JAKARTA_Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) kembali mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan mengenai harga listrik dari energi terbarukan. Kebijakan baru ini dinilai kontraproduktif dengan pengembangan energi terbarukan. Ketua Umum METI Surya Darma mengatakan, pemerintah harus menetapkan kebijakan yang bersifat jangka panjang dan dapat memberikan kepastian bagi investor atau pengembang energi terbarukan. Apalagi, pengembangan energi terbarukan butuh waktu panjang.
Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) memerlukan waktu enam tahun, sedangkan pengembangan panas bumi memerlukan waktu 7-9 tahun, mulai dari fase eksplorasi hingga mulai beroperasi. "Pemerintah harus menetapkan kebijakan yang bersifat jangka panjang yang dapat memberikan kepastian bagi pengembangan, "ujar Surya di Jakarta, Ahad (16/6). Terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12/2017, "paparnya. Langkah METI ini mendapatkan dukungan dari Kamar Dagang Indonesia (Kadin). Kadin telah menyurati Presiden Joko Widodo untuk meninjau kembali peraturan yang ditandatangani Menteri ESDM Ignasius Jonan pada 27 Januari 2017 tersebut.
Ketua Umum Kadin Rosan P Roeslani menyatakan sangat menyayangkan terbitnya Permen ESDM Nomor 12/2017 yang dinilai justru membuat semangat berinvestasi di sektor energi terbarukan menjadi surat. Kebijakan ini juga membuat iklim investasi di Indonesia semakin tidak kondusif setelah sektor-sektor lainnya juga mengalami kelesuan. "Kadin telah menerima keluhan dari asosiasi-asosiasi usaha di bidang energi terbarukan yang menyatakan bahwa para pelaku usaha terpaksa menghentikan kegiatan usahanya akibat BPP pembangkit listrik yang dipatok terlalu rendah di seluruh wilayah indonesia, " ujar Rosan.
ia mengatakan, Kadin memahami Permen ESDM tersebut dapat menekan subsidi listrik melalui penurunan BPP pembangkit listrik. namun, Kadin meminta Presiden Jokowi melakukan kajian lebih jauh mengenai pemanfaatan energi terbarukan di daerah terpencil yang dapat menghemat APBN Sebab, energi terbarukan dapat mengganti pengguna pembangkit listrik tenaga (PLT) diesel yang di biaya produksinya jauh lebih mahal dan saat ini masih memproduksi sebesar 2.000 megawatt (MW).
Sumber Republika
Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) memerlukan waktu enam tahun, sedangkan pengembangan panas bumi memerlukan waktu 7-9 tahun, mulai dari fase eksplorasi hingga mulai beroperasi. "Pemerintah harus menetapkan kebijakan yang bersifat jangka panjang yang dapat memberikan kepastian bagi pengembangan, "ujar Surya di Jakarta, Ahad (16/6). Terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12/2017, "paparnya. Langkah METI ini mendapatkan dukungan dari Kamar Dagang Indonesia (Kadin). Kadin telah menyurati Presiden Joko Widodo untuk meninjau kembali peraturan yang ditandatangani Menteri ESDM Ignasius Jonan pada 27 Januari 2017 tersebut.
Ketua Umum Kadin Rosan P Roeslani menyatakan sangat menyayangkan terbitnya Permen ESDM Nomor 12/2017 yang dinilai justru membuat semangat berinvestasi di sektor energi terbarukan menjadi surat. Kebijakan ini juga membuat iklim investasi di Indonesia semakin tidak kondusif setelah sektor-sektor lainnya juga mengalami kelesuan. "Kadin telah menerima keluhan dari asosiasi-asosiasi usaha di bidang energi terbarukan yang menyatakan bahwa para pelaku usaha terpaksa menghentikan kegiatan usahanya akibat BPP pembangkit listrik yang dipatok terlalu rendah di seluruh wilayah indonesia, " ujar Rosan.
ia mengatakan, Kadin memahami Permen ESDM tersebut dapat menekan subsidi listrik melalui penurunan BPP pembangkit listrik. namun, Kadin meminta Presiden Jokowi melakukan kajian lebih jauh mengenai pemanfaatan energi terbarukan di daerah terpencil yang dapat menghemat APBN Sebab, energi terbarukan dapat mengganti pengguna pembangkit listrik tenaga (PLT) diesel yang di biaya produksinya jauh lebih mahal dan saat ini masih memproduksi sebesar 2.000 megawatt (MW).
Sumber Republika