A_S_T
New member
Di suatu tempat dan waktu terdapat seorang kepala suku. Ia sangat dihormati bukan hanya karena keperkasaan fisiknya, namun juga hikmatnya dalam memimpin sukunya. Selama masa kepemimpinannya hukum benar-benar ditegakkan sehingga semua anggota suku merasa aman.
Suatu kali, terjadi pencurian sapi milik seorang anggota suku. Mendapat laporan itu, Kepala Suku mengumpulkan rakyatnya dan berkata bahwa siapapun yang melakukan pencurian itu akan dihukum cambuk 20 kali. Ia berharap agar ancaman tersebut dapat menghentikan pencurian tersebut.
Tetapi, tiga hari kemudian, ada lagi warga yang lain yang mengadukan kehilangan ternak miliknya. Kepala Suku kecewa. Dan ia memberi tahu rakyatnya bahwa ia telah menaikan ancaman hukuman menjadi 50 kali hukuman cambuk. Sekali lagi, Kepala Suku berharap bahwa pencurian tersebut adalah yang terakhir.
Ia salah. Dua hari setelah pemberitahuan kenaikan ancaman tersebut, masih ada warga yang melaporkan kehilangan harta bendanya. Kepala Suku sudah bukan kecewa lagi, tetapi marah besar. Dan, ia menaikan ancaman hukuman menjadi 75 kali cambuk.
Seminggu setelah itu, terjadi keramaian di salah satu sudut wilayah sukunya. Orang berkerumun. Di tengah-tengah kerumunan itu seorang pemuda berusia 20-an tahun sedang tersungkur setelah dipukuli warga suku karena kedapatan sementara berusaha mencuri kambing warga suku. Mereka menginterogasi pemuda itu dan mendapati bahwa ia adalah orang yang sama yang telah melakukan pencurian yang meresahkan suku.
Rakyat kemudian membawanya ke hadapan Kepala Suku. Dengan wajah tertunduk, pemuda itu berjalan ke rumah Kepala Suku hingga ia tiba di hadapan pemimpin suku tersebut. Kepala Suku mendekat untuk berusaha melihat wajah pemuda yang telah berlumuran darah tersebut. Betapa kagetnya ia, ternyata pemuda itu adalah anaknya sendiri.
Kepala Suku menghadapi dilema. Haruskah ia selaku Kepala Suku menjalankan keadilan dengan melaksanakan ancaman hukuman cambuk 75 kali tersebut, ataukah ia sebagai seorang ayah yang mengasihi anaknya membatalkan pelaksanaan ancaman hukuman tersebut. Ia menyadari bahwa kedua perannya tersebut bukan harus dipertentangan, tetapi harus diharmoniskan. Ia adalah seorang yang berhikmat.
Kepala Suku bertitah bahwa hukuman harus dilaksanakan. Hukum harus diberlakukan tanpa pandang bulu. Warganya, walaupun sangat terharu, makin kagum dengan kepemimpinan pemimpin mereka.
Keesokan harinya, sang pemuda dengan punggung telanjang telah diikat di suatu tiang di tengah lapangan terbuka, dengan seorang algojo berbadan besar yang memegang cambuk. Ia hari itu bertugas mencambuk punggung pemuda tersebut 75 kali.
Dari atas tempat duduknya di panggung, Kepala Suku dengan sangat pedih hati, memerintahkan agar hukuman dipersiapkan. Aba-aba terakhir akan diberikan oleh Kepala Suku sendiri. Algojo mengambil tempat di dekat pemuda, dan mempersiapkan cambuknya. Ketika ia mengangkat tanggannya pada posisi tertinggi dan menanti komando dari Kepala Suku, ia bukan mendengar komando untuk mencambuk, tetapi "Tunggu...!", teriak sang Kepala Suku.
Dan, Kepala Suku bergegas turun mendekati anaknya. Setiba di hadapan sang algojo, Kepala Suku membuka baju kebesarannya, dan makin mendekati anaknya. Warganya terkejut ketika Kepala Suku tiba-tiba memeluk anaknya yang terikat di batang pohon dan menempelkan seluruh dadanya di punggung anaknya sehingga seluruh tubuh Kepala Suku yang besar itu menutupi seluruh tubuh sang pemuda.
Kepala Suku kemudian memberikan komando eksekusinya. Setiap kali cambukan menghantam tubuh Kepala Suku, ia berkata kepada anaknya "Ayah mengasihimu, anakku...!". Saat itulah keadilan dan kasih menjadi suatu keharmonisan dalam waktu dan tempat yang sama.
Keharmonisan yang lebih besar lagi, yakni antara Keadilan dan Kasih ALLAH telah terjelma di kayu salib Yesus yang mati bagi kita. Adakah kita kini masih tega menyalibkan Kristus lagi dengan dosa-dosa kita? (Kiriman Fabian Buddy Pascoal)
sumber: http://www.ladangtuhan.com/komunitas/kumpulan-kotbah-renungan/keadilan-dan-kasih/
Masihkah kita menjadi seorang anak yang bebal setelah kita tahu apa yang telah Bapa lakukan buat kita?
Mari kita renungkan sama-sama.
Suatu kali, terjadi pencurian sapi milik seorang anggota suku. Mendapat laporan itu, Kepala Suku mengumpulkan rakyatnya dan berkata bahwa siapapun yang melakukan pencurian itu akan dihukum cambuk 20 kali. Ia berharap agar ancaman tersebut dapat menghentikan pencurian tersebut.
Tetapi, tiga hari kemudian, ada lagi warga yang lain yang mengadukan kehilangan ternak miliknya. Kepala Suku kecewa. Dan ia memberi tahu rakyatnya bahwa ia telah menaikan ancaman hukuman menjadi 50 kali hukuman cambuk. Sekali lagi, Kepala Suku berharap bahwa pencurian tersebut adalah yang terakhir.
Ia salah. Dua hari setelah pemberitahuan kenaikan ancaman tersebut, masih ada warga yang melaporkan kehilangan harta bendanya. Kepala Suku sudah bukan kecewa lagi, tetapi marah besar. Dan, ia menaikan ancaman hukuman menjadi 75 kali cambuk.
Seminggu setelah itu, terjadi keramaian di salah satu sudut wilayah sukunya. Orang berkerumun. Di tengah-tengah kerumunan itu seorang pemuda berusia 20-an tahun sedang tersungkur setelah dipukuli warga suku karena kedapatan sementara berusaha mencuri kambing warga suku. Mereka menginterogasi pemuda itu dan mendapati bahwa ia adalah orang yang sama yang telah melakukan pencurian yang meresahkan suku.
Rakyat kemudian membawanya ke hadapan Kepala Suku. Dengan wajah tertunduk, pemuda itu berjalan ke rumah Kepala Suku hingga ia tiba di hadapan pemimpin suku tersebut. Kepala Suku mendekat untuk berusaha melihat wajah pemuda yang telah berlumuran darah tersebut. Betapa kagetnya ia, ternyata pemuda itu adalah anaknya sendiri.
Kepala Suku menghadapi dilema. Haruskah ia selaku Kepala Suku menjalankan keadilan dengan melaksanakan ancaman hukuman cambuk 75 kali tersebut, ataukah ia sebagai seorang ayah yang mengasihi anaknya membatalkan pelaksanaan ancaman hukuman tersebut. Ia menyadari bahwa kedua perannya tersebut bukan harus dipertentangan, tetapi harus diharmoniskan. Ia adalah seorang yang berhikmat.
Kepala Suku bertitah bahwa hukuman harus dilaksanakan. Hukum harus diberlakukan tanpa pandang bulu. Warganya, walaupun sangat terharu, makin kagum dengan kepemimpinan pemimpin mereka.
Keesokan harinya, sang pemuda dengan punggung telanjang telah diikat di suatu tiang di tengah lapangan terbuka, dengan seorang algojo berbadan besar yang memegang cambuk. Ia hari itu bertugas mencambuk punggung pemuda tersebut 75 kali.
Dari atas tempat duduknya di panggung, Kepala Suku dengan sangat pedih hati, memerintahkan agar hukuman dipersiapkan. Aba-aba terakhir akan diberikan oleh Kepala Suku sendiri. Algojo mengambil tempat di dekat pemuda, dan mempersiapkan cambuknya. Ketika ia mengangkat tanggannya pada posisi tertinggi dan menanti komando dari Kepala Suku, ia bukan mendengar komando untuk mencambuk, tetapi "Tunggu...!", teriak sang Kepala Suku.
Dan, Kepala Suku bergegas turun mendekati anaknya. Setiba di hadapan sang algojo, Kepala Suku membuka baju kebesarannya, dan makin mendekati anaknya. Warganya terkejut ketika Kepala Suku tiba-tiba memeluk anaknya yang terikat di batang pohon dan menempelkan seluruh dadanya di punggung anaknya sehingga seluruh tubuh Kepala Suku yang besar itu menutupi seluruh tubuh sang pemuda.
Kepala Suku kemudian memberikan komando eksekusinya. Setiap kali cambukan menghantam tubuh Kepala Suku, ia berkata kepada anaknya "Ayah mengasihimu, anakku...!". Saat itulah keadilan dan kasih menjadi suatu keharmonisan dalam waktu dan tempat yang sama.
Keharmonisan yang lebih besar lagi, yakni antara Keadilan dan Kasih ALLAH telah terjelma di kayu salib Yesus yang mati bagi kita. Adakah kita kini masih tega menyalibkan Kristus lagi dengan dosa-dosa kita? (Kiriman Fabian Buddy Pascoal)
sumber: http://www.ladangtuhan.com/komunitas/kumpulan-kotbah-renungan/keadilan-dan-kasih/
Masihkah kita menjadi seorang anak yang bebal setelah kita tahu apa yang telah Bapa lakukan buat kita?
Mari kita renungkan sama-sama.
Last edited: