Kasus Pemalsuan Dokumen MK

Dipi76

New member
Pemalsuan Dokumen MK
Mahfud Beberkan "Permainan" Andi Nurpati
Maria Natalia | Inggried | Selasa, 21 Juni 2011 | 18:20 WIB

1112257620X310.jpg


JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD membeberkan kasus dugaan pemalsuan dan penggelapan surat Mahkamah Konstitusi yang dilakukan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum Andi Nurpati. Menurut Mahfud, pihaknya telah mengirimkan surat terkait status Dewi Limpo dengan nomor 112/PAN. MK/VIII/2009 dan 113/PAN. MK/VIII/2009 kepada Andi Nurpati tanggal 17 Agustus 2009. Saat itu, menurut Mahfud, Andi sendiri yang meminta surat-surat itu langsung dikirim ke alamatnya. Namun, saat pertemuan Komisi Pemilihan Umum pada 20 Oktober 2009, Andi hanya memberikan surat dengan nomor 113.

Mahfud mempertanyakan, di mana satu surat bernomor 112 yang telah diberikan pada Andi Nurpati.

"Andi Nurpati mengatakan bahwa surat MK No 112/PAN. MK/VIII/2009 tanggal 17 Agustus 2009 tidak ada stempel MK. Padahal, dua surat sudah dikirim pada hari yang sama, dengan tanda terima yang sama. Mengapa yang bernomor 113 ada, sementara yang nomor 112 tidak ada? Padahal Andi sendiri yang meminta surat itu dikirim ke alamatnya. Berdasarkan kesaksian sopirnya (Andi Nurpati) Aryo dan Matnur di Komisi II DPR, surat itu sengaja diabaikan dan disimpan diarsip oleh Andi, sehingga tak dibawa ke rapat pleno KPU dan pada Ketua KPU," papar Mahfud di Komisi II DPR RI, Selasa (21/6/2011).

Ia beranggapan, jika Andi menyatakan tidak ada stempel, kenapa tidak ditanyakan pada MK untuk memperoleh kepastian surat itu.

"Ketika menerima surat itu, Andi Nurpati tidak persoalkan bahwa surat itu tidak berstempel, kepada MK. Harusnya bisa ditanya jika memang tidak ada stempelnya. Sampai hari ini surat itu pun tidak pernah ditunjukkan, apalagi dikembalikan ke MK," kata Mahfud.

Menurut Mahfud, Andi Nurpati justru menunjukkan surat nomor 112/PAN.MK/VIII/2009 tertanggal 14 Agustus 2009 yang ternyata palsu. Apalagi, Andi menyebutkan bahwa surat itu dikirim melalui faksimile. Padahal, kata Mahfud, MK tidak pernah memberikan surat melalui faksimile dengan nomor yang disebut oleh Andi Nurpati.

"Dari surat itu (yang palsu) tertera faks MK bernomor 021-3800239. Tetapi, dari PT Telkom menegaskan nomor faks tersebut sudah tidak aktif digunakan lagi sejak Juli 2009 dan tidak ada surat yang dikirim melalui faks tersebut pada tanggal 14 Agustus 2009 seperti yang disebut Andi Nurpati," imbuh Mahfud.

Mahfud juga menegaskan, pada rapat pleno KPU 2 September 2009, Bawaslu telah menyatakan keberatan atas keputusan KPU yang berdasarkan surat palsu itu, karena dianggap tidak sesuai dengan putusan MK No 84/PHPU.C/VII/2009. Namun itu, diabaikan oleh Andi Nurpati.

"Oleh karena surat palsu digunakan dan surat asli ternyata tidak disampaikan pada Ketua KPU dan rapat pleno KPU, maka tindak pidana pemalsuan dan penggelapan sudah terjadi secara nyata," tukas Mahfud.

===================

Hanura Akan Beri Sanksi kepada Dewi Limpo
Maria Natalia | Hertanto Soebijoto | Rabu, 22 Juni 2011 | 01:52 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua DPP Hanura Akbar Faisal mengatakan, partainya akan mengklarifikasi keterlibatan kadernya, Dewi Yasin Limpo, pada kasus dugaan penggelapan dan pemalsuan surat putusan Mahkamah Konstitusi. Dia mengatakan, partainya siap memberikan sanksi berupa pemberhentian dari partai jika Dewi terbukti bersalah.

"Jika memang terbukti melakukan intervensi perolehan suara, maka kami akan memberikan sanksi kepada Dewi Yasin Limpo. Sanksi ini bisa jadi sampai pemberhentian dia dari partai, minta kepada pihak kepolisian untuk memproses Dewi Yasin Limpo. Kami tidak akan memberi ampun," ujar Akbar saat mengikuti pertemuan Panita Kerja Mafia Pemilu dengan Mahkamah Konstitusi (MK) di ruang Komisi II DPR RI, Selasa (21/6/2011).

Dia juga menyesalkan kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam kasus itu. Dia menduga kasus ini juga terjadi pada kasus pemilihan umum kepala daerah (pilkada) dan pemilihan umum presiden (pilpres) lainnya.

"Kinerja KPU juga sungguh-sungguh sangat mengecewakan. Kalau di pemilu legislatif seperti ini saja banyak terjadi kecurangan, maka tidak menutup kemungkinan pilpres dan pilkada banyak kasus. Kalau ada pilpres yang juga diduga ada suara ilegal, maka itu harus dibuka semua. Kabarnya ada 18 juta suara haram pada pilpres lalu yang mengalir ke parpol tertentu," ujarnya.

Akbar juga meminta MK untuk membuka pemberitaan seputar sejumlah kursi haram di DPR RI. Selain itu, dia berharap tak hanya kasus Andi Nurpati yang dibuka dalam panja ini.

"Dengan pemberitaan menyangkut beberapa kursi haram, saya ingin tahu kursi haram itu yang mana. Saya minta MK buka saja semuanya. Panja ini jangan hanya mengungkap kasus Andi Nurpati, tetapi semua kasus yang berkaitan dengan pemilu," ujarnya.

Seperti diberitakan, Dewi Yasin Limpo disebut-sebut turut melakukan intervensi kepada staf dan panitera MK melalui Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi dan putrinya, Nesya.

Selain itu, Dewi juga disebut-sebut berusaha membujuk panitera MK, Zainal Husein, agar mengubah redaksional dalam surat putusan MK agar ditambah kata "penambahan suara". Hal ini kemudian tak digubris oleh panitera MK. Namun, Dewi sempat meminta salinan surat putusan MK yang asli kepada staf MK Hasan dan Nalom sesaat sebelum diserahkan kepada Andi Nurpati. Ia menggunakan kewenangan Arsyad sebagai hakim untuk meminta salinan surat asli itu.

==================

Pemalsuan Libatkan Hakim Konstitusi
Maria Natalia | I Made Asdhiana | Selasa, 21 Juni 2011 | 21:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK), Janedjri M Gaffar membeberkan mengenai pembuatan konsep surat palsu untuk Dewi Yasin Limpo. Menurutnya, dalam pemalsuan surat itu Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi dan putrinya, Nesya beserta politisi Hanura, Dewi Yasin Limpo ikut terlibat di dalamnya.

Mereka menggunakan jasa salah seorang staf dari MK yaitu, Masyuri Hasan untuk membuat konsep surat yang memberikan tambahan kata "penambahan suara" dalam putusan MK. Padahal, Panitera MK, Zainal Arifin Husein telah menegaskan bahwa tidak ada penambahan suara dalam surat keputusannya.

"Dalam pertemuan panitera MK, salah satu panitera pengganti MK bernama Muhammad Fais mengaku selama proses diskusi berlangsung, sempat mendengar kata-kata, 'Pak, ini maunya Pak Arsyad'. Hari Minggu, 16 Agustus, atas inisiatif sendiri Hasan datang ke MK, ia ditelepon oleh Nesya, anaknya Arsyad, Hakim MK, dengan pesan diminta oleh Arsyad untuk datang ke apartemen pejabat negara di Kemayoran di kediaman Arsyad Sanusi," papar Janedjri, Selasa (21/6/2011).

Janedjri menambahkan, Hasan kemudian mengkopi file surat yang telah dibuat oleh Panitera MK pada 14 Agustus 2009 untuk diberikan pada Arsyad. "Hasan pergi ke kediaman Hakim Arsyad di apartemen Kemayoran dan di kediaman itu ada Ibu Dewi Yasin Limpo. Selanjutnya ia menyerahkan konsep jawaban panitera MK tersebut kepada Pak Arsyad, sedangkan USB Hasan diminta seseorang yang tidak diketahui namanya untuk dikopi. Setelah selesai dikembalikan lagi ke Hasan," imbuh Janedjri.

Tak hanya itu, menurut Janedjri, Dewi Yasin Limpo juga membujuk Panitera MK agar bertemu dengannya. Ajakan itu telah ditolak, tapi Dewi nekad mendatangi rumah Zainal yang merupakan Panitera MK di kawasan Bekasi. "Ibu Dewi Yasin meminta tolong kepada Panitera MK, agar surat jawaban yang dibuat Panitera MK ada kata penambahan, tapi Panitera menolak dan menyatakan tidak bisa memenuhi permintaan tersebut. Saat itu, Panitera MK tidak mengenal Dewi Yasin Limpo," jelasnya.

Menurut Djanedri, berdasarkan hasil pemeriksaan tim investigasi MK atas Zainal, diketahui bahwa Hasan berusaha memasukkan kata "penambahan suara". Namun, Zainal dengan tegas menolak menandatangani surat yang diberikan Hasan, karena ia menganggap isi surat telah berbeda dari surat yang sebelumnya sudah dikonsep.

"Panitera MK tidak mau menandatangani konsep surat jawaban tersebut, karena tidak sesuai dengan putusan MK. Konsep tersebut surat (yang diserahkan Hasan) berbeda dengan draft awal yang telah ditulis oleh panitera MK, karena pada putusan MK tidak ada kata "penambahan'," kata Janed.

Pada akhirnya surat yang telah dibuat Hasan dan diduga atas perintah Arsyad dan Dewi Limpo, dengan nomor surat yang sengaja disamakan dengan nomor surat MK, tidak diterima oleh Panitera MK dan harus disesuaikan dengan keputusan MK.

Janedjri menegaskan, dua surat asli akhirnya kemudian dikirimkan ke Komisi Pemilihan Umum melalui Hasan dan seorang lagi bernama Nalom Kurniawan. Surat itu bernomor 112/PAN.MK/VIII/2009 dan 113/PAN.MK/VIII/2009 tertanggal 17 agustus 2009.

Saat itu Kantor KPU sepi sehingga, atas permintaan Andi Nurpati dua surat itu diantar kepadanya yang sedang berada di Kantor Jak TV. Namun, ketika tiba di sana Andi Nurpati kemudian mengatakan bahwa isi surat asli itu, tidak sesuai isinya. Meskipun ia tetap menerima dua surat itu. Andi kemudian hanya memunculkan surat nomor 113 dalam rapat pleno KPU sedangkan satu surat yang diberikannya dengan nomor 112 diakuinya didapat dari faksimili. MK mengatakan, surat faksimili Andi itu palsu meskipun nomornya suratnya sama dengan yang dimiliki MK, tapi dibuat dengan tanggal berbeda yaitu 14 Agustus 2009.

==================

Putu: Andi Nurpati Patut Dicurigai
K1-11 | I Made Asdhiana | Senin, 20 Juni 2011 | 18:33 WIB

1701234620X310.JPG

Andi Nurpati

DENPASAR, KOMPAS.com — Kasus munculnya surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK) terus bergulir dan Bareskrim Mabes Polri pun telah turun tangan untuk mengusut asal muasal surat palsu tersebut. Anggota KPU I Gusti Putu Artha, yang juga diperiksa oleh Mabes Polri, membeberkan bahwa Andi Nurpati patut dicurigai karena sempat menyimpan surat asli MK begitu lama.

"Pada tanggal 14 Agustus surat palsu nomor 112 itu diterima KPU, dan surat asli yang disimpan Ibu Andi Nurpati tertanggal 17 Agustus, tapi baru dibuka pada rapat pleno 11 September," kata Putu Artha kepada wartawan di Denpasar, Senin (20/6/2011).

"Sekarang tugas Ibu Andi yang menjelaskan kenapa surat itu tersimpan begitu lama," tantang Putu Artha.

Perbedaan surat palsu melalui faksimile MK yang belakangan diketahui nomor faksimile tersebut sudah lama tidak terpakai dengan surat asli tertanggal 17 Agustus tersebut adalah adanya penambahan suara. Di surat palsu tersebut ada penambahan suara Dewi Yasin Limpo dari 46 ribu menjadi 70 ribu lebih, sementara di surat asli tidak ada penambahan bahkan berkurang.

Bola panas surat palsu MK ini terus menggelinding kencang dan diduga masih ada 10 surat palsu MK lainnya yang akan diproses secara hukum.

Putu Artha yang menegaskan dirinya siap mundur jika terbukti terlibat meminta polisi dan Panja Mafia Pemilu mengusut tuntas masalah ini karena merupakan pelanggaran konstitusi berat.



Kompas



-dipi-
 
Perasaan, masalah setiap hari bertambah, dan ga ada satupun yg selesai...
Gimana ga pusing tuh para petinggi negara....
 
Andi Nurpati Akui Kenal Hakim Arsyad
Maria Natalia | Benny N Joewono | Rabu, 22 Juni 2011 | 21:42 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus dugaan penggelapan dan pemalsuan surat putusan Mahkamah Konstitusi diduga melibatkan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi, Stafnya, Hasan dan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Andi Nurpati.

Ketika dikonfirmasi, hubungan Andi dengan kedua orang itu Andi mengaku memang mengenal Hakim Arsyad dan Hasan. Namun, ia berdalih hubungan itu hanya sebatas pekerjaan antara kedua lembaga itu.

"Pak Arsyad, kenal saya, kenal biasa. Hasan kenal di MK. Karena saya memang intens dengan MK. Pak Putu (Anggota KPU I Gusti Putu Artha) dengan saya yang intens datang ke MK," ujar Andi saat dihubungi wartawan, Rabu (22/06/2011).

Namun, ia mengaku tak mengenal Nesyawati, putri Arsyad yang juga diduga melakukan inQtervensi pada staf MK dalam kasus itu. "Kalau Nesya, saya malah baru dengar dari media," katanya.

Namun, ia tidak menjelaskan lebih lanjut dalam proses kerja apa saja, yang ia lakukan dengan para staf MK itu. Andi justru menduga dalam MK terdapat mafia yang memalsukan surat putusan mengenai Dewi Yasin Limpo dan sengaja menjebaknya.

Oleh karena itu, ia mengaku sudah menduga namanya akan disebut saat Ketua MK, Mahfud MD melaporkan pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, "Pada saat Pak Mahfud melaporkan Nazaruddin ke Pak SBY, dia bilang masih ada petinggi Demokrat yang akan dilaporkan, tapi ke polisi terkait pemalsuan surat MK. Pada saat itu saya sudah menduga itu dialamatkan pada saya," ucapnya.

Seperti yang diketahui, dalam pertemuan MK dengan Panja Mafia Pemilu Selasa lalu, Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M Gaffar membeberkan mengenai pembuatan konsep surat palsu putusan MK.

Menurutnya, dalam pemalsuan surat itu Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi dan putrinya, Nesya beserta kader Hanura, Dewi Yasin Limpo ikut terlibat di dalamnya.

Mereka menggunakan jasa salah seorang staf dari Mahkamah Konstitusi yaitu, Hasan untuk membuat konsep surat yang memberikan tambahan kata "penambahan suara" dalam putusan MK.

Namun, dari Panja maupun MK belum terungkap hubungan antara orang-orang tersebut dengan Andi Nurpati, karena Panja baru akan memanggil orang-orang tersebut untuk dimintai keterangan.


Kompas




-dipi-
 
Back
Top