Kebutuhan Biofuel Eropa Ancam Hutan Indonesia

gupy15

Mod
Jumat, 19 Januari 2007

Kebutuhan Biofuel Eropa Ancam Hutan Indonesia



JAKARTA -- Rencana penggunaan bahan bakar nabati atau biofuel dari kelapa sawit di negera-negara Eropa mengancam keberlangsungan hutan Indonesia. Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya, Eropa berencana mengimpor biofuel dari Indonesia dan Malaysia. Untuk memenuhi pasar itu, pemerintah berencana membuka enam juta hektare lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit.

''Rencana ini berpotensi besar 'membunuh' hutan Indonesia yang memang saat ini sudah dalam tahap darurat lingkungan,'' ungkap aktivis lingkungan Greenpeace Asia Tenggara, Hapsoro, kepada wartawan di Jakarta, Kamis kemarin (18/1).

Menurut Hapsoro, rencana Eropa yang sudah mencanangkan pengurangan emisi gas karbon tidak diikuti kebijakan untuk mempertahankan lingkungan. Akibatnya, mereka tidak peduli jika untuk menyediakan kebutuhan mereka, negara produsen terancam mengalami kerusakan lingkungan.

Hapsoro menyatakan, pemerintah Eropa lebih memilih mengimpor bahan bakar asla kelapa sawit dari Indonesia dan Malaysia yang dikenal sebagai penghasil utama daripada memproduksi dalam negeri. ''Ini menjadi pilihan karena mengimpor jauh lebih mudah dan murah,'' ungkapnya.

Pada tahun 2005 lalu, kata Hapsoro, pemerintah Eropa menargetkan dua persen bahan bakar minyak sudah diganti biofuel. Angka ini terus meningkat menjadi 5,75 persen pada 2010 dan 10 persen pada 2020. Untuk itu, mereka menargetkan mengimpor bahan bakar nabati dari negara-negara yang siap menjualnya dengan bahan bakar murah. Salah satunya Indonesia dan Malaysia untuk kelapa sawit dan tebu dari Brazil.

Langkah ini sempat mendapat hambatan dari komite riset, industri, dan energi Uni Eropa. Pasalnya mereka yakin hal ini akan semakin meningkatkan laju deforestasi di kawasan Asia Tenggara. Sayangnya, kata Hapsoro, langkah ini hanya sebatas peringatan. Karena awal Januari lalu, pemerintah Uni Eropa justru menyatakan penegasannya terhadap rencana mereka menjadikan Indonesia dan Malaysia sebagai penyedia utama kebutuhan biofuel mereka.

Bahkan, pada 9 Januari lalu, lanjutnya, Eropa telah menandatangani 58 nota kesepakatan dengan pemerintah Indonesia terkait pengembangan biofuel di Indonesia. Kerja sama yang melibatkan investor dalam dan luar negeri ini bernilai 12,8 miliar dolar yang ke depannya. Semua bahan bakar nabati yang dihasilkan akan diekspor ke negara-negara Eropa. ''Dan bukannya untuk mengatasi krisis energi dalam negeri seperti yang selama ini didengungkan pemerintah,'' lanjutnya.

Dengan rencana pemerintah untuk membuka lahan baru bagi pengembangan kelapa sawit, Hapsoro menyatakan Greenpeace mengkhawatirkan nasib hutan Indonesia. Pasalnya, hingga tahun 2005, luas total perkebunan kelapa sawit mencapai angka 5,6 juta hektar dengan pertambahan 200 ribu hektar per tahun. ''Ini pun bukan angka real karena pada kenyataannya, seringkali lebih besar dari ini,'' ungkapnya.

Parahnya, lanjut Hapsoro, pembukaan lahan baru unutk pengembangan kelapa sawit ini seringkali dilakukan dengan mengkonversi areal hutan alam. Padahal, hingga saat ini, areal hutan alam Indonesia yang masih asli hanya tersisa sekitar 39 juta hektar. Hapsoro menambahkan, berdasarkan data FAO di tahun 2005, saat ini Indonesia kehilangan 72 persen hutan aslinya. Bahkan 40 persennya sudah hilang sama sekali. Ini diperparah dengan laju deforestasi yang terus meningkat yang mencapai angka 2,8 juta per tahun.
(uli )
 
Back
Top