fardepre
New member
Kakek-Pemuda-Keledai
Terdapat suatu kisah, mungkin sebagian dari Anda ada yang pernah mendengar ceritanya; yang menceritakan sebuah perjalanan dari seorang kakek dan seorang pemuda, dengan mengendarai seekor keledai.
Pada awalnya, sang pemuda mengendarai si keledai, sedangkan sang kakek menuntun atau mengiringi keledai tersebut sambil berjalan kaki. Hingga di tengah-tengah perjalanan, mereka bertemu dengan sekelompok masyarakat. Lalu muncul semacam komentar dari beberapa orang di antara masyarakat tersebut, "Lihatlah mereka itu... si kakek itu bersusah-payah berjalan kaki, sedangkan si pemuda malah enak-enakan mengendarai keledai-nya... Sungguh-sungguh keterlaluan si pemuda tersebut!!!...".
Mendengar komentar-komentar tersebut, sang pemuda pun merasa bersalah, lalu mempersilahkan sang kakek untuk menunggangi si keledai, sedangkan sang pemuda yang bergantian mengiringi dengan berjalan kaki. Dan kemudian mereka pun melanjutkan perjalanannya kembali.
Hingga di perjalanan berikutnya itu, mereka kembali menjumpai sekelompok masyarakat yang lain. Lalu muncul pula semacam komentar dari beberapa orang di antara masyarakat tersebut, "Lihatlah mereka itu... si pemuda itu bersusah-payah berjalan kaki, sedangkan si kakek malah enak-enakan mengendarai keledai-nya... Sungguh-sungguh keterlaluan si kakek tersebut!!!...".
Mendengar komentar-komentar tersebut, sang pemuda dan sang kakek pun merasa serba salah. Ketika sang pemuda menaiki si keledai, mereka dipersalahkan. Namun begitu pula ketika sang kakek menaiki si keledai, mereka pun kembali dipersalahkan. Akhirnya mereka pun sama-sama berjalan kaki sambil menuntun keledainya itu. Dan kemudian mereka pun melanjutkan perjalanannya kembali.
Hingga di perjalanan berikutnya lagi, mereka kembali menjumpai sekelompok masyarakat yang lain pula. Lalu muncul pula semacam komentar dari beberapa orang di antara masyarakat tersebut, "Lihatlah mereka itu... si pemuda dan si kakek itu bersusah-payah berjalan kaki, sedangkan mereka memiliki seekor keledai... Untuk apa mempunyai seekor keledai kalau bukan untuk dikendarai?!... Mereka itu sungguh-sungguh bodoh!!!...".
Mendengar komentar-komentar tersebut, sang pemuda dan sang kakek pun semakin merasa serba salah. Ketika sang pemuda menaiki si keledai, mereka dipersalahkan. Namun begitu pula ketika sang kakek menaiki si keledai, mereka pun dipersalahkan. Dan kini, ketika mereka berdua sama-sama tidak menaiki keledai-nya, mereka pun kembali dipersalahkan. Akhirnya mereka pun sama-sama mengendarai di atas keledainya itu, dan kemudian melanjutkan perjalanannya kembali.
Hingga di perjalanannya itu, mereka pun kembali lagi menjumpai sekelompok masyarakat yang lain pula. Lalu muncul pula semacam komentar dari beberapa orang di antara masyarakat tersebut, "Lihatlah mereka itu... si pemuda dan si kakek itu sama-sama menunggangi seekor keledai yang mungil... Apakah mereka itu tidak memiliki rasa kasihan dengan si keledai?!... Mereka itu sungguh-sungguh keterlaluan!!!...". Lagi-lagi, mereka pun kembali dipersalahkan.
---ooo---
Mungkin beberapa orang telah mendengar kisah tersebut di atas, atau pula beberapa kisah yang semacamnya. Kisah di atas acap pula tercermin dalam pola kehidupan masyarakat sehari-hari. Acapkali pada beberapa kesempatan, manusia kerap saling menyalahkan satu sama lainnya, menurut pola pikir dan pandangan yang bernada sepihak. Karena pada fitrahnya; manusia senantiasa memandang bahwa masing-masing adalah diri yang paling benar, yang paling baik, yang paling suci, yang paling jenius, yang paling sukses, dan macam-macam kebanggaan semu lainnya. Dan tidak ada satu pun juga manusia yang suka-rela untuk dipersalahkan, walaupun apabila memang ternyata salah; apalagi bila untuk dijadikan tumbal atas kesalahan orang-orang lain.
Akan senantiasa terdapat beberapa golongan manusia yang gemar mengorek-ngorek dan membesar-besarkan (atau bahkan merekayasa) kesalahan atau aib orang lain (bahkan hingga sampai ke hal-hal yang paling pribadi sekalipun), seakan-akan mereka itu merasa diri paling bersih dari segala macam bentuk kekhilafan. Pada kenyataannya, tak satu pun dari mereka yang luput dari kekhilafan. Manusia bisa saja berdiri tegak berwibawa sambil membusungkan dadanya lebar-lebar, ataupun bahkan gemar mentertawakan aib orang lain; karena pada dasarnya aib-aib mereka bisa saja ?sementara? ini masih senantiasa tersembunyi dengan rapihnya. Namun pada suatu saat nanti, hari dimana beberapa aib itu akan terbongkar dan beberapa aib akan tetap terkunci rapat-rapat, maka segala kebohongan dan topeng kepalsuan pun tiada lagi berguna.
Begitu pun jikalau kita mengharapkan kebenaran hanya dengan bersandar atau bergantung kepada figur manusia, se-suci apapun dia, maka ingatlah bahwa kebenaran yang hakiki bukanlah milik manusia. Ketika terdapat seseorang memberikan ajaran yang baik, lalu apabila kemudian dia ?terpeleset?, tiba-tiba semua orang mencap dia sebagai seseorang yang memiliki segunung kesalahan. Tidak ada manusia yang sempurna di seluruh penjuru Dunia ini. Anda boleh mencarinya dari ujung Bumi yang satu hingga ke ujung Bumi yang lainnya, niscaya pencarian tersebut akan sia-sia belaka. Dijamin!
Jika kebenaran hanya disandarkan kepada figur manusia, maka ketika beliau dianggap ?berdosa?, niscaya orang-orang fanatik itu pun akan segera berpaling. Mereka itu laksana kerbau yang dicocok batang hidungnya, terombang-ambing ke sana ke mari, dan hanya mengikuti apa-apa yang sesuai dengan selera mereka sendiri. Mereka hanya ingin mendengar apa-apa yang mereka ingin dengar, walaupun itu penuh dengan kata-kata manis yang berbalut dengan kebohongan.
Setiap individu atau pun kelompok, memiliki versi kebenarannya masing-masing. Biarlah hal tersebut tetap demikian adanya. Sebarkan apa saja yang menurut Anda itu benar, itu adalah hak dan kewajiban Anda masing-masing, mudah-mudahan akan senantiasa bermanfaat dan pula mampu memberikan pencerahan bagi sesamanya. Namun kebenaran versi manusia itu hanyalah sebatas istilah "My words against your/their words", serta begitu pula sebaliknya. Walaupun begitu pada dasarnya, saya juga percaya bahwasanya setiap manusia itu pada dasarnya baik dan memiliki hati nurani. Berbagai seluk-beluk perjalanan hidup-lah yang masing-masing membentuk mereka (termasuk pula saya) hingga seperti saat sekarang ini. Terdapat jalan pintas yang mudah, atau pun jalan sukar yang berliku-liku dan pula mendaki; semua terserah kepada pilihan masing-masing.
Yang terpenting, janganlah kita terjebak pada asumsi-asumsi yang berkembang, tanpa didasari oleh azas pemikiran yang matang. Jangan pulalah kita sampai-sampai berani mengharamkan apa-apa yang telah jelas dihalalkan oleh Tuhan; dan/atau jangan pulalah kita sampai-sampai berani menghalalkan apa-apa yang telah jelas diharamkan oleh Tuhan. Namun yang Halal tidaklah selalu Thoyyib, dan yang Thoyyib tidaklah selalu Halal. Saran saya, usahakan saja untuk selalu pilih yang Halal dan Thoyyib.