Kalina
Moderator
Betapa dalam duka yang dirasakan dr Handojo DTMH MPH saat mendengar kabar bahwa KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mantan presiden RI, meninggal dunia Rabu lalu (30/12). Sejak Oktober 2006 dia "menjelma" sebagai Gus Pur, tokoh parodi dari guru bangsa yang kini telah pergi untuk selamanya itu.
setelah tidak ada lagi sosok yang diparodikannya, Gus Pur berniat banting setir menjadi komentator. Dengan cara itu, dia bisa bicara beberapa hal. Di antaranya bidang kesehatan, sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya di sekolah, dan bidang politik. Dalam hal politik, juga budaya, dokter umum yang praktik di Rumah Sakit Harum, Kalimalang, Jakarta Timur, tersebut belajar banyak dari Gus Dur sehingga memiliki banyak kesamaan.
Gus Pur bukan "baru kemarin sore" mengenal Gus Dur. Ayah dua anak itu mengikuti sepak terjangnya sejak 1984. "Sejak 1984 saya menjiwai beliau. Saya selalu membaca tulisannya di koran dan majalah. Banyak pemikiran kami yang sama," ujarnya kemarin (2/1).
Maka, jangan heran jika Gus Pur memiliki banyak tulisan Gus Dur tentang banyak hal. Tapi, dia tidak pernah menghitungnya karena masih bertumpuk di salah satu sudut ruang di rumahnya. Gara-gara tertarik dengan kisah-kisah tertulis tentang Gus Dur, Gus Pur pun jadi rajin membaca.
Uniknya, yang dia baca bukan buku kedokteran atau tentang kesehatan, sesuai dengan jurusan sekolah dan bidang kerjanya saat ini. "Baca buku kedokteran cukup di masa sekolah saja. Saya malah senang baca tentang politik, ekonomi, sosial, budaya. Sekarang saya lagi pelajari neoliberalisme," ujarnya.
Dampaknya, Gus Pur semakin bisa menjiwai sosok Gus Dur. Maka, saat acara Republik Mimpi (saat itu masih di Metro TV) membuka audisi, dirinya bisa lolos seleksi. Padahal, menurut dia, banyak pesaingnya yang secara fisik lebih mirip.
Sementara dirinya, beda usia dengan Gus Dur saja mencapai 14 tahun. Gus Pur lebih muda. Selain itu, wajah dan posturnya tidak terlalu mirip. "Saat itu ada delapan orang. Saya termasuk yang paling nggak mirip. Tapi, saya menang gaya, modulasi suara, sama wawasan," ungkap pria kelahiran Nganjuk, 12 Agustus 1954, tersebut.
Selain itu, saat mendapatkan berbagai pertanyaan, yang sebelumnya ditanyakan banyak pihak kepada Gus Dur asli, jawaban Gus Pur adalah yang paling mirip. "Gus Dur itu kalau menjawab nggak pernah lama mikir. Ceplas-ceplos. Nggak pernah bilang biarkan, tapi biarin," terangnya.
Gus Pur juga berusaha mengamati tempo bicara Gus Dur yang terkadang berubah-ubah, tergantung apa yang dibicarakan. Contohnya, saat ditanya seandainya terpilih sebagai presiden lagi, apa yang akan dilakukan? "Saya jawab, ya yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Rakyat itu kan nggak neko-neko. Asal sandang, pangan, kesehatan, pendidikan terpenuhi," tirunya.
Ada pertanyaan lanjutan, kenapa kok itu tidak dilakukan saat menjadi presiden? "Nggak sempat, baru sebentar sudah diturunin," jawabnya. Kenapa kok diturunin? "Nggak tahu, tanya Amien Rais sana," lanjut pria yang juga fasih menirukan gaya bicara mantan Presiden Soeharto dan Soekarno tersebut.
Yang menjadi persamaan ternyata bukan sekadar cara bicara, tapi juga isinya. Itu sudah terjadi dua kali saat wawancara di TVOne dan Kick Andy di Metro TV. "Saat itu Gus Dur belum ada di tempat acara, masih ada di satu ruang yang tidak mendengar apa yang kami bicarakan. Saya ditanya sesuatu, terus saya minta pertanyaan yang sama ditanyakan juga ke Gus Dur. Ternyata jawabannya sama. Pemikiran kami memang sama," kenangnya bangga.
Saat Gus Dur dinyatakan meninggal, Gus Pur sedang berada dalam perjalanan pulang ke rumah. Banyaknya pihak yang memberi tahu membuat dia langsung putar arah menuju Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, tempat Gus Dur mengembuskan napas terakhir.
Dalam masa berkabung, Gus Pur juga turun panggung. Dia berencana tidak muncul selama 40 hari sebagai bentuk duka dan penghormatan. "Saya akan menjadi diri saya sendiri dulu. Setelah itu, akan kita lihat. Kalau memang banyak yang kangen dan harus tampil, saya siap. Tapi, kayaknya saya juga pengin jadi komentator saja," tegasnya.