nurcahyo
New member
Kapasitas Mesin Biofuel Diperkecil
Muhammad Fauzi (Media Indonesia Online)
Departemen Perindustrian akan menurunkan kapasitas delapan pabrik biofuel berkapasitas 3000 ton-6000 ton/tahun menjadi 40-50 mesin berkapasitas kecil. Hal ini dilakukan untuk menggerakkan sektor riil.
Demikian dikemukakan Menteri Perindustrian Fahmi Idris, usai rapat dengan Menteri Perdagangan Mari E Pangestu, di Departemen Perindustrian, Jakarta, Selasa (1/8).
Fahmi menjelaskan, instansinya mendapat tugas membuat mesin penghasil minyak jarak/biofuel. Awalnya akan dibangun delapan pabrik untuk delapan daerah. Dimana empat pabrik berkapasitas besar sebesar 6000 ton per tahun, dan empat pabrik dengan kapasitas 300 ton per tahun.
"Untuk menjangkau lebih banyak daerah, agar yang sudah menghasilkan biji jarak tercover maka didownsize kapasitasnya dari delapan mesin dibuat menjadi 40-50 mesin kecil," kata Fahmi.
Penurunan kapasitas mesin ini, menurut Fahmi, agar pabrik/pembuatan biofuel dapat tersebar di seluruh Indonesia. Orientasi penyebarannya adalah bagi pembangunan desa mandiri energi. Misalnya, desa nelayan, agar mereka bisa menggerakkan perahu dengan bio diesel, traktor tangan, penerangan. Konsep desa mandiri energi adalah desa dengan potensi lahan mesin dapat menghasilkan biodiesel atau biofuel untuk menghasilkan sumber energi.
"Untuk tahap pertama mesin diberikan gratis, kalo dulu mesin besar dikelola oleh BUMD yang kecil oleh koperasi, tapi karena didownsize maka pengelolaannya oleh koperasi yang direkomendasi oleh pemda, atau bisa juga tokoh masyarakat,seperti kelompok masyarakat nelayan petani yang sudah terbentuk," imbuh Fahmi.
Daerah yang bakal mendapatkanya, ungkap Fahmi, instansinya yang menentukan kriteri/persyaratannya. Misalnya, dimana mesin itu diletakkan harus cukup lahan untuk menanam jarak pagar. Daerah tersebut harus mampu mendukung pengadaan pabriknya, karena mesin tidak boleh ditempatkan ditempat terbuka.
"Dalam satu tahun diberikan dukungan working capital, setelah itu sepenuhnya dikelola oleh daerah. Jadi secara ekonomi, daerah itu bisa membiayai dirinya," tegas Fahmi.
Sebagaimana diketahui, penggunaan biofuel dan bioetanol sebagai bahan bakar nabati merupakan keputusan sidang kabinet di Losari. Dimana segala potensi kebijakan pemerintah untuk mensubtitusi BBM ke bahan bakar nabati harus diintensifkna
Ditempat terpisah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Ahmad Suryana mengatakan, pemerintah harus serius melaksanakan program bioenergi/biofuel ini. Sejak melonjaknya harga BBM dan keluarnya Peraturan Presiden No.5/2006 tentang kebijakan energi nasional yang menetapkan penggunaan bahan bakar nabati sehingga masyarakat terpacu menanam jarak.
"Tetapi kami kawatir antusias masyarakat menanam jarak akan mengecewakannya. Karena tidak diimbangi dan didukung oleh investasi teknologi pengolahan biji jarak. Semoga kali ini tidak," kilah Ahmad.
Antusiasme masyarakat, jelas Ahmad, harus diimbangi dengan upaya/dukungan pemerintah. Karena tanaman jarak merupakan tanaman tahunan yang merupakan investasi jangka panjang.
Deptan sendiri dalam Inpres No.1/2006 ditugaskan menyediakan tanaman, penyediaan benih, penyuluhan dan mengintegrasikan kegiatan pascapanen bahan tanaman untuk mendukung penyediaan bahan bakar nabati.
"Kami pada Oktober tahun lalu telah meluncurkan tiga varitas baru jarak pagar. Varitas ini dapat menghasilkan biji jarak 10-15 ton/hektar/tahun. Ini cukup untuk pabrik bioenergi skala kecil," kata Ahmad.
Muhammad Fauzi (Media Indonesia Online)
Departemen Perindustrian akan menurunkan kapasitas delapan pabrik biofuel berkapasitas 3000 ton-6000 ton/tahun menjadi 40-50 mesin berkapasitas kecil. Hal ini dilakukan untuk menggerakkan sektor riil.
Demikian dikemukakan Menteri Perindustrian Fahmi Idris, usai rapat dengan Menteri Perdagangan Mari E Pangestu, di Departemen Perindustrian, Jakarta, Selasa (1/8).
Fahmi menjelaskan, instansinya mendapat tugas membuat mesin penghasil minyak jarak/biofuel. Awalnya akan dibangun delapan pabrik untuk delapan daerah. Dimana empat pabrik berkapasitas besar sebesar 6000 ton per tahun, dan empat pabrik dengan kapasitas 300 ton per tahun.
"Untuk menjangkau lebih banyak daerah, agar yang sudah menghasilkan biji jarak tercover maka didownsize kapasitasnya dari delapan mesin dibuat menjadi 40-50 mesin kecil," kata Fahmi.
Penurunan kapasitas mesin ini, menurut Fahmi, agar pabrik/pembuatan biofuel dapat tersebar di seluruh Indonesia. Orientasi penyebarannya adalah bagi pembangunan desa mandiri energi. Misalnya, desa nelayan, agar mereka bisa menggerakkan perahu dengan bio diesel, traktor tangan, penerangan. Konsep desa mandiri energi adalah desa dengan potensi lahan mesin dapat menghasilkan biodiesel atau biofuel untuk menghasilkan sumber energi.
"Untuk tahap pertama mesin diberikan gratis, kalo dulu mesin besar dikelola oleh BUMD yang kecil oleh koperasi, tapi karena didownsize maka pengelolaannya oleh koperasi yang direkomendasi oleh pemda, atau bisa juga tokoh masyarakat,seperti kelompok masyarakat nelayan petani yang sudah terbentuk," imbuh Fahmi.
Daerah yang bakal mendapatkanya, ungkap Fahmi, instansinya yang menentukan kriteri/persyaratannya. Misalnya, dimana mesin itu diletakkan harus cukup lahan untuk menanam jarak pagar. Daerah tersebut harus mampu mendukung pengadaan pabriknya, karena mesin tidak boleh ditempatkan ditempat terbuka.
"Dalam satu tahun diberikan dukungan working capital, setelah itu sepenuhnya dikelola oleh daerah. Jadi secara ekonomi, daerah itu bisa membiayai dirinya," tegas Fahmi.
Sebagaimana diketahui, penggunaan biofuel dan bioetanol sebagai bahan bakar nabati merupakan keputusan sidang kabinet di Losari. Dimana segala potensi kebijakan pemerintah untuk mensubtitusi BBM ke bahan bakar nabati harus diintensifkna
Ditempat terpisah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Ahmad Suryana mengatakan, pemerintah harus serius melaksanakan program bioenergi/biofuel ini. Sejak melonjaknya harga BBM dan keluarnya Peraturan Presiden No.5/2006 tentang kebijakan energi nasional yang menetapkan penggunaan bahan bakar nabati sehingga masyarakat terpacu menanam jarak.
"Tetapi kami kawatir antusias masyarakat menanam jarak akan mengecewakannya. Karena tidak diimbangi dan didukung oleh investasi teknologi pengolahan biji jarak. Semoga kali ini tidak," kilah Ahmad.
Antusiasme masyarakat, jelas Ahmad, harus diimbangi dengan upaya/dukungan pemerintah. Karena tanaman jarak merupakan tanaman tahunan yang merupakan investasi jangka panjang.
Deptan sendiri dalam Inpres No.1/2006 ditugaskan menyediakan tanaman, penyediaan benih, penyuluhan dan mengintegrasikan kegiatan pascapanen bahan tanaman untuk mendukung penyediaan bahan bakar nabati.
"Kami pada Oktober tahun lalu telah meluncurkan tiga varitas baru jarak pagar. Varitas ini dapat menghasilkan biji jarak 10-15 ton/hektar/tahun. Ini cukup untuk pabrik bioenergi skala kecil," kata Ahmad.