nurcahyo
New member
Industri Gula Jadi "Sapi Perah"
Jika saja bisa mengetahui isi telepon seluler direksi produsen gula, kita bisa mengetahui sisi lain industri gula. Di sana ada telepon atau pesan singkat berisi ancaman, imbauan, dan permohonan dari para orang penting, politisi, atau orang yang mengaku dekat dengan pejabat tertentu untuk mendapatkan gula.
Revolusi telekomunikasi antara lain menimbulkan cara-cara meraup untung yang revolusioner pula. Mereka makin sedikit membuat surat untuk berurusan dengan direksi gula. Cukup dengan pesan singkat (SMS). Perdagangan gula telah menjadi target bagi mereka yang ingin meraup uang secara cepat.
Sekarang harga gula telah diatas Rp 6.000 per kg. Harga ini sekitar dua kali lipat dari harga tahun lalu dan akan naik lagi jika melihat prediksi terbaru yang dikeluarkan Organisasi Gula Internasional (ISO) yang menyebutkan produksi gula dunia akan turun sekitar 2,2 juta ton. Padahal, prediksi awal penurunan produksi hanya 1,0 juta ton.
Begitu harga gula naik, banyak pihak pun ingin ikut menikmati kenaikan itu, tanpa kerja keras. Siapa yang peduli ketika pada tahun 2002 harga gula anjlok hingga di bawah harga pokok produksi? Industri gula nyaris dibiarkan mati pelan-pelan. Para pemain gula yang sudah lama berkecimpung di perdagangan gula sering dituduh sebagai biang keladi kenaikan harga. Jika saja mereka pelakunya, sebenarnya sangat mudah melacak pola permainannya.
Sebenarnya ada pemain yang ?tidak berwajah? yang lebih banyak menjadikan harga gula menjadi mahal. Tanpa keberanian direksi produsen gula, sulit untuk mengungkap mereka ini. Padahal, mereka bisa meraup untung hingga Rp 200 per kg.
Mereka inilah yang kerap menelepon direksi produsen gula untuk mendapatkan jatah distribusi. Mereka pula yang bertemu di hotel dan mengimbau produsen gula agar memberikan sebagian gulanya.
Hal menarik dari masalah ini adalah mereka yang ingin kebagian rezeki dari gula tidak hanya adik pejabat tingkat ataupun kenalan politisi di tingkat pusat. Ada juga yang berasal dari daerah. Mereka mulai menggunakan pola-pola pemerasan dan ancaman untuk mendapatkan bagian mendistribusikan gula.
Persoalannya adalah mereka tidak mendistribusikan gula secara langsung. Mereka hanya ?menjual kertas? kepada orang lain. Mereka hanya memungut rente dari kemampuan mereka mendapatkan alokasi gula.
Masalah lebih besar yang perlu dicermati adalah intensitas pemburu rente ini kian meningkat. Mereka menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan alokasi distribusi gula. Para pelakunya juga semakin beragam, dari yang mengaku keluarga pahlawan hingga adik pejabat tertentu. Bahkan, sebuah perusahaan konstruksi dengan modal cekak pun ingin berdagang gula.
Kegiatan berburu rente dipastikan akan meningkat menjelang Pemilu 2009. Industri gula memang paling enak untuk dijadikan medan perburuan dana kampanye. Namun, harus disadari, pada saat itu industri gula tengah bersusah payah mencapai target swasembada.
Situasinya kian sulit. Di satu sisi industri gula berjuang bisa swasembada sehingga tidak perlu mengimpor, di sisi lain mereka direcoki para pemburu rente. Sebuah ironi di negeri ini.
Beberapa produsen gula mengaku hanya bisa menghambat perilaku para pemburu rente. Mereka memperbolehkan masuk pemburu rente dalam perdagangan gula, tetapi dengan syarat yang sudah ditentukan. Selebihnya, para produsen gula sulit untuk mencegah masuknya para pemburu rente yang ingin ikut mulai dari dana talangan, impor, hingga distribusi gula. Kalangan produsen gula tetap ?tiarap? saat orang penting ingin ikut dalam perdagangan gula.
Di sisi lain peraturan yang ada juga mempermudah masuknya para pemburu rente. Salah satunya adalah kewajiban importir gula bekerja sama dengan pemerintah daerah ketika mendistribusikan gula impor. Kewajiban ini dilaksanakan para importir cukup dengan menyurati dinas perdagangan provinsi agar memilih distributor yang layak.
Dinas perdagangan di daerah cukup membalasnya dengan menyebutkan nama-nama distributor yang dianggap layak. Perkara dinas perdagangan di daerah melakukan tender atau tidak untuk mendapatkan distributor, importir tidak perlu tahu. Laporan dari beberapa provinsi menyebutkan, penunjukan distributor itu juga ditumpangi para pemburu rente.
Kondisi yang terjadi ini akan memunculkan beberapa masalah. Industri gula akan kian sulit mencapai swasembada jika mereka selalu berhadapan dengan para pemburu rente ini.
Masalah lainnya, semakin banyak pemburu rente bermain, semakin banyak pula biaya yang harus dibayar konsumen ketika membeli gula. Industri gula dan pedagang tidak mau rugi ketika pemburu rente bermain dan menekan mereka. Semakin banyak pemburu rente, semakin mahal harga yang diterima konsumen.
Industri gula telah menjadi sapi perah bagi mereka yang ingin mendapatkan sumber dana secara cepat tanpa kerja keras. Jika ini terus terjadi, upaya swasembada gula kian jauh dari kenyataan.
Jika saja bisa mengetahui isi telepon seluler direksi produsen gula, kita bisa mengetahui sisi lain industri gula. Di sana ada telepon atau pesan singkat berisi ancaman, imbauan, dan permohonan dari para orang penting, politisi, atau orang yang mengaku dekat dengan pejabat tertentu untuk mendapatkan gula.
Revolusi telekomunikasi antara lain menimbulkan cara-cara meraup untung yang revolusioner pula. Mereka makin sedikit membuat surat untuk berurusan dengan direksi gula. Cukup dengan pesan singkat (SMS). Perdagangan gula telah menjadi target bagi mereka yang ingin meraup uang secara cepat.
Sekarang harga gula telah diatas Rp 6.000 per kg. Harga ini sekitar dua kali lipat dari harga tahun lalu dan akan naik lagi jika melihat prediksi terbaru yang dikeluarkan Organisasi Gula Internasional (ISO) yang menyebutkan produksi gula dunia akan turun sekitar 2,2 juta ton. Padahal, prediksi awal penurunan produksi hanya 1,0 juta ton.
Begitu harga gula naik, banyak pihak pun ingin ikut menikmati kenaikan itu, tanpa kerja keras. Siapa yang peduli ketika pada tahun 2002 harga gula anjlok hingga di bawah harga pokok produksi? Industri gula nyaris dibiarkan mati pelan-pelan. Para pemain gula yang sudah lama berkecimpung di perdagangan gula sering dituduh sebagai biang keladi kenaikan harga. Jika saja mereka pelakunya, sebenarnya sangat mudah melacak pola permainannya.
Sebenarnya ada pemain yang ?tidak berwajah? yang lebih banyak menjadikan harga gula menjadi mahal. Tanpa keberanian direksi produsen gula, sulit untuk mengungkap mereka ini. Padahal, mereka bisa meraup untung hingga Rp 200 per kg.
Mereka inilah yang kerap menelepon direksi produsen gula untuk mendapatkan jatah distribusi. Mereka pula yang bertemu di hotel dan mengimbau produsen gula agar memberikan sebagian gulanya.
Hal menarik dari masalah ini adalah mereka yang ingin kebagian rezeki dari gula tidak hanya adik pejabat tingkat ataupun kenalan politisi di tingkat pusat. Ada juga yang berasal dari daerah. Mereka mulai menggunakan pola-pola pemerasan dan ancaman untuk mendapatkan bagian mendistribusikan gula.
Persoalannya adalah mereka tidak mendistribusikan gula secara langsung. Mereka hanya ?menjual kertas? kepada orang lain. Mereka hanya memungut rente dari kemampuan mereka mendapatkan alokasi gula.
Masalah lebih besar yang perlu dicermati adalah intensitas pemburu rente ini kian meningkat. Mereka menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan alokasi distribusi gula. Para pelakunya juga semakin beragam, dari yang mengaku keluarga pahlawan hingga adik pejabat tertentu. Bahkan, sebuah perusahaan konstruksi dengan modal cekak pun ingin berdagang gula.
Kegiatan berburu rente dipastikan akan meningkat menjelang Pemilu 2009. Industri gula memang paling enak untuk dijadikan medan perburuan dana kampanye. Namun, harus disadari, pada saat itu industri gula tengah bersusah payah mencapai target swasembada.
Situasinya kian sulit. Di satu sisi industri gula berjuang bisa swasembada sehingga tidak perlu mengimpor, di sisi lain mereka direcoki para pemburu rente. Sebuah ironi di negeri ini.
Beberapa produsen gula mengaku hanya bisa menghambat perilaku para pemburu rente. Mereka memperbolehkan masuk pemburu rente dalam perdagangan gula, tetapi dengan syarat yang sudah ditentukan. Selebihnya, para produsen gula sulit untuk mencegah masuknya para pemburu rente yang ingin ikut mulai dari dana talangan, impor, hingga distribusi gula. Kalangan produsen gula tetap ?tiarap? saat orang penting ingin ikut dalam perdagangan gula.
Di sisi lain peraturan yang ada juga mempermudah masuknya para pemburu rente. Salah satunya adalah kewajiban importir gula bekerja sama dengan pemerintah daerah ketika mendistribusikan gula impor. Kewajiban ini dilaksanakan para importir cukup dengan menyurati dinas perdagangan provinsi agar memilih distributor yang layak.
Dinas perdagangan di daerah cukup membalasnya dengan menyebutkan nama-nama distributor yang dianggap layak. Perkara dinas perdagangan di daerah melakukan tender atau tidak untuk mendapatkan distributor, importir tidak perlu tahu. Laporan dari beberapa provinsi menyebutkan, penunjukan distributor itu juga ditumpangi para pemburu rente.
Kondisi yang terjadi ini akan memunculkan beberapa masalah. Industri gula akan kian sulit mencapai swasembada jika mereka selalu berhadapan dengan para pemburu rente ini.
Masalah lainnya, semakin banyak pemburu rente bermain, semakin banyak pula biaya yang harus dibayar konsumen ketika membeli gula. Industri gula dan pedagang tidak mau rugi ketika pemburu rente bermain dan menekan mereka. Semakin banyak pemburu rente, semakin mahal harga yang diterima konsumen.
Industri gula telah menjadi sapi perah bagi mereka yang ingin mendapatkan sumber dana secara cepat tanpa kerja keras. Jika ini terus terjadi, upaya swasembada gula kian jauh dari kenyataan.