nurcahyo
New member
M. Husein Sawit
KEGAGALAN PERUNDINGAN PERTANIAN WTO DI CANCUN:
PELUANG ATAU ANCAMAN BUAT EKONOMI RAKYAT?
Pada tanggal 10-14 September 2003 di Cancun Mexico telah diadakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) V WTO. Salah satu isu terpenting yang dibahas adalah aspek pertanian, sektor penting Indonesia dan sejumlah besar negara berkembang (NB) lain di dunia. Pertemuan itu ternyata gagal, karena negara berkembang bersatu dan tidak berhasil dipecah belahkan oleh negara maju (NM). Ini jauh berbeda dengan KTM ke IV di Doha, dimana NM dapat memaksakan kehendak, dengan menciptakan berbagai tipu muslihat.
Negara berkembang (NB) semakin memahami, mereka telah disiasati dan dikibulin dalam perjanjian pertanian WTO. Padahal, NB sektor pertanian umumnya, khususnya sub-sektor pangan menjadi tumpuan harapan. Harapannya adalah agar perdagangan global dapat menjadi instrumen pemicu untuk memperkuat ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan pembangunan perdesaan serta percepatan pembangunan ekonomi umumnya. Namun yang terjadi sebaliknya, telah dijadikan alat oleh negara maju (NM) untuk kepentingan politiknya, kepentingan korporasi, kepentingan petani luas nan kaya.
NM masih menempatkan sektor pertanian dalam kerangka kepentingan politik daripada kepentingan ekonomi-dengan sejumlah dalih. Tetapi apapun alasan ekonominya, sektor pertanian NM tidaklah sepenting di NB. Malahan NM tetap berkeinginan melanjutkan subsidi tanpa batas dan proteksi kepada petaninya yang telah makmur dan enggan untuk membuka pasar. NB diminta melakukan sebaliknya. Hal ini telah memunculkan ketidakseimbangan baru, dan amat memukul pembagunan pertanian dan perdesaan NB.
Itu semua terjadi karena Indonesia membuka pasar secara radikal, juga mengurangi bantuan/subsidi untuk petaninya. Hal yang sama juga dialami oleh sebagian besar NB lainnya. Bukti-bukti empiris yang terjadi di sektor pertanian setelah PP (Perjanjian Pertanian) WTO umumnya dan structural adjustment khususnya cukup memilukan.
Pertumbuhan sektor pertanian kita turun 2,3%/tahun, sub-sektor pangan merosot 0,5%/tahun. Padahal sub-sektor ini memegang peran sekitar 60% GDP pertanian atau sekitar 8% GDP sub-sektor tanaman pangan. Sejak 1994, Indonesia beralih dari negara net food exporter berubah menjadi net food importer. Pada periode 1998-2000, Indonesia mengimpor pangan (net importer) sekitar US$ 863 juta/tahun, padahal periode 1989-91, Indonesia mengekspor pangan (net exporter) sekitar US$ 418 juta/tahun.
Produksi pangan kini semakin terkosentrasi di sejumlah kecil NM seperti AS, Australia, Kanada, Selandia Baru dan UE. Kalau terjadi bencana alam, perang dll di wilayah itu, dengan mudah menyebarkan akibatnya ke negara lain, sehingga ketahanan pangan dunia menjadi kian rapuh. Diantara produk pertanian yang diperdagangkan di pasar dunia, sekitar 80% diantaranya adalah komodias pangan. Memang amat strategis buat NM menguasai pangan, tidak saja diliahat dari kepentingan ekonomi, tetapi juga kepentingan politik. Di sub-sektor pangan itulah, banyak penduduk miskin NB menggantungkan hidupnya. Kehancuran sub-sektor pangan sama artinya kehancuran ekonomi rakyat, tidak saja di Indonesia tetapi juga di NB lainnya yang agraris.
Hampir semua produktivitas komoditas pangan menurun, paling tidak stagnan, seperti yang terjadi pada beras, jangung, kedelai, gula, seiring dengan penurunan harga komoditas pangan di pasar luar internasional. Tingkat Ketergantungan Impor (TKI) untuk semua komoditas pangan penting meledak hampir dua kali setelah 1998. Impor gandum di urutan ke 6 terbesar dari 10 komoditas impor terbesar Indonesia, lainnya berupa barang modal, bahan baku kimia dan sebagainya.
Yang dibahas di Cancun bulan lalu adalah tanpa modalitas baru karena belum disepakati pada perundingan pertanian di Genewa. Namun ketua General Council bersama dengan Director General WTO menerbitkan draft Cancun Ministerial Text (JOB(03)150/Rev.1 tgl 24Agustus 03), di dalamnya tercakup negosiasi pertanian, yang framework nya tertuang dalam Annex A. Teks itulah yang amat ditentang oleh NB, bersatu tidak bersedia meneriman, maka gagalah pertemuan itu.
Seperti diketahui, framework pertanian itu adalah hasil kompromi antara NM adi kuasa, sedikit peran NB. Isi framework itu adalah kombinasi antara proposal AS (Amerika Serikat) dan UE (Uni Eropah) sebagai negara adikuasa di WTO dengan sedikit mengakomodasikan proposal 20 NB. Itulah kemudian dinamakan Blended Formula (BF), menggabungkan formula (F) Swiss atau FS, F.Uruguai (FU), dan F.Harbinson (FH). Sekian persen TL (tariff line) dipangkas pakai FS, sekian persen dengan menggunakan FU, dan sisanya total liberalisasi (0% tarif). Namun besaran persentasenya belum ditentukan, juga koefisien FU dan FS. Khusus penurunan tarif dengan modalitas BF ini memang tidak banyak kaitannya secara langsung dengan Indonesia dan NB lainnya, karena pada umumnya tingkat tarif yang diikat (bound tariff) rendah, sehingga tidak berpengaruh secara signifikan dalam membuka pasar. Untuk Indonesia, 83% jenis produk perdagangan, tingkat applied tariff kurang dari 10%, merupakan salah satu NB yang paling rendah tingkat tarif, khususnya apabila dibandingkan dengan India atau Cina.
Kepada NB diberikan S&D (special and differential treatment) dengan penurunan tarif yang lebih rendah dan waktu pelaksanaannya lebih lama. Melihat pengalaman selama ini, ini tidaklah banyak artinya dalam menciptakan keseimbangan dalam arena permainan (level of plying field), karena NB ratusan kali jauh tertinggal dalam bidang teknologi, infrastruktur dasar, kualitas SDM dll. Apa artinya diperpanjang sampai 3 kali lebih lama, atau penurunan 2 tarif kali lebih rendah, ke semua itu tidaklah mampu mengejar keseimbangan pembangunan tanpa komitmen tinggi yang terikat dari NM untuk membantu dan mendorong pembangunan NB, bukan merampoknya dengan perdagangan yang tidak fair.
Ada dua pilar lain yang penting dalam BF yaitu bantuan domestik dan subsidi ekspor, tetap masih diberikan peluang, tidak dihilangkan, sehingga amat menguntungkan NM. NB menuntut agar Artikel 6.5 tentang direct payment supaya dihilangkan, tetapi dirubah sedikit saja. Seharusnya direct payment dalam para 5 sampai 13 dari Annex 2 AoA dihilangkan atau dibatasi paling tinggi (caps), bukan tanpa batas seperti rancangan BF. NB menunut dihilangkan atau dibatasi (caps) antara lain adalah decoupled income support, income insurance and income safety net programmes, payments for relief from natural disaster, berbagai bentuk structural adjustment asissistance, payments under environmental programs dan under regional assistance programs.
Padahal selama ini diyakini benar bahwa karena supor/subsidi tanpa batas itulah maka NB semakin sulit dalam mengatasi kemiskinan, melawan kerawanan pangan, dan menghambat laju pembangunan perdesaan. Ini sesungguhnya telah melanggar sebagian penting dari Deklarasi Doha. Di sana disepakati bahwa perlunya reformasi modalitas untuk mengurangi secara drastis/menghilangkan komitmen yang terkait dengan supor domestik dan berbagai bentuk ekspor subsidi. Memang ada pengurangan, tetapi GB (green box) tetap dipertahankan. Blue box telah dihapus, tetapi isinya dipindahkan ke GB yang baru. Demikian juga subsidi ekspor seperti kredit ekspor, program jaminan dan asuransi, food aid, dan ekspor STE (state trading enterprise) tetap termuat dalam draf Cancun. Ini juga tetap membuka peluang NM untuk memanfaatkannya.
Seperti halnya pada akses pasar seperti yang disebutkan sebelumnya, S&D yang diberikan buat NB seperti pengurangnnya lebih kecil serta lebih lama periode berlakunya untuk subsidi ekspor atau supor domestik, itu tidaklah banyak artinya. Karena pada umumnya, NB hampir tidak menggunakan instrumen GB untuk membantu petaninya, atau memberikan subsidi ekspor, malah mengenakan pajak ekspor guna membatasi ekspor. NB menuntut fleksibelitas tinggi, sehingga mereka mampu mengentaskan kemiskinan, mengatasi kerawanan pangan, dan mendorong percepatan pembangunan perdesaan. NM seharusnya terikat dan punya kewajiban untuk bantu NB, bukan melalapnya. NB semakin frustrasi, semua keinginan mereka seperti development box, food security box dan strategic product ditolak oleh NM atau dipecahbelahkan kekuatannya oleh mereka.
Kegagalan KTM V Cancun tidak berarti NB telah mampu mengoreksi ketidakseimbangan dan unfair trade. Perjuangan masih panjang dalam negosiasi lanjutan yang akan dimulai Desember mendatang. NB harus bersatu untuk memperjuangkan agar dihilangkan berbagai domestic support dan subsidi ekspor yang dilakukan oleh NM. Strategic product (SP) diharapkan dapat dipakai sebagai instrumen buat NB, khususnya Indonesia untuk lebih fleksibel dalam mengatasi kemiskinan, memperkuat ketahanan pangan serta mendorong pembangunan perdesaan. Hal itu harus benar-benar dapat diimplementasikan dengan jelas, dirancang dengan baik, serta jelas komitmen pemerintah untuk membangun ekonomi perdesaan dalam arti luas. Pengertian SP jangan pula dipersempit hanya pada 4 komoditas seperti beras, jagung, kedelai dan gula, harus ditemukan sejumlah produk strategis, yang kalau komoditas itu disupport dan dilindungi, maka tujuan di atas akan lebih mudah dicapai. Kalau itu tercapai maka akan mendorong dan menumbuhkembangkan ekonomi rakyat seperti idaman kita semua. Jadi tugas kita selanjutnya adalah mengidentifikasi komoditas-komoditas itu.
Oleh: Dr. M. Hussein Sawit -- Senior Advisor on Agricultural Policy at the UNSFIR (United Nations Support Facility for Indonesian Recovery), Jakarta.
KEGAGALAN PERUNDINGAN PERTANIAN WTO DI CANCUN:
PELUANG ATAU ANCAMAN BUAT EKONOMI RAKYAT?
Pada tanggal 10-14 September 2003 di Cancun Mexico telah diadakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) V WTO. Salah satu isu terpenting yang dibahas adalah aspek pertanian, sektor penting Indonesia dan sejumlah besar negara berkembang (NB) lain di dunia. Pertemuan itu ternyata gagal, karena negara berkembang bersatu dan tidak berhasil dipecah belahkan oleh negara maju (NM). Ini jauh berbeda dengan KTM ke IV di Doha, dimana NM dapat memaksakan kehendak, dengan menciptakan berbagai tipu muslihat.
Negara berkembang (NB) semakin memahami, mereka telah disiasati dan dikibulin dalam perjanjian pertanian WTO. Padahal, NB sektor pertanian umumnya, khususnya sub-sektor pangan menjadi tumpuan harapan. Harapannya adalah agar perdagangan global dapat menjadi instrumen pemicu untuk memperkuat ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan pembangunan perdesaan serta percepatan pembangunan ekonomi umumnya. Namun yang terjadi sebaliknya, telah dijadikan alat oleh negara maju (NM) untuk kepentingan politiknya, kepentingan korporasi, kepentingan petani luas nan kaya.
NM masih menempatkan sektor pertanian dalam kerangka kepentingan politik daripada kepentingan ekonomi-dengan sejumlah dalih. Tetapi apapun alasan ekonominya, sektor pertanian NM tidaklah sepenting di NB. Malahan NM tetap berkeinginan melanjutkan subsidi tanpa batas dan proteksi kepada petaninya yang telah makmur dan enggan untuk membuka pasar. NB diminta melakukan sebaliknya. Hal ini telah memunculkan ketidakseimbangan baru, dan amat memukul pembagunan pertanian dan perdesaan NB.
Itu semua terjadi karena Indonesia membuka pasar secara radikal, juga mengurangi bantuan/subsidi untuk petaninya. Hal yang sama juga dialami oleh sebagian besar NB lainnya. Bukti-bukti empiris yang terjadi di sektor pertanian setelah PP (Perjanjian Pertanian) WTO umumnya dan structural adjustment khususnya cukup memilukan.
Pertumbuhan sektor pertanian kita turun 2,3%/tahun, sub-sektor pangan merosot 0,5%/tahun. Padahal sub-sektor ini memegang peran sekitar 60% GDP pertanian atau sekitar 8% GDP sub-sektor tanaman pangan. Sejak 1994, Indonesia beralih dari negara net food exporter berubah menjadi net food importer. Pada periode 1998-2000, Indonesia mengimpor pangan (net importer) sekitar US$ 863 juta/tahun, padahal periode 1989-91, Indonesia mengekspor pangan (net exporter) sekitar US$ 418 juta/tahun.
Produksi pangan kini semakin terkosentrasi di sejumlah kecil NM seperti AS, Australia, Kanada, Selandia Baru dan UE. Kalau terjadi bencana alam, perang dll di wilayah itu, dengan mudah menyebarkan akibatnya ke negara lain, sehingga ketahanan pangan dunia menjadi kian rapuh. Diantara produk pertanian yang diperdagangkan di pasar dunia, sekitar 80% diantaranya adalah komodias pangan. Memang amat strategis buat NM menguasai pangan, tidak saja diliahat dari kepentingan ekonomi, tetapi juga kepentingan politik. Di sub-sektor pangan itulah, banyak penduduk miskin NB menggantungkan hidupnya. Kehancuran sub-sektor pangan sama artinya kehancuran ekonomi rakyat, tidak saja di Indonesia tetapi juga di NB lainnya yang agraris.
Hampir semua produktivitas komoditas pangan menurun, paling tidak stagnan, seperti yang terjadi pada beras, jangung, kedelai, gula, seiring dengan penurunan harga komoditas pangan di pasar luar internasional. Tingkat Ketergantungan Impor (TKI) untuk semua komoditas pangan penting meledak hampir dua kali setelah 1998. Impor gandum di urutan ke 6 terbesar dari 10 komoditas impor terbesar Indonesia, lainnya berupa barang modal, bahan baku kimia dan sebagainya.
Yang dibahas di Cancun bulan lalu adalah tanpa modalitas baru karena belum disepakati pada perundingan pertanian di Genewa. Namun ketua General Council bersama dengan Director General WTO menerbitkan draft Cancun Ministerial Text (JOB(03)150/Rev.1 tgl 24Agustus 03), di dalamnya tercakup negosiasi pertanian, yang framework nya tertuang dalam Annex A. Teks itulah yang amat ditentang oleh NB, bersatu tidak bersedia meneriman, maka gagalah pertemuan itu.
Seperti diketahui, framework pertanian itu adalah hasil kompromi antara NM adi kuasa, sedikit peran NB. Isi framework itu adalah kombinasi antara proposal AS (Amerika Serikat) dan UE (Uni Eropah) sebagai negara adikuasa di WTO dengan sedikit mengakomodasikan proposal 20 NB. Itulah kemudian dinamakan Blended Formula (BF), menggabungkan formula (F) Swiss atau FS, F.Uruguai (FU), dan F.Harbinson (FH). Sekian persen TL (tariff line) dipangkas pakai FS, sekian persen dengan menggunakan FU, dan sisanya total liberalisasi (0% tarif). Namun besaran persentasenya belum ditentukan, juga koefisien FU dan FS. Khusus penurunan tarif dengan modalitas BF ini memang tidak banyak kaitannya secara langsung dengan Indonesia dan NB lainnya, karena pada umumnya tingkat tarif yang diikat (bound tariff) rendah, sehingga tidak berpengaruh secara signifikan dalam membuka pasar. Untuk Indonesia, 83% jenis produk perdagangan, tingkat applied tariff kurang dari 10%, merupakan salah satu NB yang paling rendah tingkat tarif, khususnya apabila dibandingkan dengan India atau Cina.
Kepada NB diberikan S&D (special and differential treatment) dengan penurunan tarif yang lebih rendah dan waktu pelaksanaannya lebih lama. Melihat pengalaman selama ini, ini tidaklah banyak artinya dalam menciptakan keseimbangan dalam arena permainan (level of plying field), karena NB ratusan kali jauh tertinggal dalam bidang teknologi, infrastruktur dasar, kualitas SDM dll. Apa artinya diperpanjang sampai 3 kali lebih lama, atau penurunan 2 tarif kali lebih rendah, ke semua itu tidaklah mampu mengejar keseimbangan pembangunan tanpa komitmen tinggi yang terikat dari NM untuk membantu dan mendorong pembangunan NB, bukan merampoknya dengan perdagangan yang tidak fair.
Ada dua pilar lain yang penting dalam BF yaitu bantuan domestik dan subsidi ekspor, tetap masih diberikan peluang, tidak dihilangkan, sehingga amat menguntungkan NM. NB menuntut agar Artikel 6.5 tentang direct payment supaya dihilangkan, tetapi dirubah sedikit saja. Seharusnya direct payment dalam para 5 sampai 13 dari Annex 2 AoA dihilangkan atau dibatasi paling tinggi (caps), bukan tanpa batas seperti rancangan BF. NB menunut dihilangkan atau dibatasi (caps) antara lain adalah decoupled income support, income insurance and income safety net programmes, payments for relief from natural disaster, berbagai bentuk structural adjustment asissistance, payments under environmental programs dan under regional assistance programs.
Padahal selama ini diyakini benar bahwa karena supor/subsidi tanpa batas itulah maka NB semakin sulit dalam mengatasi kemiskinan, melawan kerawanan pangan, dan menghambat laju pembangunan perdesaan. Ini sesungguhnya telah melanggar sebagian penting dari Deklarasi Doha. Di sana disepakati bahwa perlunya reformasi modalitas untuk mengurangi secara drastis/menghilangkan komitmen yang terkait dengan supor domestik dan berbagai bentuk ekspor subsidi. Memang ada pengurangan, tetapi GB (green box) tetap dipertahankan. Blue box telah dihapus, tetapi isinya dipindahkan ke GB yang baru. Demikian juga subsidi ekspor seperti kredit ekspor, program jaminan dan asuransi, food aid, dan ekspor STE (state trading enterprise) tetap termuat dalam draf Cancun. Ini juga tetap membuka peluang NM untuk memanfaatkannya.
Seperti halnya pada akses pasar seperti yang disebutkan sebelumnya, S&D yang diberikan buat NB seperti pengurangnnya lebih kecil serta lebih lama periode berlakunya untuk subsidi ekspor atau supor domestik, itu tidaklah banyak artinya. Karena pada umumnya, NB hampir tidak menggunakan instrumen GB untuk membantu petaninya, atau memberikan subsidi ekspor, malah mengenakan pajak ekspor guna membatasi ekspor. NB menuntut fleksibelitas tinggi, sehingga mereka mampu mengentaskan kemiskinan, mengatasi kerawanan pangan, dan mendorong percepatan pembangunan perdesaan. NM seharusnya terikat dan punya kewajiban untuk bantu NB, bukan melalapnya. NB semakin frustrasi, semua keinginan mereka seperti development box, food security box dan strategic product ditolak oleh NM atau dipecahbelahkan kekuatannya oleh mereka.
Kegagalan KTM V Cancun tidak berarti NB telah mampu mengoreksi ketidakseimbangan dan unfair trade. Perjuangan masih panjang dalam negosiasi lanjutan yang akan dimulai Desember mendatang. NB harus bersatu untuk memperjuangkan agar dihilangkan berbagai domestic support dan subsidi ekspor yang dilakukan oleh NM. Strategic product (SP) diharapkan dapat dipakai sebagai instrumen buat NB, khususnya Indonesia untuk lebih fleksibel dalam mengatasi kemiskinan, memperkuat ketahanan pangan serta mendorong pembangunan perdesaan. Hal itu harus benar-benar dapat diimplementasikan dengan jelas, dirancang dengan baik, serta jelas komitmen pemerintah untuk membangun ekonomi perdesaan dalam arti luas. Pengertian SP jangan pula dipersempit hanya pada 4 komoditas seperti beras, jagung, kedelai dan gula, harus ditemukan sejumlah produk strategis, yang kalau komoditas itu disupport dan dilindungi, maka tujuan di atas akan lebih mudah dicapai. Kalau itu tercapai maka akan mendorong dan menumbuhkembangkan ekonomi rakyat seperti idaman kita semua. Jadi tugas kita selanjutnya adalah mengidentifikasi komoditas-komoditas itu.
Oleh: Dr. M. Hussein Sawit -- Senior Advisor on Agricultural Policy at the UNSFIR (United Nations Support Facility for Indonesian Recovery), Jakarta.