andree_erlangga
New member
Pimpinan proyek (Pimpro) rehabilitasi Balaikota Solo 2003, Agung Hastho Banendro ST, dituntut dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Solo.
Selain itu, ia juga dituntut membayar denda senilai Rp 50 juta dan uang pengganti Rp 50 juta subsider enam bulan kurungan.
Tuntutan itu dibacakan secara bergantian oleh tim jaksa penuntut umum (JPU) Wahyudi Djoko Triyono SH dan Erry Pudyanto Marwantono SH dalam persidangan yang dipimpin hakim Dwi Sudaryono SH dengan hakim anggota Pragsono SH dan Wiwik Suhartono SH, Kamis (25/1). Sebelumnya, dua terdakwa lainnya yakni Agung Wibowo (pemenang tender) dan Slamet Suryanto (penanggung jawab proyek) dituntut masing-masing tiga tahun dan empat tahun penjara.
Dalam surat tuntutannya, JPU menilai terdakwa Agung Hastho Banendro terbukti turut serta melakukan korupsi uang negara Rp 981.734.217 dalam proyek rehabilitasi gedung Balaikota Solo yang menggunakan dana Anggaran Biaya Tambahan (ABT) tahun 2003 senilai Rp 3,6 miliar. Dalam proyek tersebut, terdakwa menjadi pimpinan proyek yang bertindak mengelola pekerjaan rehabilitasi secara teknis.
Sama persis dengan uraian tuntutan terhadap dua terdakwa sebelumnya, JPU menyatakan Agung Hastho Banendro turut aktif dalam memanipulasi lima item pekerjaan fiktif dari 16 item pekerjaan yang seharusnya dikerjakan. ?Dalam kenyataannya, terdapat lima item pekerjaan yang tidak dikerjakan namun seolah-olah dikerjakan dan dimintakan pembayarannya. Besarnya dana yang dimintakan untuk pembayaran proyek fiktif senilai Rp 981.734.217. Atas fakta itu, maka JPU menyatakan terdakwa secara sah terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 yang disempurnakan dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) jo Pasal 65 ayat (1) KUHP,? ujar jaksa Erry.
Optimistis bebas
Hal-hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara. Padahal sebagai pimpinan proyek, seharusnya terdakwa mengawasi seluruh pekerjaan dari kemungkinan adanya tindak penyimpangan. Sedangkan tiga hal yang meringankan, terdakwa berlaku sopan selama persidangan, selama menjadi PNS banyak berbakti bagi negara serta menjadi tulang punggung keluarga.
Terhadap tuntutan itu, terdakwa dan penasihat hukumnya M Taufiq SH meminta waktu satu bulan untuk menyiapkan pledoi (pembelaan). Namun majelis hakim menetapkan waktu dua pekan untuk agenda penyampaian pledoi.
Seusai sidang, kepada Espos M Taufiq SH mengatakan, dirinya optimistis kliennya bakal bebas. Pasalnya, kata dia, dakwaan primer yakni Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31/1999 yang disempurnakan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak terbukti. ?Jaksa sendiri mengakui dakwaan primer tidak terbukti. Jadi kalau dakwaan primer tidak terbukti, masak dakwaan subsidernya terpenuhi?? tanyanya.
Selain itu, ia juga dituntut membayar denda senilai Rp 50 juta dan uang pengganti Rp 50 juta subsider enam bulan kurungan.
Tuntutan itu dibacakan secara bergantian oleh tim jaksa penuntut umum (JPU) Wahyudi Djoko Triyono SH dan Erry Pudyanto Marwantono SH dalam persidangan yang dipimpin hakim Dwi Sudaryono SH dengan hakim anggota Pragsono SH dan Wiwik Suhartono SH, Kamis (25/1). Sebelumnya, dua terdakwa lainnya yakni Agung Wibowo (pemenang tender) dan Slamet Suryanto (penanggung jawab proyek) dituntut masing-masing tiga tahun dan empat tahun penjara.
Dalam surat tuntutannya, JPU menilai terdakwa Agung Hastho Banendro terbukti turut serta melakukan korupsi uang negara Rp 981.734.217 dalam proyek rehabilitasi gedung Balaikota Solo yang menggunakan dana Anggaran Biaya Tambahan (ABT) tahun 2003 senilai Rp 3,6 miliar. Dalam proyek tersebut, terdakwa menjadi pimpinan proyek yang bertindak mengelola pekerjaan rehabilitasi secara teknis.
Sama persis dengan uraian tuntutan terhadap dua terdakwa sebelumnya, JPU menyatakan Agung Hastho Banendro turut aktif dalam memanipulasi lima item pekerjaan fiktif dari 16 item pekerjaan yang seharusnya dikerjakan. ?Dalam kenyataannya, terdapat lima item pekerjaan yang tidak dikerjakan namun seolah-olah dikerjakan dan dimintakan pembayarannya. Besarnya dana yang dimintakan untuk pembayaran proyek fiktif senilai Rp 981.734.217. Atas fakta itu, maka JPU menyatakan terdakwa secara sah terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 yang disempurnakan dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) jo Pasal 65 ayat (1) KUHP,? ujar jaksa Erry.
Optimistis bebas
Hal-hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara. Padahal sebagai pimpinan proyek, seharusnya terdakwa mengawasi seluruh pekerjaan dari kemungkinan adanya tindak penyimpangan. Sedangkan tiga hal yang meringankan, terdakwa berlaku sopan selama persidangan, selama menjadi PNS banyak berbakti bagi negara serta menjadi tulang punggung keluarga.
Terhadap tuntutan itu, terdakwa dan penasihat hukumnya M Taufiq SH meminta waktu satu bulan untuk menyiapkan pledoi (pembelaan). Namun majelis hakim menetapkan waktu dua pekan untuk agenda penyampaian pledoi.
Seusai sidang, kepada Espos M Taufiq SH mengatakan, dirinya optimistis kliennya bakal bebas. Pasalnya, kata dia, dakwaan primer yakni Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31/1999 yang disempurnakan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak terbukti. ?Jaksa sendiri mengakui dakwaan primer tidak terbukti. Jadi kalau dakwaan primer tidak terbukti, masak dakwaan subsidernya terpenuhi?? tanyanya.