59)
Dalam ayat ini, perintah taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafazh ulil amri. Berdasarkan kaidah bahasa Arab, maka bisa dimengerti bahwa perintah kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat tadi adalah pemimpin laki-laki. Sebab, bila pemimpin yang dimaksud adalah perempuan, mestinya akan digunakan kata uulatul amri.
Ketiga, didalam al-Qur’an terdapat petunjuk yang sangat jelas bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. "Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita" (An-Nisa' 34). Benar, ayat ini memang berbicara tentang keluarga, dan kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam sebuah rumah tangga. Lalu apa hubungannya dengan persoalan negara? Dengan pendekatan tasyri' min baabi al-aula (keharusan yang lebih utama), bila untuk mengatur rumah tangga saja lelaki harus menjadi pemimpin, apalagi "rumah tangga besar" dalam wujud sebuah bangsa atau negara tentu lebih diharuskan seorang laki-laki. Bila untuk mengatur urusan yang lebih kecil seperti urusan rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin atas wanita, maka terlebih lagi masalah negara yang lebih besar dan kompleks, tentu lebih wajib dise- rahkan kepada laki-laki.
Keempat, dalam sejarah pemerintahan Islam, baik di masa khulafaurrasyidin, Bani Umayah, Bani Abassiyah atau pemerintahan sesudahnya, tidak pernah sekalipun khalifah diangkat dari kalangan wanita. Memang di Mesir pernah berkuasa seorang ratu bernama Syajaratuddur dari dinasti Mamalik. Tapi kekuasaan yang diperolehnya itu sekadar limpahan dari Malikus Shalih, penguasa ketika itu yang meninggal. Setelah tiga bulan berkuasa (jadi sifatnya sangat sementara dan relatif tidak diduga) akhirnya kekuasaan dipegang oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya. Jadi jelas sekali tidak ada preferensi historis dalam Islam menyangkut peran wanita sebagai kepada negara.
Kelima, kenyataan adanya presiden-presiden wanita di sejumlah negeri muslim (Benazir Bhuto di Pakistan, Begum Khalida Zia di Bangladesh) tidaklah cukup untuk menggugurkan larangan wanita menjabat kepala negara. Kenyataan di atas harus dipandang sebagai penyimpangan. Dan sebuah kenya-taan bukanlah hukum, apalagi bila kenyataan itu bertentangan dengan hukum itu sendiri. Sama seperti hukum shalat. Bila terlihat kenyataan cukup banyak di negeri ini orang tidak shalat, apakah lantas hukum shalat bisa berubah begitu saja menjadi tidak wajib? Terhadap kenyataan yang menyimpang, maka kewajiban kita justru untuk meluruskan bukan malah membuat penyimpangan yang lain.
Khatimah
Demikianlah hukum Islam mengenai larangan mengangkat seorang wanita sebagai kepala negara. Penjelasan telah diberikan, berpulang kepada kita mau menerima atau tidak. Tapi, diluar itu ada beberapa hal yang mesti diperhatikan:
Pertama, bahwa risalah ini dibuat semata untuk menjelaskan kepada ummat Islam dengan penjelasan yang sejelas-jelasnya mengenai hukum Islam tentang larangan mengangkat seorang wanita sebagai kepala negara. Sekali lagi, lepas dari calon presiden Indonesia mendatang adalah Megawati atau yang lain. Andaipun calon itu misalnya adalah Aisyah Amini atau wanita muslimah lainnya, tetap saja kita harus menolak pencalonan itu berdasarkan ketentuan hukum Islam.
Kedua, kontroversi antara yang pro dan kontra presiden wanita kelihatannya bakal tidak akan menghasilkan titik temu bila sejak dari awal pijakan berpikirnya saja sudah berbeda. Pihak yang pro presiden wanita menggunakan alasan kesetaraan gender (jenis kelamin), bahwa baik lelaki atau perempuan harus diberikan hak politik yang sama termasuk kesempatan untuk menjadi presiden. Dalam hal ini mereka sama sekali tidak mempertimbangkan tuntunan agama, sekalipun diantara mereka mungkin banyak yang beragama Islam. Sementara, yang kontra mendasarkan pendapatnya pada ketentuan hukum Islam, disamping mungkin ada juga faktor lain.
Ketiga, sebagai seorang muslim seharusnya kita senantiasa mendasarkan pendapat-pendapat kita kepada tuntunan Islam. Termasuk partai-partai yang mengaku berasas Islam seperti PPP, PBB dan Partai Keadilan. PKB yang berintikan para ulama dan merupakan partai resmi yang dibidani PBNU (NU sendiri artinya adalah kebangkitan ulama) juga semestinya hanya melandaskan keputusan-keputusan politiknya pada ajaran Islam. Ulama macam mana bila ia tidak lagi berpegang pada syariat Islam? Bahkan PAN-pun, yang menyebut diri partai terbuka yang lintas agama, juga harus terikat kepada aturan Islam. Bukankah salah satu prinsip partai pimpinan tokoh reformasi Amien Rais adalah moral agama? Agama mana yang dimaksud bila bukan Islam, oleh karena konstituen (pendukung) utama partai ini adalah warga Muhammadiyah? Oleh karena itu, tidak layak sama sekali bila partai-partai itu, --sebenarnya termasuk juga Golkar yang sekarang ini dikemudikan oleh banyak alumni HMI-- dan juga semua kaum muslimin, mendukung pencalonan seorang wanita sebagai presiden. Bila kita tak acuh terhadap ketentuan hukum Islam mengenai hal ini, lantas dimanakah kemusliman kita hendak diletakkan !
Keempat, oleh karena itu melalui risalah ini diserukan kepada pimpinan partai-partai Islam atau yang berbasis umat Islam; para ulama, para kyiai atau ustadz dan semua kaum muslimin, termasuk umat Islam yang menjadi pendukung bahkan menjadi pengurus PDI Perjuangan, untuk menolak pencalonan seorang wanita sebagai presiden. Harus dipahami, bahwa seruan ini sama sekali tidak didasari kebencian kepada pribadi Megawati, tapi justru didorong oleh rasa kasih dan sayang kepada putri Bung Karno ini. Sebagai sesama muslim, kita tentu tidak menginginkan Megawati sebagai seorang muslimah terjerumus pada dosa dan kesalahan hanya lantaran dorongan orang-orang disekitarnya yang tidak tahu atau tidak mau tahu terhadap prinsip agama Islam.
Kelima, sebagai sebuah bangsa, kita ini sebenarnya sudah terlalu banyak melanggar aturan-aturan Allah. Lihatlah, berbagai tatanan kehidupan baik yang menyangkut aspek sosial, ekonomi, maupun pemerintahan, nyata-nyata tidak sesuai dengan syariat islam. Di bidang hukum, begitu banyak hukum-hukum sekuler yang diterapkan dan boleh jadi masih akan banyak lagi yang dilegalkan melalui keputusan parlemen. Masihkah kita akan menambah semua itu dengan maksiyat besar yang baru: mengangkat presiden wanita? Tidakkah cukup krisis ekonomi, krisis sosial, krisis politik yang mendera negeri ini lebih dari dua tahun lamanya menyadarkan kita untuk kembali kepada jalan yang benar? Krisis seperti apa lagi yang bakal terjadi bila kita tetap terus membangkang, tak acuh terhadap hukum-hukum Allah dan segala ancaman-Nya?
source
Sepakat para ulama mujtahid empat mazhab, bahwa mengangkat kepala negara seorang wanita adalah haram. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya al-Jaami’ li ahkami al-Qur’an mengatakan, "Khalifah haruslah seorang laki-laki dan para fuqaha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah/kepala negara)". Secara rinci, terdapat sejumlah argumen sebagai dasar haramnya wanita menjadi kepala negara.
Pertama, terdapat hadits shahih yang melarang wanita sebagai kepala negara. "Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita" (HR. Bukhari). Lafadz wallau amrahum dalam hadits ini berarti mengangkat seseorang sebagai waliyul amri (pemegang tampuk pemerintahan). Ini tidak mengherankan oleh karena hadits ini memang merupakan komentar Rasulullah SAW. tatkala sampai kepadanya berita tentang pengangkatan putri Kisra, Raja Persia.
Sekalipun teks hadits tersebut berupa kalimat berita (khabar), tapi pemberitaan dalam hadits ini disertai dengan celaan (dzam) atas suatu kaum atau masyarakat yang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada seorang wanita, berupa ancaman tiadanya keberuntungan atas mereka. Celaan ini merupakan qarinah (indikasi) adanya tuntutan yang bersifat jazm (tegas dan pasti). Dengan demikian mengangkat wanita sebagai presiden secara pasti hukumnya haram.
Memang ada sementara kalangan yang meragukan keshahihan hadits ini. Mereka menunjuk salah seorang perawi hadits ini, Abu Bakrah, sebagai orang yang tidak layak dipercaya lantaran menurut mereka ia pernah memberikan kesaksian palsu dalam sebuah kasus perzinaan di masa Umar bin Khattab. Tapi pengkajian terhadap sosok Abu Bakrah sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab yang menulis tentang perawi (orang yang meriwayatkan) hadits seperti Tahdibu al-kamal fi Asmaa al-Rijal, Thabaqat Ibnu Sa’ad, Al Kamil fi Tarikh Ibnul Atsir menunjukkan bahwa Abu Bakrah adalah seorang shahabat yang alim, dan perawi yang terpercaya. Oleh karena itu, dari segi periwayatan tidak ada alasan sama sekali menolak keabsahan hadits tentang larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara.
Di samping itu, ada juga yang menganggap bahwa larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara tidaklah mencakup larangan untuk menjadi presiden oleh karena, katanya, jabatan presiden tidak sama dengan jabatan kepala negara dalam Islam, atau presiden bukanlah al-imamu al-azham sebagaimana dalam sistem pemerintahan Islam. Pendapat seperti ini sangatlah lemah. Mengapa? Karena teks hadits di atas sudah menjawab dengan sendirinya. Buran, putri Kisra yang diangkat sebagai ratu dalam sistem kekaisaran Persia memang tidak sama dengan sistem pemerintahan Islam. Bila dalam kasus Buran, Rasulullah mengharamkan, apa bedanya dengan sistem presiden sekarang yang juga sama-sama bukan sistem pemerintahan Islam?
Kedua, didalam al-Qur’an terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada kepala negara. "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (as-Sunnah)" (An Nisa’ 59)
Dalam ayat ini, perintah taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafazh ulil amri. Berdasarkan kaidah bahasa Arab, maka bisa dimengerti bahwa perintah kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat tadi adalah pemimpin laki-laki. Sebab, bila pemimpin yang dimaksud adalah perempuan, mestinya akan digunakan kata uulatul amri.
Ketiga, didalam al-Qur’an terdapat petunjuk yang sangat jelas bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. "Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita" (An-Nisa' 34). Benar, ayat ini memang berbicara tentang keluarga, dan kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam sebuah rumah tangga. Lalu apa hubungannya dengan persoalan negara? Dengan pendekatan tasyri' min baabi al-aula (keharusan yang lebih utama), bila untuk mengatur rumah tangga saja lelaki harus menjadi pemimpin, apalagi "rumah tangga besar" dalam wujud sebuah bangsa atau negara tentu lebih diharuskan seorang laki-laki. Bila untuk mengatur urusan yang lebih kecil seperti urusan rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin atas wanita, maka terlebih lagi masalah negara yang lebih besar dan kompleks, tentu lebih wajib dise- rahkan kepada laki-laki.
Keempat, dalam sejarah pemerintahan Islam, baik di masa khulafaurrasyidin, Bani Umayah, Bani Abassiyah atau pemerintahan sesudahnya, tidak pernah sekalipun khalifah diangkat dari kalangan wanita. Memang di Mesir pernah berkuasa seorang ratu bernama Syajaratuddur dari dinasti Mamalik. Tapi kekuasaan yang diperolehnya itu sekadar limpahan dari Malikus Shalih, penguasa ketika itu yang meninggal. Setelah tiga bulan berkuasa (jadi sifatnya sangat sementara dan relatif tidak diduga) akhirnya kekuasaan dipegang oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya. Jadi jelas sekali tidak ada preferensi historis dalam Islam menyangkut peran wanita sebagai kepada negara.
Kelima, kenyataan adanya presiden-presiden wanita di sejumlah negeri muslim (Benazir Bhuto di Pakistan, Begum Khalida Zia di Bangladesh) tidaklah cukup untuk menggugurkan larangan wanita menjabat kepala negara. Kenyataan di atas harus dipandang sebagai penyimpangan. Dan sebuah kenya-taan bukanlah hukum, apalagi bila kenyataan itu bertentangan dengan hukum itu sendiri. Sama seperti hukum shalat. Bila terlihat kenyataan cukup banyak di negeri ini orang tidak shalat, apakah lantas hukum shalat bisa berubah begitu saja menjadi tidak wajib? Terhadap kenyataan yang menyimpang, maka kewajiban kita justru untuk meluruskan bukan malah membuat penyimpangan yang lain.
Khatimah
Demikianlah hukum Islam mengenai larangan mengangkat seorang wanita sebagai kepala negara. Penjelasan telah diberikan, berpulang kepada kita mau menerima atau tidak. Tapi, diluar itu ada beberapa hal yang mesti diperhatikan:
Pertama, bahwa risalah ini dibuat semata untuk menjelaskan kepada ummat Islam dengan penjelasan yang sejelas-jelasnya mengenai hukum Islam tentang larangan mengangkat seorang wanita sebagai kepala negara. Sekali lagi, lepas dari calon presiden Indonesia mendatang adalah Megawati atau yang lain. Andaipun calon itu misalnya adalah Aisyah Amini atau wanita muslimah lainnya, tetap saja kita harus menolak pencalonan itu berdasarkan ketentuan hukum Islam.
Kedua, kontroversi antara yang pro dan kontra presiden wanita kelihatannya bakal tidak akan menghasilkan titik temu bila sejak dari awal pijakan berpikirnya saja sudah berbeda. Pihak yang pro presiden wanita menggunakan alasan kesetaraan gender (jenis kelamin), bahwa baik lelaki atau perempuan harus diberikan hak politik yang sama termasuk kesempatan untuk menjadi presiden. Dalam hal ini mereka sama sekali tidak mempertimbangkan tuntunan agama, sekalipun diantara mereka mungkin banyak yang beragama Islam. Sementara, yang kontra mendasarkan pendapatnya pada ketentuan hukum Islam, disamping mungkin ada juga faktor lain.
Ketiga, sebagai seorang muslim seharusnya kita senantiasa mendasarkan pendapat-pendapat kita kepada tuntunan Islam. Termasuk partai-partai yang mengaku berasas Islam seperti PPP, PBB dan Partai Keadilan. PKB yang berintikan para ulama dan merupakan partai resmi yang dibidani PBNU (NU sendiri artinya adalah kebangkitan ulama) juga semestinya hanya melandaskan keputusan-keputusan politiknya pada ajaran Islam. Ulama macam mana bila ia tidak lagi berpegang pada syariat Islam? Bahkan PAN-pun, yang menyebut diri partai terbuka yang lintas agama, juga harus terikat kepada aturan Islam. Bukankah salah satu prinsip partai pimpinan tokoh reformasi Amien Rais adalah moral agama? Agama mana yang dimaksud bila bukan Islam, oleh karena konstituen (pendukung) utama partai ini adalah warga Muhammadiyah? Oleh karena itu, tidak layak sama sekali bila partai-partai itu, --sebenarnya termasuk juga Golkar yang sekarang ini dikemudikan oleh banyak alumni HMI-- dan juga semua kaum muslimin, mendukung pencalonan seorang wanita sebagai presiden. Bila kita tak acuh terhadap ketentuan hukum Islam mengenai hal ini, lantas dimanakah kemusliman kita hendak diletakkan !
Keempat, oleh karena itu melalui risalah ini diserukan kepada pimpinan partai-partai Islam atau yang berbasis umat Islam; para ulama, para kyiai atau ustadz dan semua kaum muslimin, termasuk umat Islam yang menjadi pendukung bahkan menjadi pengurus PDI Perjuangan, untuk menolak pencalonan seorang wanita sebagai presiden. Harus dipahami, bahwa seruan ini sama sekali tidak didasari kebencian kepada pribadi Megawati, tapi justru didorong oleh rasa kasih dan sayang kepada putri Bung Karno ini. Sebagai sesama muslim, kita tentu tidak menginginkan Megawati sebagai seorang muslimah terjerumus pada dosa dan kesalahan hanya lantaran dorongan orang-orang disekitarnya yang tidak tahu atau tidak mau tahu terhadap prinsip agama Islam.
Kelima, sebagai sebuah bangsa, kita ini sebenarnya sudah terlalu banyak melanggar aturan-aturan Allah. Lihatlah, berbagai tatanan kehidupan baik yang menyangkut aspek sosial, ekonomi, maupun pemerintahan, nyata-nyata tidak sesuai dengan syariat islam. Di bidang hukum, begitu banyak hukum-hukum sekuler yang diterapkan dan boleh jadi masih akan banyak lagi yang dilegalkan melalui keputusan parlemen. Masihkah kita akan menambah semua itu dengan maksiyat besar yang baru: mengangkat presiden wanita? Tidakkah cukup krisis ekonomi, krisis sosial, krisis politik yang mendera negeri ini lebih dari dua tahun lamanya menyadarkan kita untuk kembali kepada jalan yang benar? Krisis seperti apa lagi yang bakal terjadi bila kita tetap terus membangkang, tak acuh terhadap hukum-hukum Allah dan segala ancaman-Nya?
source