Mrs_Sumart1
New member
Setelah satu minggu yang panjang mengajar dan memberi konseling di Norwegia, saya merasa "jenuh kepada orang".Saya menyukai pekerjaan saya, tetapi pada akhir minggu setelah setiap harinya melayani selama 18 jam, Saya sungguh ingin menyendiri. Ketika turun dari taksi di muka ****** udara internasional Oslo, diam-diam saya menaikkan sebuah doa.Permintaan saya sederhana sekali:yang saya inginkan hanyalah sebuah tempat duduk sendirian di pesawat, dengan ruang yang cukup luas untuk meluruskan kaki saya yang panjang(tinggi saya 1,8 meter lebih) dan beristirahat sepanjang penerbangan pulang ke Amsterdam yang memakan waktu 3 jam.
Berjalan menelusuri lorong pesawat, dengan agak membungkuk supaya kepala saya tidak membentur langit-langitnya, saya menemuka sebaris tempat duduk yang kosong dekat pembatas, itu berarti saya punya ruang ekstra bagi kaki saya dan suatu penerbangan yang tenang. Saya tersenyum sendiri ketika saya membalikkan tubuh untuk duduk di kursi pinggir dekat lorong, dan berpikir alangkah baiknya Tuhan, menjawab permintaan saya untuk memperoleh sedikit ketenangan dan istirahat. "Tuhan mengerti betapa lelahnya saya," pikir saya.
Ketika saya meletakkan tas saya di bawah kursi di depan, seorang pria yang berpakaian sedikit kumal mendekat sambil tersenyum dan menyapa saya dengan suara keras: "Hei! Orang Amerika ya?"
"Ya...ya benar," jawab saya dengan enggan.Saya mengambil tempat duduk di dekat lorong karena berpikir bahwa orang yang ingin duduk di sebelah saya tentu mengalami sedikit kesulitan sebab harus melewati kaki saya yang panjangnya! Orang itu duduk di barisan belakang saya, tetapi saya tidak menaruh perhatian kepadanya dan mulai membaca.
Beberapa menit kemudian, kepala laki-laki itu muncul dari samping.
"Baca apa?" tanyanya sambil mengintip dibalik pundak saya.
"Alkitab," jawab saya agak tidak sabar. Apakah ia tidak melihat bahwa saya tidak ingin diganggu? Saya kembali bersandar ke belakang, tetapi beberapa menit kemudian mata yang sama kembali muncul dari balik kursi saya. "Apa pekerjaan Anda? katanya.
Karena tidak mau terlibat dalam percakapan panjang, saya menjawab dengan singkat, "Sejenis pekerjaan sosial," kata saya dengan harapan ia tidak tertarik.
Saya merasa sedikit terganggu karena sudah tidak menceritakan yang sebenarnya, tetapi saya tidak berani mengatakan bahwa saya terlibat dalam membantu orang yang sengsara di jantung kota Amsterdam. Hal itu pasti akan memancing pertanyaan-pertanyaan lain.
"Boleh saya duduk di sebelah Anda?" ia bertanya sambil melangkahi kaki-kaki saya.Tampaknya ia mengabaikan usaha saya untuk tidak mengobrol dengannya. Mulutnya bau alkohol dan ludahnya memercik ketika ia berbicara, membasahi muka saya seperti hujan gerimis.
Sikapnya yang menjengkelkan itu membuat saya amat kesal.Ketidakpekaannya telah menggagalkan semua rencana saya untuk menikmati pagi yang tenang ini. "Oh Tuhan," saya mengeluh dalam hati, "Tolonglah saya"
Percakapan kami mulanya berjalan dengan lamban. Saya menjawab beberapa pertanyaan tentang pekerjaan kami di Amsterdam dan saya mulai bertanya-tanya mengapa laki-laki ini sangat ingin berbicara dengan saya. Ketika percakapan semakin berlanjut, saya mulai sadar bahwa sayalah yang kurang peka.
"Isteri saya seperti Anda," katanya kemudian. "Ia berdoa bersama anak-anak, menyanyikan lagu untuk mereka dan mengajak mereka ke gereja. "Sesungguhnya", katanya perlahan dengan mata yang mulai basah, "Dialah satu-satunya kawan sejati yang pernah saya punyai"
"Pernah?" tanya saya. "Mengapa Anda berkata tentangnya seperti itu?"
"Dia telah pergi." Air mata mulai mengalir membasahi pipinya. "Ia meninggal tiga bulan yang lalu ketika melahirkan anak kami yang kel lima."Mengapa?", tanyanya dengan terisak, "mengapa Allahmu mengambilnya pergi?Isteri saya begitu baik.Mengapa bukan saya?Mengapa justru dia?Sekarang pemerintah mengatakan saya tidak cocok untuk mengurus anak-anak saya sendiri, dan mereka juga pergi."
Saya memegangi tangannya dan kami menangis bersama. Betapa egoisnya saya! Saya hanya memikirkan kebutuhan saya untuk beristirahat padahal laki-laki ini sangat membutuhkan pertolongan.
Ia melanjutkan kisahnya pada saya. Setelah isterinya meninggal, seorang pekerja sosial menganjurkan agar anak-anaknya di urus oleh negara. Ia begitu sedih sehingga tidak dapat bekerja, dan iapun kehilangan pekerjaannya. Hanya dalam beberapa minggu ia kehilangan isterinya, anak-anaknya dan pekerjaannya. Karena liburan tinggal beberapa minggu lagi, ia tidak tahan untuk merayakan natal seorang diri. Sekarang ia sedang berusaha menghilangkan kesedihannya.
Ia terlalu pahit untuk dihibur. Ia telah dibesarkan oleh empat ayah tiri yang berbeda dan ia tidak pernah mengenal ayahnya yang sebenarnya. Mereka semua adalah laki-laki yang keras. Ketika saya menyinggung Allah, ia bereaksi dengan pahit, "Allah?" katanya, "Saya pikir kalau memang ada Allah, Dia pasti monster yang kejam! Bagaimana mungkin Allah yang penuh kasih melakukan ini terhadapku?"
Ketika saya meneruskan pembicaran dengan orang yang terluka itu, Saya diingatkan kembali bahwa banyak orang di dunia ini yang tidak mengerti akan Allah yang merupakan seorang bapa yang penuh kasih. Berbicara tentang allah Bapa yang penuh kasih hanya akan menimbulkan kepedihan dan kemarahan dalam hati mereka. Berbicara mengenai hati Allah sebagai bapa kepada mereka, tanpa merasakan kepedihan mereka, hampir sama dengan suatu tindakan kejam.
Satu-satunya cara saya dapat menjadi kawan laki-laki itu dalam perjalanan dari Oslo ke Amsterdam ialah dengan menjadi kasih Allah baginya. Saya tidak berusaha untuk memberi jawaban yang sempurna. Saya hanya membiarkannya marah lalu menawarkan minyak belas kasihan bagi luka-lukanya. Ia ingin percaya kepada Allah, tetapi jauh d idalam hatinya, rasa keadilannya telah diperkosa.
Ia membutuhkan seseorang yang dapat mengatakan bahwa tidak apa ia marah dan mengatakan kepadanya bahwa Allah juga marah terhadap ketidakadilan. Setelah Saya mendengarkannya dan mempedulikannya serta menangis bersamanya, ia siap mendengarkan kata-kata saya bahwa Allah lebih sedih daripada dirinya atas apa yang telah terjadi dengan isteri dan keluarganya.
Tak ada seorangpun yang pernah mengatakan kepadanya bahwa Allah juga mengenal; kepedihan hati yang hancur.
Ia mendengarkan dengan diam sementara saya jelaskan bagaimana ciptaan Allah begitu rusak karena dosa dan sikap egois, sehingga kini menjadi berbeda seluruhnya dari apa yang ia ciptakan semula.
Kemudian ia mengajukan pertanyaan yang kita semua pernah menanyakannya: Mengapa? Mengapa Dia menciptakan sesuatu yang dapat jatuh dan menjadi rusak? Jika ia adalah Bapa yang penuh kasih, mengapa ia ijinkan segala penderitaan itu?
Kemudian saya membagikan beberapa jawaban yang telah menolong saya.
Banyak orang tidak dapat memahami bahwa ada Allah yang baik tetapi mengijinkan penderitaan. Namun jika tidak ada Allah yang berkepribadian kekal, penderitaan manusia kehilangan arti sama sekali. Jika tidak ada Allah, maka manusia hanyalah suatu produk yang kompleks dari suatu waktu dan kebetulan. Hanya merupakan suatu akibat dari proses evolusi. Jika itu benar, maka penderitaan hanyalah suatu masalah yang bersifat fisik dan kimiwai.
Jika tidak ada Allah, tidak akan ada kemurnian moral, dan tidak ada dasar untuk mengatakan bahwa setiap bentuk penderitaan adalah salah secara moral.
Dengan menyangkal eksistensinya, manusia menyangkal arti kehidupan itu sendiri dan karenanya juga menyangkal dasar dari perkataan bahwa tidaklah benar bagi manusia untuk menderita.
Tanpa Allah kita bahkan tidak dapat mengajukan pertanyaan, "Mengapa orang yang tidak bersalah menderita?" karena tidak ada yang disebut tidak bersalah.
Tidak bersalah mengandung arti salah, dan salah menyatakan secara tidak langsung bahwa ada hal-hal yang mutlak tidak benar secara moral.
Saya percaya menderita itu salah, dan fakta bahwa Allah itu ada mengijinkan saya untuk mengatakannya dengan tegas. Namun penegasan itu membawa kita kepada pertimbangan lain yang penting. Bagaimana perasaan Allah terhadap penderitaan dan kejahatan di dalam ciptaanNya. Alkitab berkata bahwa Dia sangat berduka di dalam hatinya. (Kejadian 6:5-6)
Berjalan menelusuri lorong pesawat, dengan agak membungkuk supaya kepala saya tidak membentur langit-langitnya, saya menemuka sebaris tempat duduk yang kosong dekat pembatas, itu berarti saya punya ruang ekstra bagi kaki saya dan suatu penerbangan yang tenang. Saya tersenyum sendiri ketika saya membalikkan tubuh untuk duduk di kursi pinggir dekat lorong, dan berpikir alangkah baiknya Tuhan, menjawab permintaan saya untuk memperoleh sedikit ketenangan dan istirahat. "Tuhan mengerti betapa lelahnya saya," pikir saya.
Ketika saya meletakkan tas saya di bawah kursi di depan, seorang pria yang berpakaian sedikit kumal mendekat sambil tersenyum dan menyapa saya dengan suara keras: "Hei! Orang Amerika ya?"
"Ya...ya benar," jawab saya dengan enggan.Saya mengambil tempat duduk di dekat lorong karena berpikir bahwa orang yang ingin duduk di sebelah saya tentu mengalami sedikit kesulitan sebab harus melewati kaki saya yang panjangnya! Orang itu duduk di barisan belakang saya, tetapi saya tidak menaruh perhatian kepadanya dan mulai membaca.
Beberapa menit kemudian, kepala laki-laki itu muncul dari samping.
"Baca apa?" tanyanya sambil mengintip dibalik pundak saya.
"Alkitab," jawab saya agak tidak sabar. Apakah ia tidak melihat bahwa saya tidak ingin diganggu? Saya kembali bersandar ke belakang, tetapi beberapa menit kemudian mata yang sama kembali muncul dari balik kursi saya. "Apa pekerjaan Anda? katanya.
Karena tidak mau terlibat dalam percakapan panjang, saya menjawab dengan singkat, "Sejenis pekerjaan sosial," kata saya dengan harapan ia tidak tertarik.
Saya merasa sedikit terganggu karena sudah tidak menceritakan yang sebenarnya, tetapi saya tidak berani mengatakan bahwa saya terlibat dalam membantu orang yang sengsara di jantung kota Amsterdam. Hal itu pasti akan memancing pertanyaan-pertanyaan lain.
"Boleh saya duduk di sebelah Anda?" ia bertanya sambil melangkahi kaki-kaki saya.Tampaknya ia mengabaikan usaha saya untuk tidak mengobrol dengannya. Mulutnya bau alkohol dan ludahnya memercik ketika ia berbicara, membasahi muka saya seperti hujan gerimis.
Sikapnya yang menjengkelkan itu membuat saya amat kesal.Ketidakpekaannya telah menggagalkan semua rencana saya untuk menikmati pagi yang tenang ini. "Oh Tuhan," saya mengeluh dalam hati, "Tolonglah saya"
Percakapan kami mulanya berjalan dengan lamban. Saya menjawab beberapa pertanyaan tentang pekerjaan kami di Amsterdam dan saya mulai bertanya-tanya mengapa laki-laki ini sangat ingin berbicara dengan saya. Ketika percakapan semakin berlanjut, saya mulai sadar bahwa sayalah yang kurang peka.
"Isteri saya seperti Anda," katanya kemudian. "Ia berdoa bersama anak-anak, menyanyikan lagu untuk mereka dan mengajak mereka ke gereja. "Sesungguhnya", katanya perlahan dengan mata yang mulai basah, "Dialah satu-satunya kawan sejati yang pernah saya punyai"
"Pernah?" tanya saya. "Mengapa Anda berkata tentangnya seperti itu?"
"Dia telah pergi." Air mata mulai mengalir membasahi pipinya. "Ia meninggal tiga bulan yang lalu ketika melahirkan anak kami yang kel lima."Mengapa?", tanyanya dengan terisak, "mengapa Allahmu mengambilnya pergi?Isteri saya begitu baik.Mengapa bukan saya?Mengapa justru dia?Sekarang pemerintah mengatakan saya tidak cocok untuk mengurus anak-anak saya sendiri, dan mereka juga pergi."
Saya memegangi tangannya dan kami menangis bersama. Betapa egoisnya saya! Saya hanya memikirkan kebutuhan saya untuk beristirahat padahal laki-laki ini sangat membutuhkan pertolongan.
Ia melanjutkan kisahnya pada saya. Setelah isterinya meninggal, seorang pekerja sosial menganjurkan agar anak-anaknya di urus oleh negara. Ia begitu sedih sehingga tidak dapat bekerja, dan iapun kehilangan pekerjaannya. Hanya dalam beberapa minggu ia kehilangan isterinya, anak-anaknya dan pekerjaannya. Karena liburan tinggal beberapa minggu lagi, ia tidak tahan untuk merayakan natal seorang diri. Sekarang ia sedang berusaha menghilangkan kesedihannya.
Ia terlalu pahit untuk dihibur. Ia telah dibesarkan oleh empat ayah tiri yang berbeda dan ia tidak pernah mengenal ayahnya yang sebenarnya. Mereka semua adalah laki-laki yang keras. Ketika saya menyinggung Allah, ia bereaksi dengan pahit, "Allah?" katanya, "Saya pikir kalau memang ada Allah, Dia pasti monster yang kejam! Bagaimana mungkin Allah yang penuh kasih melakukan ini terhadapku?"
Ketika saya meneruskan pembicaran dengan orang yang terluka itu, Saya diingatkan kembali bahwa banyak orang di dunia ini yang tidak mengerti akan Allah yang merupakan seorang bapa yang penuh kasih. Berbicara tentang allah Bapa yang penuh kasih hanya akan menimbulkan kepedihan dan kemarahan dalam hati mereka. Berbicara mengenai hati Allah sebagai bapa kepada mereka, tanpa merasakan kepedihan mereka, hampir sama dengan suatu tindakan kejam.
Satu-satunya cara saya dapat menjadi kawan laki-laki itu dalam perjalanan dari Oslo ke Amsterdam ialah dengan menjadi kasih Allah baginya. Saya tidak berusaha untuk memberi jawaban yang sempurna. Saya hanya membiarkannya marah lalu menawarkan minyak belas kasihan bagi luka-lukanya. Ia ingin percaya kepada Allah, tetapi jauh d idalam hatinya, rasa keadilannya telah diperkosa.
Ia membutuhkan seseorang yang dapat mengatakan bahwa tidak apa ia marah dan mengatakan kepadanya bahwa Allah juga marah terhadap ketidakadilan. Setelah Saya mendengarkannya dan mempedulikannya serta menangis bersamanya, ia siap mendengarkan kata-kata saya bahwa Allah lebih sedih daripada dirinya atas apa yang telah terjadi dengan isteri dan keluarganya.
Tak ada seorangpun yang pernah mengatakan kepadanya bahwa Allah juga mengenal; kepedihan hati yang hancur.
Ia mendengarkan dengan diam sementara saya jelaskan bagaimana ciptaan Allah begitu rusak karena dosa dan sikap egois, sehingga kini menjadi berbeda seluruhnya dari apa yang ia ciptakan semula.
Kemudian ia mengajukan pertanyaan yang kita semua pernah menanyakannya: Mengapa? Mengapa Dia menciptakan sesuatu yang dapat jatuh dan menjadi rusak? Jika ia adalah Bapa yang penuh kasih, mengapa ia ijinkan segala penderitaan itu?
Kemudian saya membagikan beberapa jawaban yang telah menolong saya.
Banyak orang tidak dapat memahami bahwa ada Allah yang baik tetapi mengijinkan penderitaan. Namun jika tidak ada Allah yang berkepribadian kekal, penderitaan manusia kehilangan arti sama sekali. Jika tidak ada Allah, maka manusia hanyalah suatu produk yang kompleks dari suatu waktu dan kebetulan. Hanya merupakan suatu akibat dari proses evolusi. Jika itu benar, maka penderitaan hanyalah suatu masalah yang bersifat fisik dan kimiwai.
Jika tidak ada Allah, tidak akan ada kemurnian moral, dan tidak ada dasar untuk mengatakan bahwa setiap bentuk penderitaan adalah salah secara moral.
Dengan menyangkal eksistensinya, manusia menyangkal arti kehidupan itu sendiri dan karenanya juga menyangkal dasar dari perkataan bahwa tidaklah benar bagi manusia untuk menderita.
Tanpa Allah kita bahkan tidak dapat mengajukan pertanyaan, "Mengapa orang yang tidak bersalah menderita?" karena tidak ada yang disebut tidak bersalah.
Tidak bersalah mengandung arti salah, dan salah menyatakan secara tidak langsung bahwa ada hal-hal yang mutlak tidak benar secara moral.
Saya percaya menderita itu salah, dan fakta bahwa Allah itu ada mengijinkan saya untuk mengatakannya dengan tegas. Namun penegasan itu membawa kita kepada pertimbangan lain yang penting. Bagaimana perasaan Allah terhadap penderitaan dan kejahatan di dalam ciptaanNya. Alkitab berkata bahwa Dia sangat berduka di dalam hatinya. (Kejadian 6:5-6)