JPU Tak Kasasi, Setuju Hukuman Jaksa Pinangki Hanya 4 Tahun Penjara

spirit

Mod
crp3zmnsi1l9ey3tjtej.jpg

Terdakwa Pinangki Sirna Malasari meninggalkan ruangan usai sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (21/10). Foto: Puspa Perwitasari/ANTARA FOTO

Kejaksaan memutuskan tak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas vonis Jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Artinya, Kejaksaan menerima putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memotong hukuman Pinangki selama 6 tahun penjara. Vonis tingkat banding tersebut membuat Pinangki yang awalnya dihukum 10 tahun, kini menjadi 4 tahun penjara.

"JPU (Jaksa Penuntut Umum) tidak mengajukan permohonan kasasi," ujar Kajari Jakarta Pusat, Riono Budisantoso, kepada wartawan, Senin (5/7).

Riono menyatakan hukuman Pinangki selama 4 tahun penjara telah sesuai dengan tuntutan JPU.

"JPU berpandangan bahwa tuntutan JPU telah dipenuhi dalam putusan PT (Pengadilan Tinggi)" ucap Riono

Keputusan Kejaksaan tersebut diambil di hari terakhir pengajuan kasasi ke MA.

Vonis Pengadilan Tinggi dibacakan pada 14 Juni 2021 lalu. Merujuk KUHAP Pasal 243, salinan putusan beserta berkas perkara itu dikirim kepada pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan.

Selanjutnya, salinan dan berkas diteruskan ke Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum. Sementara batas pengajuan kasasi ialah 14 hari setelah salinan dan berkas diberitahukan kepada Terdakwa.

Pihak Jaksa Penuntut Umum menerima salinan putusan pada 21 Juni 2021. Dengan demikian, 14 hari dari tanggal tersebut yakni 5 Juli 2021 menjadi batas akhir.


~kumparan.com
 
6021261febf42.jpg

Ini Alasan Jaksa Tak Ajukan Kasasi Pemotongan Hukuman Pinangki

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budisantoso mengatakan, alasan jaksa penuntut umum tidak mengajukan kasasi atas pemotongan hukuman Pinangki Sirna Malasari karena tuntutan telah dipenuhi dalam putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Selain itu, tidak ada alasan untuk mengajukan permohonan kasasi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. "JPU berpandangan bahwa tuntutan JPU telah dipenuhi dalam putusan pengadilan tinggi," ujar Riono saat dihubungi, Senin (5/7/2021).

Pinangki merupakan terdakwa dalam kasus pengurusan fatwa bebas MA untuk terpidana kasus cessie Bank Bali, Djoko S Tjandra. Pinangki menjabat sebagai Kepala Subbagian Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan ketika terlibat dalam perkara itu. Pada Februari lalu, majelis hakim Pengadilan Tipikor menyatakan Pinangki terbukti bersalah dalam perkara tersebut. Majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta kepada Pinangki.

Vonis tersebut lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang meminta agar Pinangki divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.

Pinangki kemudian melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis hakim mengabulkan permohonan banding itu dan memangkas hukuman Pinangki selama 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Atas putusan itu, sejumlah pihak telah mendesak jaksa penuntut umum agar mengajukan upaya hukum kasasi di tingkat Mahkamah Agung. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman, Kamis (17/6/2021), mendorong Kejaksaan menunjukkan komitmen dalam pemberantasan korupsi.

Menurut Zaenur, hal ini tidak masalah meskipun jaksa penuntut umum menuntut Pinangki hanya 4 tahun penjara di pengadilan tingkat pertama. "Yang dijadikan dasar adalah putusan pengadilan tinggi terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Bukan terhadap tuntutan. Jaksa harus banding. Kalau jaksa ogah banding, menolak banding, itu menjadi pertanyaan masyarakat," ujarnya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, Senin (5/7/2021), menyatakan dugaan bahwa Kejaksaan Agung ingin melindungi Pinangki bisa jadi benar bila jaksa penuntut umum tak mengajukan kasasi.

Menurut Kurnia, Pinangki layak mendapatkan hukuman berat. Sebab, Pinangki merupakan penegak hukum dan melakukan tiga tindak pidana sekaligus. "Jika tidak (mengajukan kasasi), maka dugaan publik selama ini kian terkonfirmasi bahwa Kejaksaan Agung sedari awal memang ingin melindungi dan berharap agar Pinangki dihukum rendah," kata Kurnia.

.
 
5fa940ad5db9b.jpg

Dagelan Kasus Pinangki, Ketika Perantara Suap Dihukum Lebih Berat dari Jaksa Korup

JAKARTA, KOMPAS.com - Peringanan hukuman terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari mendapat kritik dari organisasi masyarakat pegiat anti-korupsi. Dalam putusan banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun penjara terhadap Pinangki. Sementara, dalam pengadilan tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memberikan vonis 10 tahun penjara, lebih berat dari tuntutan jaksa yang hanya 4 tahun. Pinangki terbukti bersalah melakukan tiga tindak pidana dalam kasus korupsi pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA).

Pengurusan fatwa itu merupakan upaya agar terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra, dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani hukuman dua tahun.

Pertama, Pinangki dinyatakan terbukti menerima uang suap 500.000 dollar Amerika Serikat dari Djoko Tjandra. Kedua, Pinangki terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total 375.229 dollar AS atau setara Rp 5,25 miliar. Pinangki juga dinyatakan terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya, dan mantan kuasa hukum Djoko Tjandra, Anita Kolopaking. Mereka terbukti menjanjikan uang 10 juta dollar AS kepada pejabat Kejagung dan MA demi mendapatkan fatwa. Setelah putusan banding, kejaksaan memutuskan tidak mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Sebab, tuntutan jaksa penuntut umum telah dipenuhi dalam putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Lebih ringan dari perantara suap

Hukuman yang diterima Pinangki lebih ringan jika dibandingkan vonis terhadap Andi Irfan Jaya. Andi Irfan Jaya divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 100 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia dinilai terbukti membantu Djoko, secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana karena sengaja memberi bantuan ketika kejahatan korupsi dilakukan.

Menurut majelis hakim, uang sebesar 500.000 Dollar AS telah diterima Pinangki melalui perantaraan Andi. Kemudian, sebanyak 50.000 Dollar AS diberikan kepada Anita Kolopaking. Uang itu sebagai uang muka untuk pengurusan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung agar Djoko tidak perlu menjalani pidananya. Demikian pula Andi turut serta dalam permufakatan jahat dengan turut merencanakan rencana aksi.

Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, semestinya Pinangki mendapatkan hukuman yang berat. Sebab, Pinangki merupakan penegak hukum dan terbukti bersalah melakukan tiga tindak pidana sekaligus berdasarkan putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. "Lebih miris lagi, terdakwa menjalankan praktik korupsi guna membantu buron (kasus) korupsi yang sedang dicari oleh Kejaksaan Agung, Djoko S Tjandra," ujar Kurnia. "Bagi ICW, seluruh penanganan korupsi suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat Pinangki hanya dagelan semata," tutur dia. Hal senada diungkapkan, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.

Ia membandingkan hukuman Pinangki dengan perantara suap Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra sebagai pemberi suap. Boyamin menjelaskan, dalam konteks hukum di Indonesia, penerima suap semestinya mendapatkan hukuman lebih berat dibandingkan dengan pemberi suap dan perantara. "Ini mestinya jadi alasan kejaksaan mengajukan kasasi. Karena tidak mungkin jadi terbalik ketika vonis penjaranya terjadi perbedaan dan yang menerima suap lebih rendah," ucap Boyamin.

Hukuman Pinangki juga tidak berbeda jauh dengan vonis terhadap Djoko Tjandra. Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis hukuman 4 tahun dan 6 bulan penjara berikut denda Rp 100 juta subsider enam bulan penjara. Djoko terbukti menyuap sejumlah orang, termasuk Pinangki, untuk membebaskan dirinya dari jeratan hukum. Berdasarkan fakta persidangan, Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya, Pinangki, dan Anita Kolopaking mengetahui sejak awal bahwa MA memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menerbitkan fatwa. Fatwa tersebut bisa membebaskan Djoko dari hukuman pidana dalam perkara cessie Bank Bali.

Sebelum ditangkap pada Juli 2020, Djoko telah menjadi buron Kejaksaan Agung selama 11 tahun. Ia sempat melarikan diri ke Papua Niugini dan tinggal di Malaysia. Sementara itu, Anita Kolopaking, mantan kuasa hukum Djoko, divonis 2 tahun 6 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Anita dinyatakan bersalah karena membuat dokumen palsu berupa surat jalan, surat keterangan bebas Covid-19, dan surat rekomendasi kesehatan.

.
 
Back
Top