Jarak Pagar Lebih Fleksibel dari Kelapa Sawit

nurcahyo

New member
Jarak Pagar Lebih Fleksibel dari Kelapa Sawit
Wah (Kompas Cyber Media)



Jarak pagar (Jathropa curcas) menjadi sangat populer ketika menyoal energi alternatif ramah lingkungan. Biji-bijinya mampu menghasilkan minyak campuran untuk solar. Selain dari jarak pagar, pada dasarnya minyak yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan dapat dijadikan bahan campuran solar, misalnya kelapa sawit atau kedelai.
Dari percobaan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), campuran solar dan minyak nabati (biodiesel) memiliki nilai cetane (oktan pada bensin) lebih tinggi daripada solar murni. Solar yang dicampur dengan minyak nabati menghasilkan pembakaran yang lebih sempurna daripada solar murni sehingga emisi lebih aman bagi lingkungan.
"Jika solar murni nilai angka cetane-nya sekitar 47, biodiesel antara 60 hingga 62," kata Sony Solistia Wirawan, Kepala Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi BPPT di Pusat Penelitian Ilmu Penegtahuan dan Teknologi Serpong, Selasa (14/2). Dalam satu liter bahan bakar, komposisi minyak nabati yang dapat digunakan baru 30 persen agar tidak mengganggu mesin yang dipakai kendaraan sekarang. Menurutnya, di beberapa negara maju biodiesel bahkan telah digunakan 100 persen dengan modifikasi mesin. Bahan-bahan dari karet diganti dengan sintesis viton yang tahan minyak.
Meskipun percobaan baru dilakukan untuk minyak nabati dari bahan kepala sawit, menurut Soni, hal tersebut dapat dilakukan juga untuk minyak jarak. Minyak mentah hasil perasan biji kering akan diolah dengan proses trans-esterifikasi menggunakan metanol untuk memisahkan air. Reaksi tersebut tergolong sederhana dan hanya diperlukan sekitar 10 persen metanol. Hampir 100 persen minyak dapat dimurnikan, bahkan menghasilkan produk samping gliserol yang juga bernilai ekonomi.
"Satu pabrik ukuran kecil yang ada di Serpong dapat menghasilkan 1,5 ton minyak perhari," kata Soni. Meskipun demikian, pihaknya sedang mengembangkan mesin pengolah berkekuatan berkapasitas lebih kecil maupun besar untuk kalangan industri. Biaya investasi untuk mesin saja diperkirakan sekitar 800 juta, sedangkan untuk mesin berkekuatan 3 ton perhari mungkin mencapai 2 hingga 3 miliar.
"Secara teknis prosesnya tidak jauh berbeda dengan pengolahan minyak goreng," katanya. Hanya saja, pasokan bahan baku minyak nabati jumlahnya masih terbatas. Kelapa sawit masih ekonomis diolah menjadi minyak goreng meskipun minyak mentahnya (CPO) yang berkualitas rendah berpotensi untuk diolah menjadi biodiesel.
Jika dibandingkan, jarak pagar mungkin lebih berpotensi daripada kelapa sawit. Jarak pagar yang dapat ditemukan di berbagai wilayah Indonesia baru digunakan sebagai pagar hidup. Tumbuhan bergetah ini dapat tumbuh di mana saja, hidup di berbagai kondisi tanah, dan tahan kekeringan, tidak seperti kelapa sawit, yang membutuhkan lahan khusus, ketinggian daerah, dan faktor iklim tertentu. Oleh karena itu, para peneliti BPPT berharap bahwa pengembangan jarak pagar tidak diarahkan untuk merelokasi lahan subur, namun memberdayakan lahan kritis.
"Produktivitasnya juga tidak jauh berbeda, dalam satu hektar lahan dapat dihasilkan sekitar 5 ton minyak pertahun," kata Nadirman Haska, Kepala Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT. Satu hektar lahan mampu menghasilkan 25 ton tandan kelapa sawit segar yang dapat diolah menjadi 5 ton CPO sejak tahun ketiga hingga usia produktif 20 tahun.
"Dengan luas lahan yang sama, saya perkirakan dapat ditanam 2.500 batang jarak pagar," kata Nadirman. Sejak usia 5 hingga 8 bulan, buahnya matang sehingga di tahun pertama pun hasilnya dapat dinikmati. Meski demikian, lanjut Nadirman, mungkin baru dihasilkan sekitar 0,5 ton minyak. Seiring tumbuhnya tanaman, produksinya diharapkan terus meningkat lebih dari 10 ton sejak tahun keenam. Usia produktif jarak pagar diperkirakan antara 20 hingga 50 tahun.
Ongkos perawatan untuk tanaman liar ini juga lebih murah. Nadirman memperkirakan hanya perlu 20 hingga 25 persen pendapatan dari hasil produksinya yang dipakai. Sedangkan untuk kelapa sawit, biaya operasionalnya 40 hingga 50 persen dari besar pendapatan produksinya.
Pada dasarnya pembibitan dapat dilakukan secara generatif atau vegetatif. Namun, pembibitan generatif menggunakan biji tidak disarankan karena menurunkan sifat genetik berbeda, sedangkan dengan stek atau kultur jaringan sifat-sifat unggul dapat dipertahankan pada keturunannya. Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT telah mengembangkan proses pembibitan sederhana yang dapat dilakukan siapa pun dengan sedikit latihan. Bahkan telah disiapkan cairan nutrisi tanaman untuk mencegah mortalitas (kegagalan) bibit dan merangsang pertumbuhannya dari proses penyiapan hingga siap tanam di ruang terbuka.
Selain itu, teknik kultur jaringan yang membutuhkan teknik lebih rumit di laboratorium terus dikembangkan, termasuk menyiapkan pohon induk yang memiliki sifat-sifat genetik baik yaitu menghasilkan biji besar, buah banyak, dan masa tanam cepat.
 
Back
Top