Indonesia terhadap Ambalat dan teritorial lainnya

Administrator

Administrator
ditulis oleh : Dosen Universitas Indonesia dan Director of Defense Economic IOOPS



“Tugas manusia adalah menjadi manusia. Maka jadilah manusia yang seagung-agungnya dan sehormat-hormatnya....”

Menarik mencermati kalimat Kartini di atas yang dikaitkan dengan negara. Maka, tugas kita sebagai “manusia warga negara” adalah menjadi “manusia warga negara” yang mampu membuat negara kita menjadi besar dan dihormati, Membuat Indonesia menjadi negara yang kuat! Dengan demikian, negara adalah tolak ukur harga diri kita sebagai manusia (baca: warga negara).

Kekuatan negara sendiri dapat diartikan sebagai suatu kemampuan dan ketangguhan dalam membina, mengembangkan, dan mempertahankan kehidupan politik dari sebuah negara. Memahami kekuatan negara pada dasarnya dapat dilihat dari tiga tolak ukur yaitu lokasi, densitas,dan normativitas. Lokasi merupakan tataran dan lingkup pertahanan negara yang akan dibangun, apakah pada tataran regional, subregional, ataukah antarregional. Di sisi lain, lingkup pertahanan negara yang akan dibangun, apakah berada pada lingkup makro, meso, ataukah hanya pada lingkup mikro. Kedua, masalah densitas dapat diukur dari seberapa besar batasan atas tataran dan lingkup yang telah ditetapkan sebelumnya. Terakhir, masalah normativitas terkait masalah kepentingan.

Ketidakmampuan dalam memahami kekuatan negara dipandang dari sisi lokasi, densitas, dan normativitas ini menimbulkan banyak persoalan di daerah perbatasan. Terkait dengan perbatasan maritim, perlu memahami satu fakta penting bahwa di Kawasan Asia Tenggara, perbatasan laut masih menyisakan banyak masalah (Snyder,2005). Faktanya,dari sekitar 60 titik perbatasan laut di wilayah Kawasan Asia Tenggara, sekitar 80% lebih belum ter selesaikan. Padahal, dan seluruh negara di kawasan ini,Indonesiamerupakan negara paling luas, di mana sepertiga wilayahnya adalah perairan.

Artinya terkait persoalan sumber daya alam dan perdagangan, berbagai masalah perbatasan laut yang belum terselesaikan akan mendorong masing-masing negara saling berpacu untuk mengklaim wilayah perairan. Akibatnya, tidaklah mengherankan jika muncul fakta klaim Malaysia atas Ambalat, dan juga armada ikan China yang beberapa waktu lalu dengan berkelengkapan tempur sudah berada di perairan Natuna.

Ancaman nyata (bukan potensi lagi) di atas, belum lagi ditambah dengan berbagai potensi ancaman yang ada di dalam ruang udara dan titik ZEE ke dalam salah satunya open sky point. Liberalisasi ekonomi telah memaksa ruang kedaulatan udara kita dibuka secara bebas. Faktanya,hari ini kita membuka 28 titik penerbangan internasional. Padahal, jika dibandingkan dengan negara lain, Amerika Serikat hanya membuka lima pelabuhan udara, Malaysia tiga pelabuhan udara, Thailand dan Singapura hanya dua pelabuhan udara. Padahal, Indonesia memiiki luas wilayah udara yang harus dijaga hampir sama dengan Amerika Serikat. Namun, di sisi lain kemampuan pengamanan perbatasan dan pelabuhan-pelabuhan udara kita masih jauh tertinggal dari Amerika Serikat.

Ancaman di perbatasan bukan lagi persepsi, melainkan sebuah fakta yang harus disikapi. Menariknya, beberapa konsep strategi pertahanan negara yang diangkat oleh elite politik sipil menjadi membingungkan salah satunya pernyataan Presiden bahwa konsep pertahanan kita “zero enemy.” Di sisi lain, Panglima TNI AU menetapkan bahwa TNI AU sistem inward looking defense (ILD) yang melihat ancaman hanya ditentukan dari titik ZEE sebagai prioritas? Jika menganut sistem ILD,yang dianggap sebagai ancaman faktual antara lain mantan CAM masuk menjadi anggota eksekutif atau legislatif, bencana alam, konflik komunal, teror, kerusuhan massa, OPM, dan penguasaan lapangan terbang, termasuk di dalamnya kasus pelanggaran wilayah udara dan maritim serta garis batas di Kalimantan Barat dan Pantai Timur Sabah?

Menghadapi tantangan dan ancaman global di abad XXI ini, sebenarnya satu-satunya pilihan adalah gabungan antara inward dan out ward looking defense system

Menariknya, pemahaman pertahanan dan keamanan serta ruang lingkup keduanya sampai saat ini masih menyisakan masalah, bahkan pada tatanan yuridis. Konsep pembangunan pertahanan kita sampai saat ini masih tarik-menarik dengan tolak ukur beragam antara threat based capabilities, budget based capabilities, atau defense based capabilities. Jika kita sepakat mengedepankan harga diri sebagai manusia dan bangsa yang terhormat, kekuatan pembangunan pertahanan negara seharusnya didasarkan pada defense based capabilities atau setidaknya threat based capabilities dengan mengidentifikasi secara objektif berbagai potensi konflik akibat dan benturan kepentingan atas sumber daya alam, perdagangan, dan bahkan agama.



Sumber : Sindo
 
Back
Top