5
“Mereka kaum pemburu dan peramu,” ujar Schmidt. “Gambaran kita tentang kaum pemburu-peramu selalu kelompok kecil nomaden yang terdiri atas beberapa puluh orang saja. Mereka tak dapat membuat struktur permanen yang besar, seperti kita kira sebelumnya, karena mereka harus terus berpindah mengikuti sumber daya. Masyarakat ini tak dapat memiliki kelas pendeta dan tukang yang terpisah karena tak mampu membawa-bawa persediaan tambahan untuk memberi makan mereka. Tetapi, sekarang ada Göbekli Tepe yang membuktikan bahwa mereka jelas melakukan hal itu.” Penemuan bahwa pemburu-peramulah yang membangun Göbekli Tepe sama seperti menemukan ada yang membuat pesawat 747 di rumahnya dengan pisau pemotong kertas.
“Saya, rekan-rekan saya, kami semua berpikir, Apa ini? Bagaimana membuatnya?” ujar Schmidt. Ironisnya, Göbekli Tepe tampaknya menjadi pertanda akan datangnya peradaban sekaligus peninggalan terbesar terakhir masa lalu nomaden. Pencapaian itu menakjubkan, tapi sulit untuk memahami cara pembangunannya serta makna pentingnya. “Dalam 10 atau 15 tahun,” ramal Schmidt, “Göbekli Tepe akan lebih terkenal daripada Stonehenge. Dan memang sudah seharusnya demikian.”
Pembicaraan tentang Göbekli Tepe tak lengkap tanpa menyebut V. Gordon Childe. Childe, yang lahir di Australia kemudian pindah ke Inggris, adalah pria flamboyan penganut Marxisme, bercelana golf dan berdasi kupu-kupu. Dia juga salah satu ahli arkeologi paling berpengaruh di abad lalu. Childe merangkai berbagai fakta yang ditemukan rekan-rekannya menjadi skema intelektual yang utuh: yang paling terkenal muncul tahun 1920-an, ketika dia menciptakan konsep Revolusi Neolitik.
Dalam istilah zaman sekarang, pandangan Childe bisa dirangkum sebagai berikut: Homo sapiens naik panggung sekitar 200.000 tahun yang lalu. Selama ribuan tahun setelahnya, spesies ini tak banyak berubah, manusia hidup dalam kelompok kecil pemburu-peramu nomaden. Kemudian datanglah Revolusi Neolitik—“perubahan radikal,” kata Childe, “yang sarat konsekuensi revolusioner bagi seluruh spesies.” Secara mendadak, sebagian umat manusia meninggalkan kegiatan berburu dan meramu, dan mulai bercocok tanam. Pertanian, menurut Childe, memicu rangkaian transformasi selanjutnya. Untuk mengolah lahan, orang harus berhenti mengembara dan pindah ke desa permanen, tempat mereka mengembangkan peralatan baru dan menciptakan gerabah. Dalam pandangannya, Revolusi Neolitik merupakan peristiwa yang luar biasa penting—“yang terbesar dalam sejarah manusia setelah penemuan api.”
Di antara semua aspek revolusi itu, pertanianlah yang paling penting. Selama ribuan tahun, manusia dengan peralatan pertanian dari batu berkelana di muka bumi, memotong bulir gandum liar dan membawanya pulang. Meskipun orang-orang ini mungkin sudah merawat dan menjaga lahan gandumnya, tanaman itu masih tumbuh liar. Tidak seperti varietas yang telah dibudidayakan, buah gandum dan barli liar jatuh berhamburan bila masak. Dalam pandangan ilmu genetika, pertanian biji-bijian sejati baru dimulai ketika orang menanami kawasan baru dengan tanaman mutasi yang tak lagi luruh saat masak, menciptakan ladang gandum dan barli, kemudian dipanen petani.
Orang tak lagi harus menyusuri padang untuk mengumpulkan makanan, sekarang mereka bisa menanam sebanyak yang dibutuhkan dan di mana pun mereka membutuhkannya, sehingga manusia bisa hidup bersama dalam kelompok yang lebih besar. Jumlah penduduk melonjak. “Baru setelah revolusi itu spesies kita benar-benar mulai berkembang biak dengan cepat,” tulis Childe. Dalam masyarakat yang tiba-tiba jadi lebih ramai ini, gagasan dapat lebih mudah disebarkan, sementara inovasi teknologi dan sosial bertambah banyak. Agama dan seni—ciri khas peradaban—pun berkembang.
Seperti kebanyakan peneliti dewasa ini, Childe berpendapat bahwa revolusi pertama terjadi di kawasan Bulan Sabit Subur, dari Gaza melengkung ke timur laut ke Turki selatan dan kemudian ke tenggara sampai ke Irak. Di selatan berbatasan dengan Gurun Suriah yang keras sementara di sebelah utara berbatasan dengan pegunungan Turki. Daerah bulan sabit ini merupakan kawasan beriklim sedang di antara kawasan ekstrem yang sulit dihuni. Ujung timurnya terletak di pertemuan Sungai Tigris dan Efrat di Irak selatan—tempat negeri yang dikenal sebagai Sumeria, yang sudah ada sekitar 4000 SM.
Pada masa Childe, kebanyakan peneliti sepakat bahwa Sumeria merupakan awal peradaban. Ahli arkeologi Samuel Noah Kramer merangkum pandangan tersebut pada tahun 1950-an dalam bukunya History Begins at Sumer. Namun, bahkan sebelum Kramer selesai menulis, teori itu dibantah oleh temuan di ujung barat Bulan Sabit Subur. Di Levant—daerah yang saat ini mencakup Suriah Barat, Yordania, Libanon, Palestina, dan Israel—ahli arkeologi menemukan permukiman yang berasal dari 13.000 SM.
Desa-desa Natuf (nama ini berasal dari nama wadi tempat situs pertama ditemukan) bermunculan di Levant saat Zaman Es hampir berakhir, menciptakan era baru saat iklim daerah itu menjadi relatif hangat dan basah.
Penemuan desa-desa Natuf merupakan tantangan pertama bagi teori Revolusi Neolitik Childe. Childe dahulu mengira pertanianlah yang memicu kelahiran desa dan memunculkan peradaban. Namun, sekalipun orang Natuf tinggal di permukiman permanen yang berpenduduk hingga ratusan orang, mereka masih pemburu-peramu, bukan petani, berburu rusa dan mengumpulkan gandum hitam, serta barli liar. “Ini merupakan bukti jelas bahwa teori tersebut harus direvisi,” kata ahli arkeologi Harvard University Ofer Bar-Yosef.
Desa-desa Natuf mengalami masa sulit sekitar 10.800 SM, saat suhu di daerah itu tiba-tiba turun sekitar 7°C, bagian dari zaman es mini yang berlangsung selama 1.200 tahun dan menciptakan kondisi lebih kering di kawasan Bulan Sabit Subur. Dengan menyusutnya habitat binatang dan padang biji-bijian, sejumlah desa kekurangan persediaan makanan. Banyak orang kembali menjadi pemburu-peramu nomaden.
Beberapa permukiman mencoba untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang lebih kering. Desa Abu Hureyra, sekarang terletak di Suriah utara, tampaknya berusaha membudidayakan jenis gandum-hitam lokal. Setelah memeriksa bulir gandum hitam dari tempat itu, Gordon Hillman dari University College London dan Andrew Moore dari Rochester Institute of Technology pada 2000 berpendapat bahwa beberapa bulir lebih besar daripada jenis liarnya—mungkin tanda domestikasi, karena budi daya pasti meningkatkan kualitas. Bar-Yosef dan beberapa peneliti lain akhirnya percaya bahwa di beberapa situs di dekatnya seperti Mureybet dan Tell Qaramel, penduduknya dulu juga bertani.
Jika para ahli arkeologi itu benar, purwadesa ini memberikan penjelasan baru tentang proses dimulainya masyarakat yang kompleks.
Childe berpendapat bahwa pertanianlah awalnya, inovasi yang memungkinkan manusia untuk menciptakan lingkungan baru nan kaya guna memperluas penguasaannya atas alam. Situs Natuf di Levant menyiratkan bahwa permukimanlah yang terjadi terlebih dahulu, dan pertanian muncul belakangan sebagai akibat krisis. Dihadapkan pada lingkungan yang semakin kering dan dingin serta populasi yang bertambah, orang di daerah yang masih subur berpikir, dalam kata-kata Bar-Yosef, “Jika kami pindah, orang lain akan mengambil sumber daya kami. Cara terbaik kami untuk bertahan adalah menetap dan memanfaatkan daerah kami sebaik-baiknya.” Terjadilah pertanian.
sumber: nationalgeographic
Oleh Charles C. Mann
Foto oleh Vincent J. Musi
Edisi: Juni 2011