Kalina
Moderator
Oleh D. Zawawi Imron
Rubrik Jati Diri (tajuk rencana) Jawa Pos 8 Februari 2007 menyoroti tentang korupsi yang mewabah di negeri ini. Soal korupsi memang menyedihkan bagi rakyat dan negara, tapi belum dirasa memalukan oleh para pelakunya. Yang juga menarik dalam tajuk rencana itu adalah sorotan terhadap pemakaian bahasa yang tak nyaman, bahkan tak aman, karena dapat menyinggung perasaan satu komunitas pemeluk agama tertentu.
Ungkapan "korupsi berjamaah", menurut Jawa Pos dirasakan kurang enak. Betul sekali koreksi itu. Istilah "berjamaah" sangat berkaitan dengan pelaksanaan salat, ritual rukun Islam yang kedua. Salat berjamaah derajatnya 27 kali lebih tinggi daripada salat sendirian.
"Berjamaah" memang bersama-sama, tapi tepatnya dipakai untuk salat. Penggunakan kata "korupsi berjamaah" sangat perlu dipertimbangkan dengan seksama. Sekiranya akan menimbulkan erosi makna, bahkan jika sampai mengurangi nilai kemuliaan agama, saya kira memang perlu dihindari. Apalagi masih terdapat istilah lain yang tidak menyinggung perasaan pemeluk salah satu agama. Cuma repotnya, kalau yang mengucapkan "korupsi berjamaah" itu adalah umat Islam sendiri.
Saya yakin, munculnya ungkapan itu bukan untuk melecehkan suatu agama. Pencetus pertama ungkapan itu diduga sangat antikorupsi, karena korupsi benar-benar telah mencoreng kehormatan bangsa dan negara di tengah kehidupan dunia. Untuk memberi tekanan bahasa yang berlebih dalam menilai korupsi yang merebak, serentak, dan serempak secara sistematik itu, maka digunakanlah istilah "berjamaah". Celakanya, yang dipilih adalah istilah yang lazim dipakai dalam kegiatan yang dimuliakan agama.
Selain itu, ada istilah "sunnat", yang dalam definisi fiqih (hukum Islam) artinya: kalau dikerjakan disenangi Tuhan dan dapat pahala, tapi kalau ditinggalkan tidak berdosa. Dalam pengertian yang lebih luas "sunnat" atau "sunnah" adalah semua ajaran yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Di Indonesia ada sebagian umat Islam yang mempersempit makna "sunnat". Khitan, yaitu memotong ujung zakar (penis) bagi laki-laki muslim merupakan ajaran (sunnah) Nabi Muhammad. Kenyataannya, istilah yang dipakai untuk potong ujung penis itu jarang yang menggunakan istilah khitan. Yang banyak dipakai justru istilah "sunat".
Maka, tak heran kalau ada orang bertanya, "Anakmu, si Akil itu, kok belum disunat? Padahal sudah besar."
Ucapan di atas itu enak saja didengar. Tetapi bagaimana kalau ada judul berita berbunyi, "Gaji Guru di Kabupaten Hastina Disunat". Istilah "disunat" di sini artinya gaji itu dipotong di luar persetujuan guru yang bersangkutan. Orang (atasan) yang memotongnya bisa dianggap melanggar hukum agama dan hukum negara. Pertanyaannya, mengapa istilah "sunnat" yang asalnya baik dan mulia dalam agama itu kemudian menjadi terasa kejam dan jahat?
Pemakaian bahasa yang baik, yang menjaga dari ketersinggungan satu kelompok maupun perorangan tentu saja bagian dari kesantunan dalam pergaulan hidup. Menghormati orang lain memang penting, tetapi tidak menyakiti orang lain harus lebih didahulukan.
Dua istilah yang saya urai di atas hanya contoh. Dari agama-agama yang lain juga perlu diteliti, siapa tahu ada istilah yang senasib dengan istilah "berjamaah" dan "sunnat".
Di luar istilah keagamaan, kadangkala ditemukan istilah-istilah yang barangkali tepat karena bisa dimengerti, tapi setelah direnungkan terkesan bernada menghina dan merendahkan seseorang atau suatu kelompok. Misalnya, kalimat, "Kesebelasan Persicokelat berhasil mempermalukan Persigundul." Istilah "mempermalukan" maksudnya "mengalahkan".
Membaca atau mendengar kalimat seperti di atas, kubu Persigundul dan para pendukungnya tentu merasa tidak enak hatinya. Mungkin ada yang tersinggung karena merasa dilecehkan. Sudah kalah masih dihina pula.
Apa yang saya paparkan ini barangkali terasa sepele bagi sebagian kalangan. Tetapi kalau direnungkan, karena hidup perlu ketenteraman dan kedamaian lahir batin, istilah-istilah yang meremehkan orang lain sudah selayaknya dihindari, bahkan dijauhi, baik dalam tulisan maupun dalam percakapan sehari-hari. Tujuannya tidak lain agar hidup terasa indah.
Rubrik Jati Diri (tajuk rencana) Jawa Pos 8 Februari 2007 menyoroti tentang korupsi yang mewabah di negeri ini. Soal korupsi memang menyedihkan bagi rakyat dan negara, tapi belum dirasa memalukan oleh para pelakunya. Yang juga menarik dalam tajuk rencana itu adalah sorotan terhadap pemakaian bahasa yang tak nyaman, bahkan tak aman, karena dapat menyinggung perasaan satu komunitas pemeluk agama tertentu.
Ungkapan "korupsi berjamaah", menurut Jawa Pos dirasakan kurang enak. Betul sekali koreksi itu. Istilah "berjamaah" sangat berkaitan dengan pelaksanaan salat, ritual rukun Islam yang kedua. Salat berjamaah derajatnya 27 kali lebih tinggi daripada salat sendirian.
"Berjamaah" memang bersama-sama, tapi tepatnya dipakai untuk salat. Penggunakan kata "korupsi berjamaah" sangat perlu dipertimbangkan dengan seksama. Sekiranya akan menimbulkan erosi makna, bahkan jika sampai mengurangi nilai kemuliaan agama, saya kira memang perlu dihindari. Apalagi masih terdapat istilah lain yang tidak menyinggung perasaan pemeluk salah satu agama. Cuma repotnya, kalau yang mengucapkan "korupsi berjamaah" itu adalah umat Islam sendiri.
Saya yakin, munculnya ungkapan itu bukan untuk melecehkan suatu agama. Pencetus pertama ungkapan itu diduga sangat antikorupsi, karena korupsi benar-benar telah mencoreng kehormatan bangsa dan negara di tengah kehidupan dunia. Untuk memberi tekanan bahasa yang berlebih dalam menilai korupsi yang merebak, serentak, dan serempak secara sistematik itu, maka digunakanlah istilah "berjamaah". Celakanya, yang dipilih adalah istilah yang lazim dipakai dalam kegiatan yang dimuliakan agama.
Selain itu, ada istilah "sunnat", yang dalam definisi fiqih (hukum Islam) artinya: kalau dikerjakan disenangi Tuhan dan dapat pahala, tapi kalau ditinggalkan tidak berdosa. Dalam pengertian yang lebih luas "sunnat" atau "sunnah" adalah semua ajaran yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Di Indonesia ada sebagian umat Islam yang mempersempit makna "sunnat". Khitan, yaitu memotong ujung zakar (penis) bagi laki-laki muslim merupakan ajaran (sunnah) Nabi Muhammad. Kenyataannya, istilah yang dipakai untuk potong ujung penis itu jarang yang menggunakan istilah khitan. Yang banyak dipakai justru istilah "sunat".
Maka, tak heran kalau ada orang bertanya, "Anakmu, si Akil itu, kok belum disunat? Padahal sudah besar."
Ucapan di atas itu enak saja didengar. Tetapi bagaimana kalau ada judul berita berbunyi, "Gaji Guru di Kabupaten Hastina Disunat". Istilah "disunat" di sini artinya gaji itu dipotong di luar persetujuan guru yang bersangkutan. Orang (atasan) yang memotongnya bisa dianggap melanggar hukum agama dan hukum negara. Pertanyaannya, mengapa istilah "sunnat" yang asalnya baik dan mulia dalam agama itu kemudian menjadi terasa kejam dan jahat?
Pemakaian bahasa yang baik, yang menjaga dari ketersinggungan satu kelompok maupun perorangan tentu saja bagian dari kesantunan dalam pergaulan hidup. Menghormati orang lain memang penting, tetapi tidak menyakiti orang lain harus lebih didahulukan.
Dua istilah yang saya urai di atas hanya contoh. Dari agama-agama yang lain juga perlu diteliti, siapa tahu ada istilah yang senasib dengan istilah "berjamaah" dan "sunnat".
Di luar istilah keagamaan, kadangkala ditemukan istilah-istilah yang barangkali tepat karena bisa dimengerti, tapi setelah direnungkan terkesan bernada menghina dan merendahkan seseorang atau suatu kelompok. Misalnya, kalimat, "Kesebelasan Persicokelat berhasil mempermalukan Persigundul." Istilah "mempermalukan" maksudnya "mengalahkan".
Membaca atau mendengar kalimat seperti di atas, kubu Persigundul dan para pendukungnya tentu merasa tidak enak hatinya. Mungkin ada yang tersinggung karena merasa dilecehkan. Sudah kalah masih dihina pula.
Apa yang saya paparkan ini barangkali terasa sepele bagi sebagian kalangan. Tetapi kalau direnungkan, karena hidup perlu ketenteraman dan kedamaian lahir batin, istilah-istilah yang meremehkan orang lain sudah selayaknya dihindari, bahkan dijauhi, baik dalam tulisan maupun dalam percakapan sehari-hari. Tujuannya tidak lain agar hidup terasa indah.