evnuabiyoso
New member
Ia mungkin telah jadi ikon: sepotong jalan utama dan sebuah universitas negeri telah menggunakan namanya. Raut lelaki tirus itu pernah tertera pada sehelai uang kertas.
Di Jakarta, tubuhnya yang ringkih diabadikan dalam bentuk patung setinggi 6,5 meter di atas penyangga 5,5 meter. Menghadap utara, dibalut jas yang kedodoran, ia memberi hormat–entah kepada siapa.
Barangkali, hanya sedikit cerita yang kita ingat dari Soedirman–sejumput kenangan dari buku sejarah sekolah menengah. Ia panglima tentara yang pertama, orang yang keras hati. Ia pernah bergerilya dalam gering yang akut–tuberkulosis menggerogoti paru-parunya.
Sejak ia remaja, orang segan kepadanya: karena alim, dia dijuluki kaji. Ia aktif dalam gerakan Hizbul Wathan–kepanduan di bawah payung Muhammadiyah.
Dipilih melalui pemungutan suara sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat/Angkatan Perang Republik Indonesia pada 12 November 1945, Soedirman figur yang sulit dilewatkan begitu saja. Ia mungkin sudah ditakdirkan memimpin tentara.
Dengan banyak pengalaman, tak sulit baginya terpilih sebagai panglima dalam tiga tahap pengumpulan suara. Dia menyisihkan calon-calon lain, termasuk Oerip Soemohardjo–kandidat lain yang mengenyam pendidikan militer Belanda.
Kisah Seorang Perokok Berat
Soedirman adalah seorang perokok kelas berat. Ia merokok sejak remaja. Rokok kreteknya tak bermerek, tingwe alias nglinthing deweartinya meramu sendiri. Sepulang bergerilya, kondisi kesehatan Soedirman memburuk. Ia masuk Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, 63 tahun, putra bungsu Soedirman, ingat cerita ibunya, Siti Alfiah, bagaimana saat sakit bapaknya tetap ingin merokok.”Bapak dipaksa berhenti merokok oleh dokter. Karena perokok berat, Bapak tak bisa benar-benar meninggalkan rokok. Bapak meminta Ibu merokok dan meniupkan asap ke mukanya.”
Menurut Teguh, belakangan ibunya menjadi perokok. “Barangkali terdengar konyol, tapi Ibu berprinsip menaati perintah Bapak,” katanya.
Pada Ahad pagi, 29 Januari 1950, setelah lama terkulai lemas sejak Oktober di rumah peristirahatan tentara di Magelang, mendadak wajah Soedirman tampak cerah. Pagi itu, Ahmad Yani, Gatot Soebroto, serta beberapa petinggi militer dan sipil hadir. Tidak diketahui apa yang dibicarakan.
“Waktu itu, menurut Ibu, tiba-tiba terdengar suara kaleng dan botol pecah mendadak. Bersamaan dengan itu, bendera di halaman melorot setengah tiang. Sampai Ibu bilang ke beberapa pengawal, ’Ah, itu hanya angin’.”
Setelah salat magrib, sebagaimana didengar dari Alfiah, Soedirman memanggil istrinya ke kamar. Di dalam, dia berkata, “Bu, aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak. Tolong aku dibimbing tahlil.” Alfiah menuntunnya mengucap Laa Ilaha Illallah, dan Soedirman mengembuskan napas terakhir.
Asal-usul Keluarga Jenderal Soedirman
Soedirman lahir pada Senin Pon, 18 Maulud 1846 dalam almanak Jawa atau 24 Januari 1916 di Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Purbalingga. Ia lahir dari rahim Siyem, wanita asal Purwokerto, istri Karsid Kartoworidji, seorang pekerja pabrik gula. Soedirman diurus dan tinggal di rumah asisten wedana di Rembang, Raden Tjokrosoenarjo dan istri Toeridowati. Bayi laki-laki itu diberi nama Soedirman.
Nama itu diberikan ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo, asisten wedana di Rembang, Purbalingga. Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan Tjokrosoenarjo dan Toeridowati. Data Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia menyebutkan, istri Tjokrosoenarjo adalah kakak kandung ibunda Soedirman. Sejak Soedirman masih di dalam kandungan, Tjokrosoenarjo sudah meminta izin Siyem agar kelak bisa merawat kemenakannya itu.
Setelah Soedirman berusia delapan bulan, Tjokrosoenarjo pensiun dari jabatannya. Berbekal duit pensiun 62,35 gulden, ia memboyong keluarganya, termasuk Soedirman dan orang tuanya, pindah ke sebuah rumah sederhana di Kampung Kemanggisan, Kelurahan Tambakreja, sebelah selatan pusat Kota Cilacap, Jawa Tengah. “Jadi, Bapak cuma numpang lahir di Purbalingga, lalu kehidupannya berlanjut di Cilacap,” kata Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, anak bungsu Soedirman, saat ditemui Tempo awal Oktober lalu.
Teguh bercerita, selama ini banyak buku dan literatur digital di dunia maya menulis ngawur soal asal-usul keluarganya. Dari sekian banyak buku tentang ayahnya, Teguh hanya percaya pada buku berjudul Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer karya wartawan senior Julius Pour terbitan 2005.
“Walau bukan buku biografi Bapak, ceritanya cocok semua dengan cerita Ibu,” ujar bungsu dari sembilan putra-putri pasangan Soedirman dan Siti Alfiah itu.
Soal asal-usul keluarga sang Panglima Besar, Teguh mengatakan, berdasarkan pernyataan keluarga, Soedirman merupakan anak kandung Tjokrosoenarjo, Asisten Wedana Rembang, bukan anak angkat seperti yang selama ini tertulis di berbagai buku sejarah. “Belum ada satu pun buku yang menulis soal ini (versi keluarga),” katanya.
Tjokrosoenarjo wafat saat Soedirman masih menempuh sekolah guru di Cilacap pada sekitar 1936. Ia mewariskan seluruh hartanya kepada anak tunggalnya itu.
Siti Alfiah, istri Soedirman, beberapa kali berusaha meluruskan soal data sejarah ini, tapi selalu kandas. Janda Soedirman itu pernah berupaya meluruskannya pada 1960-1970-an. Namun, pihak Pusat Sejarah ABRI kala itu malah mengesahkan secara resmi sejarah orang tua Soedirman yang masih kontroversial tersebut lewat pengadilan. “Tapi aneh karena tak ada satu pun anggota keluarga yang diundang,” ujar Teguh.
Bagi Teguh, ibundanya adalah satu-satunya orang yang tahu persis soal riwayat sang Jenderal Besar. Sebab, semua dokumen yang berkaitan dengan Soedirman telah dilenyapkan demi kepentingan keamanan sebelum ia berangkat bergerilya.
Menurut Teguh, sejarawan Anhar Gonggong pernah memberinya saran agar ia menuliskan semua riwayat Soedirman dari sudut pandang dan pengakuan keluarga. Namun, hingga kini dia belum pernah mencoba melaksanakan saran Anhar itu.
“Yang jelas, Bapak itu pahlawan nasional. Jasanya banyak, perlu jadi teladan bangsa ini. Itu saja cukup,” ucap Teguh.
Bintang Lapangan Sepak Bola
Soedirman memasuki masa sekolah pada 1923. Kala itu, berkat status Raden Tjokrosoenarjo yang bekas pejabat, Soedirman kecil bisa memperoleh pendidikan formal di Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat sekolah dasar) pada usia tujuh tahun. Di sekolah milik pemerintah ini, ia dikenal sebagai murid yang sangat rajin, berdisiplin, dan pandai.
Di sekolah inilah bintang Soedirman mulai bersinar terang. Salah satunya lewat olahraga kegemarannya: sepak bola. Menurut Teguh, saking piawainya memainkan si kulit bundar, Soedirman, yang biasa berposisi sebagai penyerang dijuluki si bintang lapangan.Pria 62 tahun itu mengatakan ayahnya juga menguasai betul aturan dan tata cara permainan bola sepak. Lantaran dikenal sebagai sosok yang jujur, Soedirman kemudian kerap didaulat menjadi wasit. “Kebiasaan sepak bola ini terbawa terus sampai Bapak remaja menuju dewasa,” kata Teguh.
Di Sekolah, Jenderal Soedirman Dijuluki Kaji
Seperti ditulis Majalah Tempo Senin 12 November 2012, Soedirman dikenal sebagai sosok yang tak segan membantu teman-temannya dalam hal apa pun, termasuk pelajaran. Ia sangat antusias mengikuti pelajaran bahasa Inggris, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah kebangsaan, dan agama Islam. “Saking tekunnya pada pelajaran agama, Soedirman diberi julukan Kaji atau Haji,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Cara bergaul ayahnya pun luwes, kata anak bungsunya, Mohammad Teguh. Dia bisa memastikan hal itu berdasarkan cerita ibunya. Soedirman bisa berkawan dan menempatkan diri di antara senior ataupun juniornya. “Bapak biasa berada di tengah banyak orang. Soalnya Bapak sangat piawai berpidato,” ujarnya. Terutama saat ayahnya getol mengurus organisasi intrasekolah Putra-Putri Wiworotomo.
Soedirman lulus HIS pada 1930. Ia baru masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara dengan sekolah menengah pertama) Parama Wiworotomo, Cilacap, dua tahun setelahnya dan lulus pada 1935.
Bersekolah di MULO merupakan tahapan penting bagi Soedirman. Di sekolah itulah ia mendapatkan pendidikan nasionalisme dari para guru yang kebanyakan aktif di organisasi Boedi Oetomo, seperti Raden Soemojo dan Soewardjo Tirtosoepono, lulusan Akademi Militer Breda di Belanda.
Selengkapnya baca Disini
Di Jakarta, tubuhnya yang ringkih diabadikan dalam bentuk patung setinggi 6,5 meter di atas penyangga 5,5 meter. Menghadap utara, dibalut jas yang kedodoran, ia memberi hormat–entah kepada siapa.
Barangkali, hanya sedikit cerita yang kita ingat dari Soedirman–sejumput kenangan dari buku sejarah sekolah menengah. Ia panglima tentara yang pertama, orang yang keras hati. Ia pernah bergerilya dalam gering yang akut–tuberkulosis menggerogoti paru-parunya.
Sejak ia remaja, orang segan kepadanya: karena alim, dia dijuluki kaji. Ia aktif dalam gerakan Hizbul Wathan–kepanduan di bawah payung Muhammadiyah.
Dipilih melalui pemungutan suara sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat/Angkatan Perang Republik Indonesia pada 12 November 1945, Soedirman figur yang sulit dilewatkan begitu saja. Ia mungkin sudah ditakdirkan memimpin tentara.
Dengan banyak pengalaman, tak sulit baginya terpilih sebagai panglima dalam tiga tahap pengumpulan suara. Dia menyisihkan calon-calon lain, termasuk Oerip Soemohardjo–kandidat lain yang mengenyam pendidikan militer Belanda.
Kisah Seorang Perokok Berat
Soedirman adalah seorang perokok kelas berat. Ia merokok sejak remaja. Rokok kreteknya tak bermerek, tingwe alias nglinthing deweartinya meramu sendiri. Sepulang bergerilya, kondisi kesehatan Soedirman memburuk. Ia masuk Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, 63 tahun, putra bungsu Soedirman, ingat cerita ibunya, Siti Alfiah, bagaimana saat sakit bapaknya tetap ingin merokok.”Bapak dipaksa berhenti merokok oleh dokter. Karena perokok berat, Bapak tak bisa benar-benar meninggalkan rokok. Bapak meminta Ibu merokok dan meniupkan asap ke mukanya.”
Menurut Teguh, belakangan ibunya menjadi perokok. “Barangkali terdengar konyol, tapi Ibu berprinsip menaati perintah Bapak,” katanya.
Pada Ahad pagi, 29 Januari 1950, setelah lama terkulai lemas sejak Oktober di rumah peristirahatan tentara di Magelang, mendadak wajah Soedirman tampak cerah. Pagi itu, Ahmad Yani, Gatot Soebroto, serta beberapa petinggi militer dan sipil hadir. Tidak diketahui apa yang dibicarakan.
“Waktu itu, menurut Ibu, tiba-tiba terdengar suara kaleng dan botol pecah mendadak. Bersamaan dengan itu, bendera di halaman melorot setengah tiang. Sampai Ibu bilang ke beberapa pengawal, ’Ah, itu hanya angin’.”
Setelah salat magrib, sebagaimana didengar dari Alfiah, Soedirman memanggil istrinya ke kamar. Di dalam, dia berkata, “Bu, aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak. Tolong aku dibimbing tahlil.” Alfiah menuntunnya mengucap Laa Ilaha Illallah, dan Soedirman mengembuskan napas terakhir.
Asal-usul Keluarga Jenderal Soedirman
Soedirman lahir pada Senin Pon, 18 Maulud 1846 dalam almanak Jawa atau 24 Januari 1916 di Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Purbalingga. Ia lahir dari rahim Siyem, wanita asal Purwokerto, istri Karsid Kartoworidji, seorang pekerja pabrik gula. Soedirman diurus dan tinggal di rumah asisten wedana di Rembang, Raden Tjokrosoenarjo dan istri Toeridowati. Bayi laki-laki itu diberi nama Soedirman.
Nama itu diberikan ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo, asisten wedana di Rembang, Purbalingga. Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan Tjokrosoenarjo dan Toeridowati. Data Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia menyebutkan, istri Tjokrosoenarjo adalah kakak kandung ibunda Soedirman. Sejak Soedirman masih di dalam kandungan, Tjokrosoenarjo sudah meminta izin Siyem agar kelak bisa merawat kemenakannya itu.
Setelah Soedirman berusia delapan bulan, Tjokrosoenarjo pensiun dari jabatannya. Berbekal duit pensiun 62,35 gulden, ia memboyong keluarganya, termasuk Soedirman dan orang tuanya, pindah ke sebuah rumah sederhana di Kampung Kemanggisan, Kelurahan Tambakreja, sebelah selatan pusat Kota Cilacap, Jawa Tengah. “Jadi, Bapak cuma numpang lahir di Purbalingga, lalu kehidupannya berlanjut di Cilacap,” kata Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, anak bungsu Soedirman, saat ditemui Tempo awal Oktober lalu.
Teguh bercerita, selama ini banyak buku dan literatur digital di dunia maya menulis ngawur soal asal-usul keluarganya. Dari sekian banyak buku tentang ayahnya, Teguh hanya percaya pada buku berjudul Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer karya wartawan senior Julius Pour terbitan 2005.
“Walau bukan buku biografi Bapak, ceritanya cocok semua dengan cerita Ibu,” ujar bungsu dari sembilan putra-putri pasangan Soedirman dan Siti Alfiah itu.
Soal asal-usul keluarga sang Panglima Besar, Teguh mengatakan, berdasarkan pernyataan keluarga, Soedirman merupakan anak kandung Tjokrosoenarjo, Asisten Wedana Rembang, bukan anak angkat seperti yang selama ini tertulis di berbagai buku sejarah. “Belum ada satu pun buku yang menulis soal ini (versi keluarga),” katanya.
Tjokrosoenarjo wafat saat Soedirman masih menempuh sekolah guru di Cilacap pada sekitar 1936. Ia mewariskan seluruh hartanya kepada anak tunggalnya itu.
Siti Alfiah, istri Soedirman, beberapa kali berusaha meluruskan soal data sejarah ini, tapi selalu kandas. Janda Soedirman itu pernah berupaya meluruskannya pada 1960-1970-an. Namun, pihak Pusat Sejarah ABRI kala itu malah mengesahkan secara resmi sejarah orang tua Soedirman yang masih kontroversial tersebut lewat pengadilan. “Tapi aneh karena tak ada satu pun anggota keluarga yang diundang,” ujar Teguh.
Bagi Teguh, ibundanya adalah satu-satunya orang yang tahu persis soal riwayat sang Jenderal Besar. Sebab, semua dokumen yang berkaitan dengan Soedirman telah dilenyapkan demi kepentingan keamanan sebelum ia berangkat bergerilya.
Menurut Teguh, sejarawan Anhar Gonggong pernah memberinya saran agar ia menuliskan semua riwayat Soedirman dari sudut pandang dan pengakuan keluarga. Namun, hingga kini dia belum pernah mencoba melaksanakan saran Anhar itu.
“Yang jelas, Bapak itu pahlawan nasional. Jasanya banyak, perlu jadi teladan bangsa ini. Itu saja cukup,” ucap Teguh.
Bintang Lapangan Sepak Bola
Soedirman memasuki masa sekolah pada 1923. Kala itu, berkat status Raden Tjokrosoenarjo yang bekas pejabat, Soedirman kecil bisa memperoleh pendidikan formal di Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat sekolah dasar) pada usia tujuh tahun. Di sekolah milik pemerintah ini, ia dikenal sebagai murid yang sangat rajin, berdisiplin, dan pandai.
Di sekolah inilah bintang Soedirman mulai bersinar terang. Salah satunya lewat olahraga kegemarannya: sepak bola. Menurut Teguh, saking piawainya memainkan si kulit bundar, Soedirman, yang biasa berposisi sebagai penyerang dijuluki si bintang lapangan.Pria 62 tahun itu mengatakan ayahnya juga menguasai betul aturan dan tata cara permainan bola sepak. Lantaran dikenal sebagai sosok yang jujur, Soedirman kemudian kerap didaulat menjadi wasit. “Kebiasaan sepak bola ini terbawa terus sampai Bapak remaja menuju dewasa,” kata Teguh.
Di Sekolah, Jenderal Soedirman Dijuluki Kaji
Seperti ditulis Majalah Tempo Senin 12 November 2012, Soedirman dikenal sebagai sosok yang tak segan membantu teman-temannya dalam hal apa pun, termasuk pelajaran. Ia sangat antusias mengikuti pelajaran bahasa Inggris, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah kebangsaan, dan agama Islam. “Saking tekunnya pada pelajaran agama, Soedirman diberi julukan Kaji atau Haji,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Cara bergaul ayahnya pun luwes, kata anak bungsunya, Mohammad Teguh. Dia bisa memastikan hal itu berdasarkan cerita ibunya. Soedirman bisa berkawan dan menempatkan diri di antara senior ataupun juniornya. “Bapak biasa berada di tengah banyak orang. Soalnya Bapak sangat piawai berpidato,” ujarnya. Terutama saat ayahnya getol mengurus organisasi intrasekolah Putra-Putri Wiworotomo.
Soedirman lulus HIS pada 1930. Ia baru masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara dengan sekolah menengah pertama) Parama Wiworotomo, Cilacap, dua tahun setelahnya dan lulus pada 1935.
Bersekolah di MULO merupakan tahapan penting bagi Soedirman. Di sekolah itulah ia mendapatkan pendidikan nasionalisme dari para guru yang kebanyakan aktif di organisasi Boedi Oetomo, seperti Raden Soemojo dan Soewardjo Tirtosoepono, lulusan Akademi Militer Breda di Belanda.
Selengkapnya baca Disini