Ibuku, Ayahku, Hidupku

singthung

New member
Ibuku, Ayahku, Hidupku



Brahmāti mātāpitaro pubbācariyāti vuccare āhuneyā ca puttānaṁ pajaya anukampaka

Ibu dan ayah disebut ‘Brahma’, ‘Guru awal’ dan ‘Pantas dipuja.’

Karena penuh kasih sayang terhadap anak-anak mereka

(Khuddaka Nikāya, Itivuttaka, Catukkanipāta, Sabrahmaka Sutta; dengan Brahma 106)

metta(kcl).jpg




Setiap makhluk yang lahir di dunia ini pasti memiliki orangtua. Orangtua dengan segala daya upaya berusaha agar anak-anaknya mendapatkan segala sesuatu yang terbaik. Sejak kita dilahirkan di dunia ini, orangtua tanpa mengenal lelah merawat, membesarkan, dan mendidik kita. Mereka telah merasakan dan mengalami bahwa perhatian dan pendidikan di dalam maupun di luar keluarga sangat penting agar anak-anak dapat menjadi kuat, pintar, tangguh, dan bijaksana dalam menjalani kehidupannya kelak. Siang, malam, dan sepanjang waktu, dengan cinta kasih, kasih sayang serta dengan kesungguhan mengasuh, orangtua mengajari dan membimbing kita. Mereka mengajarkan kita pada tahap yang paling awal; bagaimana cara duduk, berjalan, berbicara, cara makan yang baik, dan segala macam etika serta tingkah laku yang baik. Apa jadinya bila orangtua kita tidak mendidik dengan baik? Nyatanya, tidak sedikit anak-anak yang tidak mendapatkan bimbingan dan asuhan dari orangtuanya menjadi anak yang tumbuh dengan kebencian, dendam, amarah, dan kekerasan. Bila anak tidak dididik dengan baik, bukan hanya orangtua yang mendapat kesusahan, orang di sekitarnya pun akan menjadi resah. Bahkan, tidak sedikit anak yang mengalami perlakuan sangat buruk akibat tidak memiliki pengetahuan karena tidak mendapatkan asuhan dan bimbingan dari orangtua.

Tentunya, semua hal baik tersebut dapat terwujud dari peran dan kerjasama anak-anak yang mau belajar dan menurut pada orangtua. Sebaik-baiknya orangtua, kalau anak-anak tidak mau belajar dan menghormati orangtua, akan sulit sekali memperoleh kemajuan. Jangan sampai kita mengalami kepahitan baru menyadari pentingnya menghormat dan berbakti kepada orangtua. Kita bisa belajar dari pengalaman orang-orang di sekitar kita, bagaimana perbedaan anak-anak yang memiliki hubungan yang baik atau yang tidak baik dengan orangtua. Anak yang berbakti akan disenangi oleh keluarga bahkan oleh masyarakat, tetapi anak yang tidak berbakti akan mendapat celaan dari keluarga dan orang lain. Banyak sekali ajaran Sang Buddha yang menitikberatkan pada penghormatan dan perlakuan yang baik terhadap orangtua, bahkan Sang Buddha menempatkan orangtua sejajar dengan Brahma yang pada saat itu dipuja dan disanjung setinggi langit. Dalam mitologi India kuno, Dewa Brahma adalah dewa yang tertinggi, yang muncul pertama kali, dan dianggap pencipta alam semesta, sehingga mendapatkan penghormatan yang sangat tinggi. Namun berbeda dengan Sang Buddha, Beliau mengajarkan dan menempatkan orangtua pada tempat yang tertinggi sejajar dengan Brahma. Hal tersebut dilakukan Sang Buddha dengan sangat logis dan tidak perlu pembahasan yang mendalam, karena tanpa orangtua, kita tidak akan muncul di dunia ini. Bahkan dalam proses pembentukan bayi tabung harus ada unsur dari laki-laki dan perempuan yang menjadi orangtua kita.

Terlebih lagi, di dalam Aṅguttara Nikāya, kelompok dua, tentang ‘membalas budi orangtua’, Sang Buddha mengatakan, ”Kunyatakan, O, para bhikkhu, ada dua orang yang tidak pernah dapat dibalas budinya oleh seseorang. Siapakah yang dua itu? Ibu dan ayah. Bahkan, seandainya seseorang memikul ibunya ke mana-mana di satu bahunya dan memikul ayahnya di bahu yang lain, dan ketika melakukan ini dia hidup seratus tahun, mencapai usia seratus tahun; dan seandainya saja dia melayani ibu dan ayahnya dengan meminyaki mereka, memijit, memandikan, dan menggosok kaki tangan mereka, serta membersihkan kotoran mereka di sana, bahkan perbuatan itupun belum cukup untuk mereka, dia belum dapat membalas budi ibu dan ayahnya. Bahkan, seandainya saja dia mengangkat orangtuanya sebagai raja dan penguasa besar di dunia ini, yang sangat kaya dalam tujuh macam harta, dia belum berbuat cukup untuk mereka. Apakah alasan untuk hal ini? Karena orang tua berbuat banyak untuk anak mereka; mereka membesarkannya, memberi makan, dan membimbingnya melalui dunia ini. Tetapi, O, para bhikkhu, seseorang yang mendorong orangtuanya yang tadinya tidak percaya, membiasakan dan mengukuhkan mereka di dalam keyakinan (saddhā); yang mendorong orangtuanya yang tadinya tidak bermoral, membiasakan dan mengukuhkan mereka di dalam moralitas (sīla); yang mendorong orangtuanya yang tadinya kikir, membiasakan dan mengukuhkan mereka dalam kedermawanan (cagā); yang mendorong orangtuanya yang tadinya bodoh batinnya, membiasakan dan mengukuhkan mereka di dalam kebijaksanaan (paññā) - orang seperti itu, O, para bhikkhu, telah berbuat cukup untuk ibu dan ayahnya; dia telah membalas budi atas apa yang telah mereka lakukan.”

Ibu dan ayah banyak sekali membantu anak-anaknya. Mereka merawat anak-anaknya dan membesarkan serta mengajari mereka tentang dunia. Bila seorang anak menjadi anak yang tidak memiliki bakti dan tidak hormat kepada orangtua, Sang Buddha mengumpamakan orang tersebut sebagai ’manusia sampah.’ Dalam Vasalasutta (Khuddaka Nikāya, Sutta Pi?*aka) Sang Buddha menjelaskan kepada brahmana pemuja api yang bernama Aggika-Bhāradvāja tentang klasifikasi manusia yang digolongkan sebagai ’manusia sampah.’ Di antara syair dalam Vasalasutta adalah ”Yo mātaraṁ vā pitaraṁ gatayobbanaṁ, pahū santo na bharati, taṁ jaññā vasalo iti”: Siapapun yang tidak menyokong ayah dan ibunya yang sudah tua dan lemah, padahal dia hidup dalam keadaan berkecukupan, dialah yang disebut sampah. Bila seorang anak hidup berkecukupan tetapi tidak mau menyokong kedua orangtuanya, Sang Buddha mengatakan orang seperti itu sebagai ’manusia sampah’ yang tidak berguna dan melepaskan kesempatan untuk berbuat kebajikan dengan membalas jasa kepada orangtua.

Atas jasa orangtua terhadap anak yang sangat luar biasa bahkan sulit diukur dengan apa saja di dunia ini, maka sudah sepantasnya kita sebagai anak-anak mempunyai kewajiban untuk membalas jasa kebajikan yang pernah dilakukan oleh orangtua. Sang Buddha sendiri tidak pernah melupakan jasa-jasa baik orangtua-Nya, ini dibuktikan dengan membimbing orangtua-Nya di dalam Dhamma sampai mecapai pembebasan dari penderitaan. Sebagaimana yang Sang Buddha ajarkan kepada pemuda Sigālaka (Dīgha Nikāya, Sigālovāda Sutta), Sang Buddha menjelaskan tentang kewajiban anak terhadap orangtua, yaitu: merawat orangtua dengan baik, membantu pekerjaan atau tugas orangtua, menjaga tradisi dan nama baik keluarga, menjaga warisan yang diberikan oleh orangtua, dan melakukan kebajikan atas nama orangtua mereka (pattidāna).

Sering muncul pertanyaan, bagaimana jika memiliki orangtua yang jahat dan tidak mermoral bahkan menghancurkan kehidupan anak-anaknya? Hal ini memang merupakan suatu dilema yang sangat berat. Sebagai seorang anak yang baik, maka seharusnya tidak lepas tangan begitu saja menghadapi persoalan yang demikian. Bila mereka masih dapat menyokong dengan materi, bantulah mereka, karena tugas anak secara umum adalah membahagiakan orangtua, di samping mengenalkan keyakinan tentang sebab-akibat, kemoralan, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Kalau kita dapat membuat orangtua kokoh dalam saddhā, sīla, cāga, dan pannā, maka kita dapat dikatakan telah membalas jasa orangtua. Sang Buddha bukan hanya mengajarkan Dhamma, tetapi Beliau adalah teladan bagi semua anak-anak yang ingin menjadi anak berbakti dan tahu balas budi kepada orangtua. Dalam riwayat hidup-Nya, Sang Buddha membuat kedua orangtua-Nya, keluarga, sanak famili, saudara, teman-teman, orang-orang yang tidak dikenal, dan orang-orang yang sebelumnya memusuhi, bahkan para dewa, turut mencapai kebahagiaan, bebas dari penderitaan dengan cara melaksanakan dan mempraktikkan Dhamma.

Semoga kita menjadi anak yang tahu balas budi dan dapat berbakti kepada orangtua. Setiap tanggal 22 Desember , kita memperingati Hari Ibu, suatu momen yang sangat berharga bagi kita untuk menunjukkan rasa bakti kepada orangtua. Tidak semua anak menjadi orangtua, tetapi semua orangtua pasti pernah menjadi anak-anak, baik orangtua kita yang masih ada ataupun yang sudah tiada. Mari kita kenang mereka dengan perilaku yang baik agar pantas menyandang predikat anak yang berbakti. Selamat Hari Ibu, semoga dapat mengingatkan kita kembali akan keluhuran, cinta kasih, kasih sayang, dan perjuangan orangtua yang tidak terukur dalamnya dan tidak ternilai harganya. Semoga semua makhluk berbahagia.

 
Back
Top