Jawaban Terhadap Somasi JK
Oleh Rizal Mallarangeng
Kemarin, Tim Kampanye Nasional JK-WIN mengirimkan somasi resmi kepada saya, menuntut saya untuk mencabut pernyataan saya sebelumnya serta meminta maaf.
Jawaban saya adalah sebagai berikut. Seperti yang terlihat jelas di berita televisi (TVone, Kabar Siang, 24 Juni 2009), pada saat JK melakukan kampanye tertutup dalam sebuah ruangan di Medan, seseorang yang mengenakan batik cokelat lengan panjang menjinjing tas plastik yang berisi selebaran, dan membagikan selebaran tersebut secara bebas kepada para hadirin hingga ke kursi di deretan depan. Isi selebaran tersebut adalah fitnah, sebentuk kampanye hitam yang bertendensi jahat, dalam bentuk pertanyaan yang retoris, bahwa Ibu Herawati Boediono, istri Cawapres Boediono, adalah seorang Katolik.
Faktanya, Ibu Herawati Boediono adalah seorang muslimah yang taat. Fakta ini telah berkali-kali dijelaskan oleh Tim Kampanye SBY-Boediono dalam berbagai kesempatan.
Itu tidak berarti bahwa menjadi seorang Katolik adalah perbuatan yang salah, apalagi nista. Saya menghormati setinggi-tingginya saudara-saudara penganut agama Katolik, dan agama-agama lainnya. Umat Katolik adalah juga warga Indonesia yang terhormat, yang mempunyai hak yang sama dengan warga negara Indonesai lainnya. Saya mencintai dan menghargai mereka sebagaimana saya menyayangi keluarga sendiri.
Tetapi, saya berpandangan bahwa penyebaran berita palsu itu adalah usaha menggunakan isu SARA secara sengaja, sebuah manipulasi untuk memperoleh efek politik secara gampangan. Selain itu, ia juga mengesankan bahwa seorang Katolik di Indonesia tidak mempunyai hak yang sama dengan warga negara yang beragama lain.
Jika cara-cara seperti itu diteruskan dalam melakukan kampanye, ia akan memperuncing hubungan antar-umat beragama, mengganggu keharmonisan sosial dan etika toleransi yang kita junjung tinggi. Hal semacam itu tidak boleh kita biarkan terus berlanjut.
Dan karena itu pula, saya tidak akan pernah mencabut pernyataan saya, apalagi meminta maaf, sebagaimana yang dituntut dalam somasi terhadap saya.
Justru sebaliknya, saya menunggu penjelasan bagi pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Mengapa fitnah dan kampanye gelap tersebut terjadi dalam ruangan kampanye JK? Bukankah setiap orang, apalagi membawa tas berisi banyak selebaran, harus melewati pemeriksaan petugas sebelum memasuki ruangan di mana seorang Wapres berada? Kenapa orang tersebut bisa begitu bebas membagikan selebaran fitnah di ruangan itu, praktis tanpa teguran dan larangan?
2. Jika ternyata panitia penyelenggara atau beberapa orang dari Tim JK memang terlibat secara sengaja dalam penyebaran fitnah dan kampanye gelap tersebut, apakah JK telah menegur mereka, akan menegur mereka, atau malah membiarkan mereka begitu saja, seolah-olah penyebaran fitnah dan penggunaan isu SARA dalam kampanye adalah wajar-wajar saja?
3. Apa langkah yang JK akan lakukan agar tim beliau tidak lagi terlibat dalam praktek kotor seperti itu?
Persoalan ini adalah persoalan prinsip yang melebihi persaingan politik. Pemilu boleh datang dan pergi, pemimpin boleh naik dan turun -- tapi prinsip-prinsip itu bersifat abadi. Kita tidak boleh berbohong dalam mengedarkan informasi. Kita tidak boleh bersikap diskriminatif terhadap penganut agama lain. Dan kita tidak boleh melepaskan tanggungjawab dalam perkara sepenting ini.
Ende, 26 Juni 2009
bisa dibaca di http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg82695.html
Oleh Rizal Mallarangeng
Kemarin, Tim Kampanye Nasional JK-WIN mengirimkan somasi resmi kepada saya, menuntut saya untuk mencabut pernyataan saya sebelumnya serta meminta maaf.
Jawaban saya adalah sebagai berikut. Seperti yang terlihat jelas di berita televisi (TVone, Kabar Siang, 24 Juni 2009), pada saat JK melakukan kampanye tertutup dalam sebuah ruangan di Medan, seseorang yang mengenakan batik cokelat lengan panjang menjinjing tas plastik yang berisi selebaran, dan membagikan selebaran tersebut secara bebas kepada para hadirin hingga ke kursi di deretan depan. Isi selebaran tersebut adalah fitnah, sebentuk kampanye hitam yang bertendensi jahat, dalam bentuk pertanyaan yang retoris, bahwa Ibu Herawati Boediono, istri Cawapres Boediono, adalah seorang Katolik.
Faktanya, Ibu Herawati Boediono adalah seorang muslimah yang taat. Fakta ini telah berkali-kali dijelaskan oleh Tim Kampanye SBY-Boediono dalam berbagai kesempatan.
Itu tidak berarti bahwa menjadi seorang Katolik adalah perbuatan yang salah, apalagi nista. Saya menghormati setinggi-tingginya saudara-saudara penganut agama Katolik, dan agama-agama lainnya. Umat Katolik adalah juga warga Indonesia yang terhormat, yang mempunyai hak yang sama dengan warga negara Indonesai lainnya. Saya mencintai dan menghargai mereka sebagaimana saya menyayangi keluarga sendiri.
Tetapi, saya berpandangan bahwa penyebaran berita palsu itu adalah usaha menggunakan isu SARA secara sengaja, sebuah manipulasi untuk memperoleh efek politik secara gampangan. Selain itu, ia juga mengesankan bahwa seorang Katolik di Indonesia tidak mempunyai hak yang sama dengan warga negara yang beragama lain.
Jika cara-cara seperti itu diteruskan dalam melakukan kampanye, ia akan memperuncing hubungan antar-umat beragama, mengganggu keharmonisan sosial dan etika toleransi yang kita junjung tinggi. Hal semacam itu tidak boleh kita biarkan terus berlanjut.
Dan karena itu pula, saya tidak akan pernah mencabut pernyataan saya, apalagi meminta maaf, sebagaimana yang dituntut dalam somasi terhadap saya.
Justru sebaliknya, saya menunggu penjelasan bagi pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Mengapa fitnah dan kampanye gelap tersebut terjadi dalam ruangan kampanye JK? Bukankah setiap orang, apalagi membawa tas berisi banyak selebaran, harus melewati pemeriksaan petugas sebelum memasuki ruangan di mana seorang Wapres berada? Kenapa orang tersebut bisa begitu bebas membagikan selebaran fitnah di ruangan itu, praktis tanpa teguran dan larangan?
2. Jika ternyata panitia penyelenggara atau beberapa orang dari Tim JK memang terlibat secara sengaja dalam penyebaran fitnah dan kampanye gelap tersebut, apakah JK telah menegur mereka, akan menegur mereka, atau malah membiarkan mereka begitu saja, seolah-olah penyebaran fitnah dan penggunaan isu SARA dalam kampanye adalah wajar-wajar saja?
3. Apa langkah yang JK akan lakukan agar tim beliau tidak lagi terlibat dalam praktek kotor seperti itu?
Persoalan ini adalah persoalan prinsip yang melebihi persaingan politik. Pemilu boleh datang dan pergi, pemimpin boleh naik dan turun -- tapi prinsip-prinsip itu bersifat abadi. Kita tidak boleh berbohong dalam mengedarkan informasi. Kita tidak boleh bersikap diskriminatif terhadap penganut agama lain. Dan kita tidak boleh melepaskan tanggungjawab dalam perkara sepenting ini.
Ende, 26 Juni 2009
bisa dibaca di http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg82695.html
Last edited: