Kasus Surat Palsu MK: Hasan Ungkap Misteri Pertemuan 16 Agustus

Dipi76

New member
Surat Palsu MK
Hasan Ungkap Misteri Pertemuan 16 Agustus
Maria Natalia | Heru Margianto | Jumat, 22 Juli 2011 | 06:18 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan juru panggil Mahkamah Konstitusi, Masyhuri Hasan, akhirnya mengungkap misteri pertemuan 16 Agustus 2009 di apartemen Pejabat Tinggi Kemayoran, Jakarta Pusat.

Menurut Hasan, di tempat itu ia bersama Dewi Yasin Limpo (caleg Partai Hanura yang bersengketa dalam perolehan suara di daerah pemilihan Sulawesi Selatan 1) dan mantan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi membicarakan konsep surat palsu putusan MK. Sebelumnya, baik Dewi maupun Arsyad membantah ketiganya membicarakan perkara tersebut.

"Menurut Hasan, di rumah Arsyad Sanusi, terjadi komunikasi antara Arsyad, Hasan dan Dewi Yasin Limpo seputar rencana pembuatan surat. Hasan secara eksplisit mengatakan bahwa Arsyad mengonsep surat dengan kalimat 'penambahan suara'," ujar anggota Panja Mafia Pemilu, Abdul Malik Haramain, di Gedung DPR RI, Kamis (21/7/2011) malam. Hasan memberikan keterangan tertutup di hadapan Panja.

Kepada Panja, seperti diungkap Malik, Hasan menuturkan, ia memang telanjur mengirimkan surat tertanggal 14 Agustus 2009 ke KPU. Namun, hari Minggu 16 Agustus 2009 ada usaha lain pembuatan konsep surat palsu. Itu dilakukan di rumah Arsyad.

Ia pergi ke rumah Arsyad setelah mendapat telepon dari Neshawaty Zulkarnain, putri Arsyad. Konsep surat dibuat agar dapat membantu proses pemenangan Dewi di KPU.

Sementara, dalam keterangannya di hadapan Panja, Arsyad mengaku tak tahu ketika Hasan datang ke rumahnya dengan tujuan membuat konsep surat. Ia menyatakan Hasan datang karena menemui cucunya, Rara, yang adalah pacar Hasan.

Arsyad juga menyebutkan, Hasan bertanya padanya bagaimana membuat jawaban surat putusan. Di situ, kata Arsyad, dia menegaskan pada Hasan, surat jawaban harus sesuai dengan amar putusan MK. Arsyad membantah keras ia terlibat menyusun konsep surat. Ia juga menyatakan, Dewi tak ada dalam ruangan itu saat ia bersama Hasan.

Sementara, Neshawaty mengaku tidak mengenal baik Hasan. Sehingga, ia berdalih, tak mungkin ia menyimpan nomor Hasan, apalagi meneleponnya.

Lain bapak dan anak itu, lain pula jawaban Dewi Yasin Limpo. Ia menyebut datang ke rumah Arsyad atas undangan istri Arsyad. Ia mengaku diajak untuk menikmati es pisang ijo dan conro (makanan khas Makassar).

Dewi pun mengaku tak terjadi pembicaraan mengenai perkara yang tengah dihadapinnya. Menurut Dewi, ia tak pernah membahas perkaranya dengan Arsyad. Ia hanya menyebut Hasan mengajaknya ke rumah Zainal hari itu.

Ke rumah Panitera MK

Secara terpisah, berdasarkan pengakuan Hasan, anggota panja lainnya Abdul Hakam Naja mengungkapkan, setelah selesai membuat surat baru yang dikonsep Arsyad, malam itu juga sekitar pukul 20.00 Dewi membawa surat tersebut ke rumah Panitera MK, Zainal Arifin, di Bekasi. Hasan mengaku ia turut menemani Dewi saat itu.

"Tanggal 16 itu Hasan menyebut mengambil surat yang dibuat Arsyad. Kemudian Hasan mendampingi Dewi Yasin, Bambang (asisten Dewi), Rara (pacar Hasan) dan Ibu Rara datang ke rumah Zainal. Sampai di sana Dewi meminta Zainal tandatangan surat itu. Tapi Zainal menolaknya," jelas Hakam.

Akhirnya, surat itu tak jadi ditandatangani Zainal. Panitera MK itu memang pernah mengungkapkan juga pada Panja bahwa ia menolak kedatangan Dewi saat itu, karena tak sesuai dengan prosedur. Apalagi Dewi tengah berperkara.

Karena ditolak Zainal, menurut Hakam, surat buatan Arsyad itu kemudian dimusnahkan. "Kemudian surat dibawa ke rumah Hasan. Kemudian dia musnahkan," terang Hakam.



Kompas


-dipi-
 
Surat Palsu MK
Tangis Hasan Pecah di Hadapan Panja
Maria Natalia | Heru Margianto | Jumat, 22 Juli 2011 | 07:35 WIB

2223198620X310.JPG


JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan juru panggil Mahkamah Konstitusi, Masyhuri Hasan meminta perlindungan kepada Panja Mafia Pemilu Komisi III DPR. Saat mengungkapkan isi hatinya pada Panja itu, Kamis (21/7/2011) malam, Hasan menitikkan air matanya.

"Closing statement sebelum rapat berakhir, Hasan menangis. Dia berharap dilindungi. Dia menceritakan kalau dirinya hanya orang dari kampung. Bapaknya seorang guru ngaji. Saat ada berita tentang Hasan, keluarganya sangat terpukul. Dia menangis saat itu," ujar anggota Panja Abdul Malik Haramain usai pertemuan Panja dan Hasan yang berlangsung terutup di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (22/7/2011).

Hasan yang ditemui usai rapat pun kembali mengungkapkan kegalauan hatinya. Ia mengaku telah berbuat kesalahan dan berharap mendapat hukuman yang setimpal. Namun, ia ingin agar penegakan hukum juga berlaku pada orang lain yang terlibat dalam kasus dugaan pemalsuan dan penggelapan surat jawaban putusan MK itu.

"Saya mengakui apa yang saya lakukan itu tindak pidana, sebagai warga negara yang baik, saya mengakui itu dan saya mohon dihukum sesuai dengan perbuatan saya. Harapan saya dengan serendah-rendahnya," ucap Hasan pada wartawan.

Tampak matanya masih memerah, sisa tangisnya saat bersama Panja. "Posisi saya ini sudah tersangka. Saya ini sudah dizalimi, sudah dianggap orang mafia dan lain sebagainya. Apa gunanya bagi saya untuk menutupi semuanya. Saya sudah buka semuanya. Tinggal selanjutnya saya mengharapkan pada penyidik bahwa dalam masalah ini saya tidak sendiri," sambung Hasan.

Namun, ia tak mau menyebut siapa lagi yang seharusnya turut dijadikan tersangka oleh polisi. Menurutnya itu bukan wewenangnya. Ia hanya mengharapkan keadilan dalam kasus tersebut.

Dalam pengakuan Hasan pada Panja ia menyatakan tak ada motif tertentu ia terlibat dalam kasus itu. Ia juga menekankan bahwa ia tak menerima sepeser pun untuk iming-iming membantu Dewi Yasin Limpo, calon anggota DPR dari Partai Hanura yang berperkara dalam perolehan suara di daerah pemilihan Sulawesi Selatan 1.

Hasan bersedia jika kepolisian mengecek kembali rekeningnya untuk membuktikan pernyataannya. Ia juga menampik dijanjikan menjadi calon Hakim oleh mantan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi.

"Dalam perkara ini saya sudah sampaikan semua. Saya tidak punya motif. Enggak ada kompensasi. Saya sudah sampaikan proses perubahan konsep surat dari tanggal 14 Agustus sampai tanggal 17 Agustus 200c kepada panja dan penyidik," ujarnya.

Ketika ditanya mengenai nasib pencalonan dirinya menjadi hakim di Jayapura, Hasan mengaku tak tahu lagi proses terakhir pencalonannya. "Saya kan masih mengikuti proses hukum ini semua. Saya kurang tahu soal itu," tandasnya.

Usai rapat dengan Panja, Hasan kembali dibawa pengacaranya dan penyidik ke rutan Bareskrim Mabes Polri.


Kompas


-dipi-
 
banyak sekali kasus kasus di indonesia

belum selesai 1 kasus uda ada kasus yang lain nya

ini kasus kasus buat pengalihan kasus yang lebih besar dari kasus kasus yang kecil
 
Back
Top