imnanay
New member
Industri Makanan Tambahan Stagnan
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia banyak memilih sumber bahan makanan tambahan, baik untuk pengawet, pemanis, maupun pewarna. Namun, bahan baku untuk bahan-bahan makanan tambahan itu produksinya belum mampu memenuhi kebutuhan industri. Jika ada, daerah produksi bahan-bahan itu tersebar sehingga biaya transportasi tinggi dan nilai ekonominya rendah.
Demikian dikatakan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia Adhi S Lukman di Jakarta, Senin (27/9). Banyak funsi bahan makanan tambahan yang belum digarap, seperti pengurang lemak, penguat rasa, penambah vitamin, pengemulsi untuk menstabilkan bahan yang tidak bisa bersatu, stabilisator, dan pengembang.
Ketua Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia dan Direktur Pusat Pengembangan Ilmu Teknologi Pertanian dan Pangan Asia Tenggara Institut Pertanian Bogor Purwiyatno Hàriyadi mengatakan, teknologi pembuatan bahan makanan tambahan bukan teknologi canggih dan sangat mudah dipelajari. Oleh karena itu, bahan makanan tambahan dapat didorong dari tanaman asli Indonesia.
“Ini bukan masalah teknologi, tetapi komitmen semua pihak, baik industri, pemerintah, maupun peneliti, guna menjadikan tanaman Indonesia sebagai sumber bahan makanan tambahan utama di negeri sendiri,” katanya. Para peneliti perlu konsisten dalam pengembangan produk-produk tertentu agar diperoleh bahan makanan tambahan yang terus berkembang mutu dan jenisnya. Yang terjadi, peneliti sering berubah-ubah obyek penelitiannya. Akibatnya, hasil penelitian tak pernah maksimal.
Adhi mengatakan, konsistensi ditunjukkan sejumlah peneliti di luar negeri, misalnya ahli perisa jeruk saja atau perusahaan kecil yang mengekstraksi akar-akanan untuk diambil aromanya. Hal itu membuat banyak ahli dan industri luar negeri sungguh mahir di bidang tertentu.
Sumber : KOMPAS, MZW
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia banyak memilih sumber bahan makanan tambahan, baik untuk pengawet, pemanis, maupun pewarna. Namun, bahan baku untuk bahan-bahan makanan tambahan itu produksinya belum mampu memenuhi kebutuhan industri. Jika ada, daerah produksi bahan-bahan itu tersebar sehingga biaya transportasi tinggi dan nilai ekonominya rendah.
Demikian dikatakan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia Adhi S Lukman di Jakarta, Senin (27/9). Banyak funsi bahan makanan tambahan yang belum digarap, seperti pengurang lemak, penguat rasa, penambah vitamin, pengemulsi untuk menstabilkan bahan yang tidak bisa bersatu, stabilisator, dan pengembang.
Ketua Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia dan Direktur Pusat Pengembangan Ilmu Teknologi Pertanian dan Pangan Asia Tenggara Institut Pertanian Bogor Purwiyatno Hàriyadi mengatakan, teknologi pembuatan bahan makanan tambahan bukan teknologi canggih dan sangat mudah dipelajari. Oleh karena itu, bahan makanan tambahan dapat didorong dari tanaman asli Indonesia.
“Ini bukan masalah teknologi, tetapi komitmen semua pihak, baik industri, pemerintah, maupun peneliti, guna menjadikan tanaman Indonesia sebagai sumber bahan makanan tambahan utama di negeri sendiri,” katanya. Para peneliti perlu konsisten dalam pengembangan produk-produk tertentu agar diperoleh bahan makanan tambahan yang terus berkembang mutu dan jenisnya. Yang terjadi, peneliti sering berubah-ubah obyek penelitiannya. Akibatnya, hasil penelitian tak pernah maksimal.
Adhi mengatakan, konsistensi ditunjukkan sejumlah peneliti di luar negeri, misalnya ahli perisa jeruk saja atau perusahaan kecil yang mengekstraksi akar-akanan untuk diambil aromanya. Hal itu membuat banyak ahli dan industri luar negeri sungguh mahir di bidang tertentu.
Sumber : KOMPAS, MZW