mbahsebul
New member
Saya sebagai guru agama, tidak ikut-ikutan di arena hingar-bingar politik praktis “pesta demokrasi” sekarang ini. Tugas saya hanya mendidik anak bangsa dengan pembekalan dan pengamalan ilmu-ilmu keislaman. Juga tugas saya hanya menasehati berbagai pihak untuk tetap dalam semangat menjunjung tinggi semangat keimanan dan keislaman. Karena itu saya tulis artikel ini dalam rangka misi menasehati Ummat Islam agar jangan sampai menelantarkan kewajiban menjunjung tinggi keimanan dan keislaman, khususnya bagi mereka yang sedang bergelut di dunia politik praktis.
Akhir-akhir ini ada gejala aneh pada sebagian tokoh-tokoh Islam yang sedang aktif berperan dalam “pesta demokrasi” ini. Dimana mereka menyatakan keresahannya tentang penampilan JILBAB pada istri-istri capres dan cawapres tertentu. Anas Urbaningrum yang notabene adalah tokoh HMI menyatakan keresahan itu meskipun dengan bahasa yang santun. Dan ternyata tidak cukup pernyataan Bung Anas saja, bahkan tidak tanggung-tanggung muncul pernyataan dari Tifatul Sembiring yang juga salah satu tokoh Ummat Islam dengan pernyataan yang kasar dan tidak beradab. Dia mengatakan : “Apa kalau istrinya berjilbab lalu masalah ekonomi selesai ? Apa pendidikan, kesehatan jadi lebih baik ? Soal selembar kain saja kok dirisaukan ?”. (Majalah TEMPO ed.1 - 7 Juni 2009 hal. 29 kol. 6).
Mari kita tenangkan hati dan pikiran kita dalam berbagai kesibukan dan kepanikan yang sedahsyat apapun, untuk mengingat bahwa kepentingan menjunjung tinggi Syi’ar (simbul kemulyaan) Islam harus diletakkan di atas segala-galanya. Allah Ta’ala berfirman : “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar agama Allah, maka sungguh sikap yang demikian itu timbul dari ketakwaan hati”. Al Qur’an S. Al Hajj 32. Sedangkan JILBAB adalah salah satu dari syi’ar-syi’ar agama Allah, sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNYA : “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mu’min : Hendaklah mereka memanjangkan JILBAB-nya untuk menutup seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Al Qur’an S. Al Ahzab 59.
Sebagai ilustrasi, saya nukilkan di sini tentang riwayat sebab turunnya S. Al Ahzab 59 tersebut, dimana diceritakan bahwa orang-orang munafiq senang mengganggu wanita-wanita Muslimah dalam rangka merendahkannya. Dan ketika mereka ditegur atas perbuatannya itu, maka berkilahlah mereka bahwa gangguan itu dilakukan karena menyangka bahwa para Muslimah itu adalah budak-budak wanita. Maka turunlah ayat ini agar para Muslimah itu tidak lagi disangka sebagai budak sehingga tidak diganggu lagi dan langsung dikenali sebagai wanita yang terhormat. Jadi dengan demikian, JILBAB itu adalah simbul wanita Muslimah yang terhormat menurut Allah Ta’ala. Dan kita disuruh menghormati siapa yang dihormati oleh Allah Ta’ala. Maka janganlah mengeluarkan kata-kata yang merendahkannya, meskipun JILBAB itu dipakai oleh lawan politik yang sedang berlaga di arena “pesta demokrasi”.
Kepada semua tokoh Ummat Islam dan segenap Ummat Islam, ingatlah bahwa perkara politik praktis itu adalah perkara dunia yang sebentar lagi akan kita tinggalkan. Sedangkan menjunjung tinggi syi’ar-syiar kemulyaan Islam adalah perkara dunia dan akherat. Maka janganlah perkara dunia semata diutamakan diatas perkara dunia dan akherat, meskipun dengan alasan dalam rangka memperjuangkan kepentingan agama. Apakah memperjuangkan kepentingan agama itu dengan cara menginjak-injak kemulyaan agama terlebih dahulu ? Bagaimana mungkin perjuangan “demi agama” yang demikian ini akan diberkahi oleh Allah ?
Al-Ustadz Ja’far Umar Thalib
Akhir-akhir ini ada gejala aneh pada sebagian tokoh-tokoh Islam yang sedang aktif berperan dalam “pesta demokrasi” ini. Dimana mereka menyatakan keresahannya tentang penampilan JILBAB pada istri-istri capres dan cawapres tertentu. Anas Urbaningrum yang notabene adalah tokoh HMI menyatakan keresahan itu meskipun dengan bahasa yang santun. Dan ternyata tidak cukup pernyataan Bung Anas saja, bahkan tidak tanggung-tanggung muncul pernyataan dari Tifatul Sembiring yang juga salah satu tokoh Ummat Islam dengan pernyataan yang kasar dan tidak beradab. Dia mengatakan : “Apa kalau istrinya berjilbab lalu masalah ekonomi selesai ? Apa pendidikan, kesehatan jadi lebih baik ? Soal selembar kain saja kok dirisaukan ?”. (Majalah TEMPO ed.1 - 7 Juni 2009 hal. 29 kol. 6).
Mari kita tenangkan hati dan pikiran kita dalam berbagai kesibukan dan kepanikan yang sedahsyat apapun, untuk mengingat bahwa kepentingan menjunjung tinggi Syi’ar (simbul kemulyaan) Islam harus diletakkan di atas segala-galanya. Allah Ta’ala berfirman : “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar agama Allah, maka sungguh sikap yang demikian itu timbul dari ketakwaan hati”. Al Qur’an S. Al Hajj 32. Sedangkan JILBAB adalah salah satu dari syi’ar-syi’ar agama Allah, sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNYA : “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mu’min : Hendaklah mereka memanjangkan JILBAB-nya untuk menutup seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Al Qur’an S. Al Ahzab 59.
Sebagai ilustrasi, saya nukilkan di sini tentang riwayat sebab turunnya S. Al Ahzab 59 tersebut, dimana diceritakan bahwa orang-orang munafiq senang mengganggu wanita-wanita Muslimah dalam rangka merendahkannya. Dan ketika mereka ditegur atas perbuatannya itu, maka berkilahlah mereka bahwa gangguan itu dilakukan karena menyangka bahwa para Muslimah itu adalah budak-budak wanita. Maka turunlah ayat ini agar para Muslimah itu tidak lagi disangka sebagai budak sehingga tidak diganggu lagi dan langsung dikenali sebagai wanita yang terhormat. Jadi dengan demikian, JILBAB itu adalah simbul wanita Muslimah yang terhormat menurut Allah Ta’ala. Dan kita disuruh menghormati siapa yang dihormati oleh Allah Ta’ala. Maka janganlah mengeluarkan kata-kata yang merendahkannya, meskipun JILBAB itu dipakai oleh lawan politik yang sedang berlaga di arena “pesta demokrasi”.
Kepada semua tokoh Ummat Islam dan segenap Ummat Islam, ingatlah bahwa perkara politik praktis itu adalah perkara dunia yang sebentar lagi akan kita tinggalkan. Sedangkan menjunjung tinggi syi’ar-syiar kemulyaan Islam adalah perkara dunia dan akherat. Maka janganlah perkara dunia semata diutamakan diatas perkara dunia dan akherat, meskipun dengan alasan dalam rangka memperjuangkan kepentingan agama. Apakah memperjuangkan kepentingan agama itu dengan cara menginjak-injak kemulyaan agama terlebih dahulu ? Bagaimana mungkin perjuangan “demi agama” yang demikian ini akan diberkahi oleh Allah ?
Al-Ustadz Ja’far Umar Thalib