jmw01
New member
REPUBLIKA.CO.ID,GAZA--Tsunami, indomie, dan Abu Bakar Ba’asyir. Inilah kata yang paling banyak saya dengar dari mulut masyarakat Gaza manakala mereka tahu asal negara saya. Yah, tiga kata itu ibarat kata sakti bagi orang-orang di Jalur Gaza untuk mengidentifikasi makna Indonesia.
Anak-anak gaza
Saya ingat betul di pagi pertama saat berada di Jalur Gaza. Atiyah (41 tahun), pedagang toko makanan dan minuman di perempatan Pasar Rafah, dengan yakinnya menebak saya dari Malaysia. Sepertinya negara di Asia Tenggara yang paling dikenal di seluruh penjuru Gaza adalah negeri jiran Indonesia ini.
Segera saya membetulkan tebakan Atiyah. ''Bukan, saya dari Indonesia.'' Atiyah lantas lancar menyebut kata tsunami dan Indomie. ''Ya, tsunami. Indomie juga ya,'' katanya seraya mengambil sebuah bungkus mie instant yang paling terkenal di Indonesia. Mie instant yang ditunjukkan Atiyah pada saya adalah mie kemasan buatan Mesir. Tulisan merknya pun berbahasa Arab. Rupanya, produsen Indomie asal Indonesia itu telah membangun pabrik di Mesir. Setiap warung makanan-minuman yang ada di Gaza bisa dipastikan menjajakan indomie.
''Bagaimana Jakarta saat tsunami terjadi. Apakah banyak rumah yang roboh?'' tanya tiga warga Gaza lainya yang ditemui Republika di tempat dan waktu terbeda. Saya pun terpaksa menjadi ‘juru bicara Indonesia’ atas pertanyaan tersebut. Saya katakan jika Indonesia tidak seperti Jalur Gaza yang hanya seluas 370 kilometer persegi. Jakarta dan Aceh terpisah jarak sekitar 2.500 kilometer atau lebih dari 55 kali jarak dari Rafah-Jabaliya, dua wilayah di ujung selatan dan utara Jalur Gaza. Mereka pun mengangguk mengerti.
Kekosongan pikiran rakyat Gaza terhadap Indonesia juga tercermin dari kekaguman anak-anak sekolah Gaza atas kemampuan saya membaca Alquran. Hampir semua anak yang saya temui di pantai Gaza, masjid-masjid, dan pasar, bertepuk tangan manakala saya bisa menjawab ‘tantangan’ mereka membaca Alquran. Kebanyakan orang Gaza tidak tahu jika umat Muslim di Indonesia juga mampu membaca Alquran dalam tulisan aslinya.
''Kalian membaca Alquran dalam bahasa Arab? Bukan terjemahan dalam bahasa kalian?'' tanya Hasan Ali Al Azajy, guru mengaji di Masjid Ibadurrahman, Rafah. Saya hanya bisa menganggukkan kepala dan berkata, ''Ya, sama seperti Anda membaca Alquran.'' Hasan pun mengajak murid-muridnya bertakbir manakala mendengar jawaban saya.
Ihwal kata Malaysia yang selalu disematkan pada saya manakala berjumpa dengan masyarakat umum di Jalur Gaza, saya punya kesimpulan sendiri. Malaysia tampaknya pandai menemukan cara bagaimana mereka bisa menempatkan dirinya dalam kepala rakyat Gaza. Di sejumlah lokasi, saya menemukan bendera Malaysia terpampang pada plang-plang bangunan yang dibuat atas bantuan masyarakat Malaysia. Lembaga penyumbangnya memang berbeda-beda, tapi selalu ada bendera atau kata Malaysia di sana. Pola yang sama saya lihat di setiap bangunan yang dibantu masyarakat Turki.
Sayangnya, pola ini tidak saya lihat pada plang bangunan atau proyek yang dibantu oleh lembaga sosial-kemanusiaan asal Indonesia. Kebanyakan lembaga sosial-kemanusiaan Indonesia tidak membubuhkan bendera merah-putih pada prasasti tanda bantuan. Hanya simbol dan nama lembaga yang tampak sangat mencolok.
Semua ini tentu hanya satu sisi dari fakta-fakta berserakan yang saya temukan selama di Gaza. Ada pula sisi baik Indonesia yang saya temukan di sini. Sisi itu bernuansa politis karena menyangkut sikap solidaritas dan dukungan politik rakyat Indonesia terhadap kemerdekaan negara Palestina.
Umumnya mereka yang sangat peka terhadap dengan perkembangan Muslim di Indonesia adalah kaum terpelajar Gaza (mahasiswa) dan kalangan birokrat. Mereka memberikan apresiasi yang tinggi terhadap reaksi cepat rakyat Indonesia manakala ada sikap Israel yang dinilai menyakiti perjuangan kemerdekaan Palestina. Demontrasi anti-Israel, pengutukan terhadap peristiwa Mavi Marmara, dan seruan boikot produk-produk Israel-Amerika Serikat di Indonesia, adalah sebagian daftar yang mendapatkan apresiasi paling tinggi di benak mahasiswa dan birokrat Jalur Gaza.
Saya tentu saja berharap, kecuali segala aksi yang bernuansa politis tersebut, nama Indonesia akan lebih terkenang karena kegiatan-kegiatan berpanji kemanusiaan yang dilakukan untuk rakyat Gaza. Sehingga saya tak perlu lagi bertanya sendiri, ''Sesungguhnya adakah Indonesia di hati masyarakat Gaza?''
Anak-anak gaza
Saya ingat betul di pagi pertama saat berada di Jalur Gaza. Atiyah (41 tahun), pedagang toko makanan dan minuman di perempatan Pasar Rafah, dengan yakinnya menebak saya dari Malaysia. Sepertinya negara di Asia Tenggara yang paling dikenal di seluruh penjuru Gaza adalah negeri jiran Indonesia ini.
Segera saya membetulkan tebakan Atiyah. ''Bukan, saya dari Indonesia.'' Atiyah lantas lancar menyebut kata tsunami dan Indomie. ''Ya, tsunami. Indomie juga ya,'' katanya seraya mengambil sebuah bungkus mie instant yang paling terkenal di Indonesia. Mie instant yang ditunjukkan Atiyah pada saya adalah mie kemasan buatan Mesir. Tulisan merknya pun berbahasa Arab. Rupanya, produsen Indomie asal Indonesia itu telah membangun pabrik di Mesir. Setiap warung makanan-minuman yang ada di Gaza bisa dipastikan menjajakan indomie.
''Bagaimana Jakarta saat tsunami terjadi. Apakah banyak rumah yang roboh?'' tanya tiga warga Gaza lainya yang ditemui Republika di tempat dan waktu terbeda. Saya pun terpaksa menjadi ‘juru bicara Indonesia’ atas pertanyaan tersebut. Saya katakan jika Indonesia tidak seperti Jalur Gaza yang hanya seluas 370 kilometer persegi. Jakarta dan Aceh terpisah jarak sekitar 2.500 kilometer atau lebih dari 55 kali jarak dari Rafah-Jabaliya, dua wilayah di ujung selatan dan utara Jalur Gaza. Mereka pun mengangguk mengerti.
Kekosongan pikiran rakyat Gaza terhadap Indonesia juga tercermin dari kekaguman anak-anak sekolah Gaza atas kemampuan saya membaca Alquran. Hampir semua anak yang saya temui di pantai Gaza, masjid-masjid, dan pasar, bertepuk tangan manakala saya bisa menjawab ‘tantangan’ mereka membaca Alquran. Kebanyakan orang Gaza tidak tahu jika umat Muslim di Indonesia juga mampu membaca Alquran dalam tulisan aslinya.
''Kalian membaca Alquran dalam bahasa Arab? Bukan terjemahan dalam bahasa kalian?'' tanya Hasan Ali Al Azajy, guru mengaji di Masjid Ibadurrahman, Rafah. Saya hanya bisa menganggukkan kepala dan berkata, ''Ya, sama seperti Anda membaca Alquran.'' Hasan pun mengajak murid-muridnya bertakbir manakala mendengar jawaban saya.
Ihwal kata Malaysia yang selalu disematkan pada saya manakala berjumpa dengan masyarakat umum di Jalur Gaza, saya punya kesimpulan sendiri. Malaysia tampaknya pandai menemukan cara bagaimana mereka bisa menempatkan dirinya dalam kepala rakyat Gaza. Di sejumlah lokasi, saya menemukan bendera Malaysia terpampang pada plang-plang bangunan yang dibuat atas bantuan masyarakat Malaysia. Lembaga penyumbangnya memang berbeda-beda, tapi selalu ada bendera atau kata Malaysia di sana. Pola yang sama saya lihat di setiap bangunan yang dibantu masyarakat Turki.
Sayangnya, pola ini tidak saya lihat pada plang bangunan atau proyek yang dibantu oleh lembaga sosial-kemanusiaan asal Indonesia. Kebanyakan lembaga sosial-kemanusiaan Indonesia tidak membubuhkan bendera merah-putih pada prasasti tanda bantuan. Hanya simbol dan nama lembaga yang tampak sangat mencolok.
Semua ini tentu hanya satu sisi dari fakta-fakta berserakan yang saya temukan selama di Gaza. Ada pula sisi baik Indonesia yang saya temukan di sini. Sisi itu bernuansa politis karena menyangkut sikap solidaritas dan dukungan politik rakyat Indonesia terhadap kemerdekaan negara Palestina.
Umumnya mereka yang sangat peka terhadap dengan perkembangan Muslim di Indonesia adalah kaum terpelajar Gaza (mahasiswa) dan kalangan birokrat. Mereka memberikan apresiasi yang tinggi terhadap reaksi cepat rakyat Indonesia manakala ada sikap Israel yang dinilai menyakiti perjuangan kemerdekaan Palestina. Demontrasi anti-Israel, pengutukan terhadap peristiwa Mavi Marmara, dan seruan boikot produk-produk Israel-Amerika Serikat di Indonesia, adalah sebagian daftar yang mendapatkan apresiasi paling tinggi di benak mahasiswa dan birokrat Jalur Gaza.
Saya tentu saja berharap, kecuali segala aksi yang bernuansa politis tersebut, nama Indonesia akan lebih terkenang karena kegiatan-kegiatan berpanji kemanusiaan yang dilakukan untuk rakyat Gaza. Sehingga saya tak perlu lagi bertanya sendiri, ''Sesungguhnya adakah Indonesia di hati masyarakat Gaza?''