Dagelan Kasus Pinangki, Ketika Perantara Suap Dihukum Lebih Berat dari Jaksa Korup
JAKARTA, KOMPAS.com - Peringanan hukuman terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari mendapat kritik dari organisasi masyarakat pegiat anti-korupsi. Dalam putusan banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun penjara terhadap Pinangki. Sementara, dalam pengadilan tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memberikan vonis 10 tahun penjara, lebih berat dari tuntutan jaksa yang hanya 4 tahun. Pinangki terbukti bersalah melakukan tiga tindak pidana dalam kasus korupsi pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA).
Pengurusan fatwa itu merupakan upaya agar terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra, dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani hukuman dua tahun.
Pertama, Pinangki dinyatakan terbukti menerima uang suap 500.000 dollar Amerika Serikat dari Djoko Tjandra. Kedua, Pinangki terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total 375.229 dollar AS atau setara Rp 5,25 miliar. Pinangki juga dinyatakan terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya, dan mantan kuasa hukum Djoko Tjandra, Anita Kolopaking. Mereka terbukti menjanjikan uang 10 juta dollar AS kepada pejabat Kejagung dan MA demi mendapatkan fatwa. Setelah putusan banding, kejaksaan memutuskan tidak mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Sebab, tuntutan jaksa penuntut umum telah dipenuhi dalam putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Lebih ringan dari perantara suap
Hukuman yang diterima Pinangki lebih ringan jika dibandingkan vonis terhadap Andi Irfan Jaya. Andi Irfan Jaya divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 100 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia dinilai terbukti membantu Djoko, secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana karena sengaja memberi bantuan ketika kejahatan korupsi dilakukan.
Menurut majelis hakim, uang sebesar 500.000 Dollar AS telah diterima Pinangki melalui perantaraan Andi. Kemudian, sebanyak 50.000 Dollar AS diberikan kepada Anita Kolopaking. Uang itu sebagai uang muka untuk pengurusan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung agar Djoko tidak perlu menjalani pidananya. Demikian pula Andi turut serta dalam permufakatan jahat dengan turut merencanakan rencana aksi.
Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, semestinya Pinangki mendapatkan hukuman yang berat. Sebab, Pinangki merupakan penegak hukum dan terbukti bersalah melakukan tiga tindak pidana sekaligus berdasarkan putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. "Lebih miris lagi, terdakwa menjalankan praktik korupsi guna membantu buron (kasus) korupsi yang sedang dicari oleh Kejaksaan Agung, Djoko S Tjandra," ujar Kurnia. "Bagi ICW, seluruh penanganan korupsi suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat Pinangki hanya dagelan semata," tutur dia. Hal senada diungkapkan, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.
Ia membandingkan hukuman Pinangki dengan perantara suap Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra sebagai pemberi suap. Boyamin menjelaskan, dalam konteks hukum di Indonesia, penerima suap semestinya mendapatkan hukuman lebih berat dibandingkan dengan pemberi suap dan perantara. "Ini mestinya jadi alasan kejaksaan mengajukan kasasi. Karena tidak mungkin jadi terbalik ketika vonis penjaranya terjadi perbedaan dan yang menerima suap lebih rendah," ucap Boyamin.
Hukuman Pinangki juga tidak berbeda jauh dengan vonis terhadap Djoko Tjandra. Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis hukuman 4 tahun dan 6 bulan penjara berikut denda Rp 100 juta subsider enam bulan penjara. Djoko terbukti menyuap sejumlah orang, termasuk Pinangki, untuk membebaskan dirinya dari jeratan hukum. Berdasarkan fakta persidangan, Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya, Pinangki, dan Anita Kolopaking mengetahui sejak awal bahwa MA memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menerbitkan fatwa. Fatwa tersebut bisa membebaskan Djoko dari hukuman pidana dalam perkara cessie Bank Bali.
Sebelum ditangkap pada Juli 2020, Djoko telah menjadi buron Kejaksaan Agung selama 11 tahun. Ia sempat melarikan diri ke Papua Niugini dan tinggal di Malaysia. Sementara itu, Anita Kolopaking, mantan kuasa hukum Djoko, divonis 2 tahun 6 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Anita dinyatakan bersalah karena membuat dokumen palsu berupa surat jalan, surat keterangan bebas Covid-19, dan surat rekomendasi kesehatan.
.