nurcahyo
New member
IMAN KEPADA ROSUL
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2
Muhammad Rasulullah[1]
Beliau adalah Abul Qasim Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnan, dan ‘Adnan adalah salah satu putera Nabi Allah Isma’il bin Ibrahim al-Khalil -salam terlimpah atas Nabi kita dan atas keduanya-.
Beliau adalah penutup para Nabi dan Rasul, serta utusan Allah kepada seluruh manusia. Beliau adalah hamba yang tidak boleh disembah, dan Rasul yang tidak boleh didustakan. Beliau adalah sebaik-baik makhluk, makhluk yang paling utama dan paling mulia di hadapan Allah Ta’ala, derajatnya paling tinggi, dan kedudukannya paling dekat kepada Allah.
Beliau diutus kepada manusia dan jin dengan membawa kebenaran dan petunjuk, yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi alam semesta, sebagaimana firman-Nya,
“Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan untuk (men-jadi) rahmat bagi semesta alam.” [Al-Anbiyaa': 107]
Allah menurunkan Kitab-Nya kepadanya, memberikan amanah kepadanya atas agama-Nya, dan menugaskannya untuk menyampaikan risalah-Nya. Allah telah melindungi-nya dari kesalahan dalam menyampaikan risalah ini, sebagai-mana firman-Nya.
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanya-lah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]
Ahlus Sunnah beriman bahwa Allah Ta’ala mendukung (menguatkan) Nabi-Nya dengan mukjizat-mukjizat yang nyata dan ayat-ayat yang jelas.
Di antara mukjizat-mukjizat tersebut dan yang terbesar adalah Al-Qur-an yang dengannya Allah mengemukakan tantangan kepada ummat yang paling fasih dan paling men-dalam (bahasanya) serta paling mampu bermanthiq (ber-logika).
Mukjizat terbesar -setelah Al-Qur’an- yang dengannya Allah menguatkan Nabi-Nya adalah mukjizat Isra’ dan Mi’raj, yaitu dibawanya Nabi Muhammad Shallallahu oleh Malaikat Jibril pada satu malam dari Makkah ke Baitul Maqdis kemudian ke langit sampai ke Sidratul Muntaha. Dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam melakukan Isra’ dan Mi’raj dengan ruh dan jasadnya dalam keadaan sadar. Juga mukjizat-mukjizat lainnya.
Keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Tentang Muhammad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah
[1]. Keumuman Risalah Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam.
Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam diutus Allah ke muka bumi untuk segenap jin dan manusia dengan membawa kebenaran, petunjuk dan cahaya yang terang. Dalil tentang keumuman risalah beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
"Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada seluruh ummat manusia, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan ma-nusia tiada mengetahui.” [Saba’: 28] [2]
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“Aku dianugerahi lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang pun dari Rasul-Rasul sebelum-ku, yaitu (1) aku diberikan pertolongan dengan takutnya musuh mendekatiku dari jarak sebulan perjalanan, (2) dijadikan bumi bagiku sebagai tempat shalat dan bersuci (untuk tayammum-pent.), maka siapa saja dari ummatku yang mendapati waktu shalat, maka hendaklah ia shalat, (3) dihalalkan rampasan perang bagiku dan tidak dihalalkan kepada seorang Nabi pun sebelumku, (4) dan aku diberikan kekuasaan memberikan syafa’at (dengan izin Allah), (5) Nabi-Nabi diutus hanya untuk kaumnya saja sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.”[3]
Mereka (Ahlus Sunnah) mengimani dan meyakini bahwasanya beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Ahlus Sunnah menyaksikan dan meyakini bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah Rasul yang paling mulia dan peng-hulu seluruh makhluk.
Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah hamba Allah dan utusan-Nya, dua sifat ini (hamba dan utusan) untuk menolak adanya sifat ghuluw (melampaui batas) dan tafrith (melalaikan hak-hak beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam).
[2]. Ahlus Sunnah Meyakini Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Aalaihi Wa Sallam Adalah Penutup Para Nabi ‘Alaihimus Sallam
Setiap orang yang mendakwahkan adanya kenabian sesudah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang demikian itu adalah sesat dan kufur.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Al-Ahzaab: 40]
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam menyebutkan akan adanya dajjal (pendusta) yang mengaku sebagai Nabi, kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“...Dan sesungguhnya akan muncul pada ummatku pendusta yang jumlahnya tiga puluh orang, mereka semua mengaku sebagai Nabi, sedangkan aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi sepeninggalku.”[4]
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda.
“Aku memiliki lima nama: aku Muhammad (yang terpuji), aku adalah Ahmad (yang banyak memuji), aku adalah al-Maahi (penghapus) dimana melalui perantaraan-ku Allah menghapus kekufuran. Aku adalah al-Haasyir (pengumpul) yang mana manusia akan dikumpulkan di hadapanku. Aku juga mempunyai nama al-‘Aaqib (belakangan/penutup) -tidak ada lagi Nabi yang datang sesudahku-.”[5]
[3]. Ahlus Sunnah Berkeyakinan Bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam Tidak Mengetahui Masalah Yang Ghaib Semasa Hidupnya Kecuali Yang Diajarkan Oleh Allah Azza wa Jalla, Apalagi Setelah Beliau Shalallahu Alaihi Wa Sallam Wafat.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Katakanlah: ‘Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini Malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang telah diwahyukan kepadaku.’...” [Al-An’aam: 50][6]
Kalau Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui masalah yang ghaib, maka apalagi orang lain. Karena yang mengetahui masalah yang ghaib hanya Allah Azza wa Jalla semata.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Katakanlah: ‘Tidaklah ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah.’ Dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.” [An-Naml: 65]
[4]. Wajibnya Mencintai Dan Mengagungkan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam Serta Larangan Ghuluw (Berlebih-lebihan)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat tentang wajibnya mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kecintaan dan pengagungan terhadap seluruh makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi dalam mencintai dan mengagungkan beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam tidak boleh melebihi apa yang telah ditentukan syari’at, karena bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam seluruh perkara agama akan menyebabkan kebinasaan.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Tidaklah beriman seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.”[7]
Pertama-tama, wajib bagi setiap hamba mencintai Allah dan ini merupakan bentuk ibadah yang paling agung. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” [Al-Baqarah:165]
Ahlus Sunnah mencintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mengagungkannya sebagaimana para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum mencintai beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari kecintaan mereka kepada diri dan anak-anak mereka, sebagaimana yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kami mengiringi Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam, dan beliau menggandeng tangan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. Kemudian ‘Umar berkata kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apa pun selain diriku.’ Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam menjawab: ‘Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu.’ Lalu ‘Umar berkata kepada beliau: ‘Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sekarang (engkau benar), wahai ‘Umar.’”[8]
Berdasarkan hadits di atas, maka mencintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib dan harus didahulukan daripada kecintaan kepada segala sesuatu selain kecintaan kepada Allah, sebab mencintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengikuti sekaligus ke-harusan dalam mencintai Allah. Mencintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah cinta karena Allah. Ia bertambah dengan bertambah-nya kecintaan kepada Allah dalam hati seorang mukmin, dan berkurang dengan berkurangnya kecintaan kepada Allah.
Orang yang beriman akan merasakan manisnya iman apabila hanya Allah dan Rasul-Nya yang paling ia cintai.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. (2) Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allah. (3) Ia tidak suka untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia tidak mau untuk dilemparkan ke dalam api.”[9]
Mencintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan adanya peng-hormatan, ketundukan dan keteladanan kepada beliau serta mendahulukan sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam atas segala ucapan makhluk, serta mengagungkan Sunnah-Sunnahnya.
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Setiap kecintaan dan pengagungan kepada manusia hanya dibolehkan dalam rangka mengikuti kecintaan dan pengagungan kepada Allah. Seperti mencintai dan mengagungkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya ia adalah penyempurna kecintaan dan penga-gungan kepada Rabb yang mengutusnya. Ummatnya men-cintai beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam karena Allah telah memuliakannya. Maka kecintaan ini adalah karena Allah sebagai konsekuensi dalam mencintai Allah.”[10]
Maksudnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan kewibawaan dan kecintaan kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam, karena itu tidak ada seorang manusia pun yang lebih dicintai dan disegani dalam hati para Sahabat kecuali Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam[11]
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
_________
Foote Note
[1]. Pembahasan ini diringkas dari kitab al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salaafish Shaalih Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 84-87) dan ‘Aqiidatut Tauhiid dengan beberapa tambahan dari kitab-kitab lain.
[2]. Lihat juga QS. Al-Anbiyaa’: 107 dan al-Ahqaaf: 29-31.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 335) dan Muslim (no. 521), dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah al-Anshari Radhiyallahu 'anhu, lafazh ini milik al-Bukhari.
[4]. HR. ?Ahmad (V/278), Abu Dawud (no. 4252), Ibnu Majah (no. 3952), dengan sanad yang shahih menurut syarat Muslim, dari Sahabat Tsauban Radhiyallahu 'anhu. Ketahuilah bahwa di antara dajjal (pendusta) yang mengaku sebagai Nabi adalah Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani al-Hindi, yang muncul ketika kolonial Inggris menjajah India. Pada awalnya ia mengaku sebagai al-Mahdi al-Muntazhar (Imam Mahdi yang ditunggu), kemudian mengaku sebagai Nabi ‘Isa Alaihis Sallam, dan terakhir ia mengaku sebagai Nabi dan mendirikan aliran Ahmadiyah... Mereka (kaum Ahmadiyah) mempunyai keyakinan-keyakinan bathil yang banyak sekali dan menyalahi keyakinan ummat Islam. Mereka menafikan tentang dibangkitkannya jasad manusia dari kubur (nanti pada hari Kiamat), mereka meyakini bahwa nikmat dan siksa hanya dialami oleh ruh saja, mereka beranggapan bahwa siksaan terhadap orang kafir terbatas, mengingkari adanya jin dan lain sebagainya. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (IV/252) oleh Syaikh al-Albani.
Pendapat para ulama bahwa Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908 M) adalah kafir, juga aliran Ahmadiyah pun kafir, mereka disebut sebagai MINORITAS NON MUSLIM!!!
Di antara keyakinan-keyakinan sesat Ahmadiyah adalah:
[a]. Meyakini bahwa Allah puasa, tidur, menulis, dapat bersalah dan lainnya. Mereka menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Ta’aalal-laahu ‘amma yaquuluuna ‘uluwwan kabiiran.
. Meyakini bahwa Nabi Muhammad j bukanlah Nabi terakhir, dan mereka meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi terakhir dan paling utama.
[c]. Mereka memiliki kitab suci tersendiri yang berbeda dengan Al-Qur-an ummat Islam, mereka menamakannya Kitaabul Mubiin.
[d]. Menurut mereka, tidak ada jihad dalam Islam, dan telah dihapus.
[e]. Setiap Muslim adalah kafir -menurut mereka- sampai masuk aliran Ahmadiyah al-Qadiyani.
[f ]. Mereka menghalalkan khamr, narkoba, barang yang memabukkan, dan lainnya.
Ahmadiyah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Yahudi, Nashrani, dan aliran kebathinan. (Lihat al-Mausuu’ah al-Muyassarah fil Adyaan wal Madzaahib wal Ahzaabil Mu’ashshirah I/419-423, cet. WAMY, th. 1418 H.)
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 3532), Muslim (no. 2354) dan at-Tirmidzi (no. 2840), dari Sahabat Jubair bin Muth'im Radhiyallahu 'anhu. Penjelasan dalam tanda kurung adalah penjelasan dari Imam az-Zuhri yang terdapat dalam riwayat Muslim dan at-Tirmidzi. Lihat Fat-hul Baari (VI/557) cet. Darul Fikr.
[6]. Lihat juga QS. Al-A’raaf: 188 dan Jin: 26-27.
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 15), Muslim (no. 44), Ahmad (III/275) dan an-Nasa-i (VIII/114-115), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 6632), dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam z.
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43 (67)), at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa-i (VIII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033), dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu
[10]. Jalaa’ul Afhaam fii Fadhlish Shalaati was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil Anaam (hal. 297-298), tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
[11]. Aqiidatut Tauhiid (hal. 150), oleh Dr. Shalih al-Fauzan
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2
Muhammad Rasulullah[1]
Beliau adalah Abul Qasim Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnan, dan ‘Adnan adalah salah satu putera Nabi Allah Isma’il bin Ibrahim al-Khalil -salam terlimpah atas Nabi kita dan atas keduanya-.
Beliau adalah penutup para Nabi dan Rasul, serta utusan Allah kepada seluruh manusia. Beliau adalah hamba yang tidak boleh disembah, dan Rasul yang tidak boleh didustakan. Beliau adalah sebaik-baik makhluk, makhluk yang paling utama dan paling mulia di hadapan Allah Ta’ala, derajatnya paling tinggi, dan kedudukannya paling dekat kepada Allah.
Beliau diutus kepada manusia dan jin dengan membawa kebenaran dan petunjuk, yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi alam semesta, sebagaimana firman-Nya,
“Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan untuk (men-jadi) rahmat bagi semesta alam.” [Al-Anbiyaa': 107]
Allah menurunkan Kitab-Nya kepadanya, memberikan amanah kepadanya atas agama-Nya, dan menugaskannya untuk menyampaikan risalah-Nya. Allah telah melindungi-nya dari kesalahan dalam menyampaikan risalah ini, sebagai-mana firman-Nya.
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanya-lah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]
Ahlus Sunnah beriman bahwa Allah Ta’ala mendukung (menguatkan) Nabi-Nya dengan mukjizat-mukjizat yang nyata dan ayat-ayat yang jelas.
Di antara mukjizat-mukjizat tersebut dan yang terbesar adalah Al-Qur-an yang dengannya Allah mengemukakan tantangan kepada ummat yang paling fasih dan paling men-dalam (bahasanya) serta paling mampu bermanthiq (ber-logika).
Mukjizat terbesar -setelah Al-Qur’an- yang dengannya Allah menguatkan Nabi-Nya adalah mukjizat Isra’ dan Mi’raj, yaitu dibawanya Nabi Muhammad Shallallahu oleh Malaikat Jibril pada satu malam dari Makkah ke Baitul Maqdis kemudian ke langit sampai ke Sidratul Muntaha. Dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam melakukan Isra’ dan Mi’raj dengan ruh dan jasadnya dalam keadaan sadar. Juga mukjizat-mukjizat lainnya.
Keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Tentang Muhammad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah
[1]. Keumuman Risalah Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam.
Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam diutus Allah ke muka bumi untuk segenap jin dan manusia dengan membawa kebenaran, petunjuk dan cahaya yang terang. Dalil tentang keumuman risalah beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
"Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada seluruh ummat manusia, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan ma-nusia tiada mengetahui.” [Saba’: 28] [2]
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“Aku dianugerahi lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang pun dari Rasul-Rasul sebelum-ku, yaitu (1) aku diberikan pertolongan dengan takutnya musuh mendekatiku dari jarak sebulan perjalanan, (2) dijadikan bumi bagiku sebagai tempat shalat dan bersuci (untuk tayammum-pent.), maka siapa saja dari ummatku yang mendapati waktu shalat, maka hendaklah ia shalat, (3) dihalalkan rampasan perang bagiku dan tidak dihalalkan kepada seorang Nabi pun sebelumku, (4) dan aku diberikan kekuasaan memberikan syafa’at (dengan izin Allah), (5) Nabi-Nabi diutus hanya untuk kaumnya saja sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.”[3]
Mereka (Ahlus Sunnah) mengimani dan meyakini bahwasanya beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Ahlus Sunnah menyaksikan dan meyakini bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah Rasul yang paling mulia dan peng-hulu seluruh makhluk.
Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah hamba Allah dan utusan-Nya, dua sifat ini (hamba dan utusan) untuk menolak adanya sifat ghuluw (melampaui batas) dan tafrith (melalaikan hak-hak beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam).
[2]. Ahlus Sunnah Meyakini Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Aalaihi Wa Sallam Adalah Penutup Para Nabi ‘Alaihimus Sallam
Setiap orang yang mendakwahkan adanya kenabian sesudah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang demikian itu adalah sesat dan kufur.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Al-Ahzaab: 40]
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam menyebutkan akan adanya dajjal (pendusta) yang mengaku sebagai Nabi, kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“...Dan sesungguhnya akan muncul pada ummatku pendusta yang jumlahnya tiga puluh orang, mereka semua mengaku sebagai Nabi, sedangkan aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi sepeninggalku.”[4]
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda.
“Aku memiliki lima nama: aku Muhammad (yang terpuji), aku adalah Ahmad (yang banyak memuji), aku adalah al-Maahi (penghapus) dimana melalui perantaraan-ku Allah menghapus kekufuran. Aku adalah al-Haasyir (pengumpul) yang mana manusia akan dikumpulkan di hadapanku. Aku juga mempunyai nama al-‘Aaqib (belakangan/penutup) -tidak ada lagi Nabi yang datang sesudahku-.”[5]
[3]. Ahlus Sunnah Berkeyakinan Bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam Tidak Mengetahui Masalah Yang Ghaib Semasa Hidupnya Kecuali Yang Diajarkan Oleh Allah Azza wa Jalla, Apalagi Setelah Beliau Shalallahu Alaihi Wa Sallam Wafat.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Katakanlah: ‘Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini Malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang telah diwahyukan kepadaku.’...” [Al-An’aam: 50][6]
Kalau Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui masalah yang ghaib, maka apalagi orang lain. Karena yang mengetahui masalah yang ghaib hanya Allah Azza wa Jalla semata.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Katakanlah: ‘Tidaklah ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah.’ Dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.” [An-Naml: 65]
[4]. Wajibnya Mencintai Dan Mengagungkan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam Serta Larangan Ghuluw (Berlebih-lebihan)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat tentang wajibnya mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kecintaan dan pengagungan terhadap seluruh makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi dalam mencintai dan mengagungkan beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam tidak boleh melebihi apa yang telah ditentukan syari’at, karena bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam seluruh perkara agama akan menyebabkan kebinasaan.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Tidaklah beriman seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.”[7]
Pertama-tama, wajib bagi setiap hamba mencintai Allah dan ini merupakan bentuk ibadah yang paling agung. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” [Al-Baqarah:165]
Ahlus Sunnah mencintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mengagungkannya sebagaimana para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum mencintai beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari kecintaan mereka kepada diri dan anak-anak mereka, sebagaimana yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kami mengiringi Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam, dan beliau menggandeng tangan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. Kemudian ‘Umar berkata kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apa pun selain diriku.’ Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam menjawab: ‘Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu.’ Lalu ‘Umar berkata kepada beliau: ‘Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sekarang (engkau benar), wahai ‘Umar.’”[8]
Berdasarkan hadits di atas, maka mencintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib dan harus didahulukan daripada kecintaan kepada segala sesuatu selain kecintaan kepada Allah, sebab mencintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengikuti sekaligus ke-harusan dalam mencintai Allah. Mencintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah cinta karena Allah. Ia bertambah dengan bertambah-nya kecintaan kepada Allah dalam hati seorang mukmin, dan berkurang dengan berkurangnya kecintaan kepada Allah.
Orang yang beriman akan merasakan manisnya iman apabila hanya Allah dan Rasul-Nya yang paling ia cintai.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. (2) Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allah. (3) Ia tidak suka untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia tidak mau untuk dilemparkan ke dalam api.”[9]
Mencintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan adanya peng-hormatan, ketundukan dan keteladanan kepada beliau serta mendahulukan sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam atas segala ucapan makhluk, serta mengagungkan Sunnah-Sunnahnya.
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Setiap kecintaan dan pengagungan kepada manusia hanya dibolehkan dalam rangka mengikuti kecintaan dan pengagungan kepada Allah. Seperti mencintai dan mengagungkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya ia adalah penyempurna kecintaan dan penga-gungan kepada Rabb yang mengutusnya. Ummatnya men-cintai beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam karena Allah telah memuliakannya. Maka kecintaan ini adalah karena Allah sebagai konsekuensi dalam mencintai Allah.”[10]
Maksudnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan kewibawaan dan kecintaan kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam, karena itu tidak ada seorang manusia pun yang lebih dicintai dan disegani dalam hati para Sahabat kecuali Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam[11]
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
_________
Foote Note
[1]. Pembahasan ini diringkas dari kitab al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salaafish Shaalih Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 84-87) dan ‘Aqiidatut Tauhiid dengan beberapa tambahan dari kitab-kitab lain.
[2]. Lihat juga QS. Al-Anbiyaa’: 107 dan al-Ahqaaf: 29-31.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 335) dan Muslim (no. 521), dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah al-Anshari Radhiyallahu 'anhu, lafazh ini milik al-Bukhari.
[4]. HR. ?Ahmad (V/278), Abu Dawud (no. 4252), Ibnu Majah (no. 3952), dengan sanad yang shahih menurut syarat Muslim, dari Sahabat Tsauban Radhiyallahu 'anhu. Ketahuilah bahwa di antara dajjal (pendusta) yang mengaku sebagai Nabi adalah Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani al-Hindi, yang muncul ketika kolonial Inggris menjajah India. Pada awalnya ia mengaku sebagai al-Mahdi al-Muntazhar (Imam Mahdi yang ditunggu), kemudian mengaku sebagai Nabi ‘Isa Alaihis Sallam, dan terakhir ia mengaku sebagai Nabi dan mendirikan aliran Ahmadiyah... Mereka (kaum Ahmadiyah) mempunyai keyakinan-keyakinan bathil yang banyak sekali dan menyalahi keyakinan ummat Islam. Mereka menafikan tentang dibangkitkannya jasad manusia dari kubur (nanti pada hari Kiamat), mereka meyakini bahwa nikmat dan siksa hanya dialami oleh ruh saja, mereka beranggapan bahwa siksaan terhadap orang kafir terbatas, mengingkari adanya jin dan lain sebagainya. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (IV/252) oleh Syaikh al-Albani.
Pendapat para ulama bahwa Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908 M) adalah kafir, juga aliran Ahmadiyah pun kafir, mereka disebut sebagai MINORITAS NON MUSLIM!!!
Di antara keyakinan-keyakinan sesat Ahmadiyah adalah:
[a]. Meyakini bahwa Allah puasa, tidur, menulis, dapat bersalah dan lainnya. Mereka menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Ta’aalal-laahu ‘amma yaquuluuna ‘uluwwan kabiiran.
. Meyakini bahwa Nabi Muhammad j bukanlah Nabi terakhir, dan mereka meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi terakhir dan paling utama.
[c]. Mereka memiliki kitab suci tersendiri yang berbeda dengan Al-Qur-an ummat Islam, mereka menamakannya Kitaabul Mubiin.
[d]. Menurut mereka, tidak ada jihad dalam Islam, dan telah dihapus.
[e]. Setiap Muslim adalah kafir -menurut mereka- sampai masuk aliran Ahmadiyah al-Qadiyani.
[f ]. Mereka menghalalkan khamr, narkoba, barang yang memabukkan, dan lainnya.
Ahmadiyah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Yahudi, Nashrani, dan aliran kebathinan. (Lihat al-Mausuu’ah al-Muyassarah fil Adyaan wal Madzaahib wal Ahzaabil Mu’ashshirah I/419-423, cet. WAMY, th. 1418 H.)
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 3532), Muslim (no. 2354) dan at-Tirmidzi (no. 2840), dari Sahabat Jubair bin Muth'im Radhiyallahu 'anhu. Penjelasan dalam tanda kurung adalah penjelasan dari Imam az-Zuhri yang terdapat dalam riwayat Muslim dan at-Tirmidzi. Lihat Fat-hul Baari (VI/557) cet. Darul Fikr.
[6]. Lihat juga QS. Al-A’raaf: 188 dan Jin: 26-27.
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 15), Muslim (no. 44), Ahmad (III/275) dan an-Nasa-i (VIII/114-115), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 6632), dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam z.
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43 (67)), at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa-i (VIII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033), dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu
[10]. Jalaa’ul Afhaam fii Fadhlish Shalaati was Salaam ‘alaa Muhammad Khairil Anaam (hal. 297-298), tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
[11]. Aqiidatut Tauhiid (hal. 150), oleh Dr. Shalih al-Fauzan
Last edited: