jamil
New member
Kisah ini tidak bermaksud untuk menyudutkan seseorang. Ini hanya merupakan potret kehidupan yang bisa dijadikan bahan renungan. Bahwa seorang perempuan, entah seorang ibu atau istri, rela melakukan apa saja demi orang yang dikasihinya. Meskipun terkadang jalan yang dipilihnya tidak selalu "benar".
Malam belum lagi larut. Jarum jam baru menunjuk angka 10. Tina (28 tahun, bukan nama sebenarnya) kembali memulas pemerah bibir berharga murah di wajahnya. Tidak seperti biasanya, malam itu belum ada pelanggan yang menawar jasa Tina. Bersama sepuluh rekannya yang lain, Tina berusaha menawarkan diri pada pengendara sepeda motor yang melewati jalanan rusak di depannya.
Tina adalah seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) yang biasa menjajakan diri di kawasan Tegal Rotan, Pondok Aren, Kabupaten Tangerang. Hampir setiap malam dia menunggu pelanggan di dekat pintu tol Pondok Aren ruas Bintaro - Serpong. Tina tampak gelisah, sesekali diselipkannya sebatang rokok kretek di bibirnya dan dihirupnya asap rokok itu dalam-dalam.
“Sekarang sedang sepi, mas. Padahal saya sedang butuh uang untuk bayar kontrakan,” ujar ibu satu orang anak ini.
Sebagai pekerja seks yang mangkal di pinggir jalan, Tina memang tidak dibayar tinggi. Dia mengaku biasa dibayar Rp 50 ribu untuk layanan handjob atau blowjob dan Rp 150 ribu untuk layanan hubungan seks singkat. “Kadang ada juga yang ngasih dua ratus ribu,” ujarnya. Seperti kebanyakan PSK, Tina mengaku terpaksa terjun ke dunia hitam. “Siapa sih yang ingin jadi pelacur,” ujarnya dengan tatapan mata kosong.
Kisah kelam Tina dimulai sejak suaminya, Prakoso (bukan nama sebenarnya), ditangkap saat mencuri sepeda motor di kawasan Ciputat. Setelah babak belur dipukuli massa, Prakoso harus mendekam di tahanan polisi. Saat itu, Tina mulai kehabisan uang karena sang suami harus memberi “upeti” kepada petugas agar tidak menjadi bulan-bulanan sesama tahanan di selnya.
Saat Prakoso divonis dua tahun penjara, Tina yang tak bisa membayar kontrakan rumah, pindah ke rumah orangtua Prakoso. Namun karena orangtua Prakoso juga tidak bekerja, Tina dan anaknya yang masih balita justru menjadi beban tambahan bagi mertuanya.
Suatu hari, Dewi, anak Tina yang baru berusia empat tahun terserang demam tinggi. Tina pun mencoba mencari pinjaman ke orang-orang yang dikenalnya. Tidak banyak orang yang dikenal Tina. Seluruh keluarganya tinggal di desa di wilayah utara Jawa barat. Satu-satunya orang yang dikenalnya saat itu hanya Ani, teman masa kecilnya di desa dulu.
Namun Ani tak bisa membantu meminjamkan uang. Dia menawarkan kepada Tina untuk menjadi PSK di Tegal parang. “Ani waktu itu sudah dua tahun (menjadi PSK) di Tegal Parang,” jelas Tina.
Khawatir dengan kondisi anaknya, Tina pun menyanggupi.
“Waktu itu saya dapat uang seratus ribu dan langsung saya gunakan untuk mengobati Dewi,” katanya menerawang.
Akhirnya kehidupan malam di Tegal Parang menjadi satu-satunya sumber pemasukan bagi Tina. Kepada mertuanya, dia mengaku bekerja menjaga toko di salah satu ruko di Perumahan Bintaro Jaya. Dia pun pindah dari rumah mertuanya dan mengontrak rumah di samping rumah kontrakan Ani.
Tina belum mau berpikir bagaimana hidupnya nanti selepas Prakoso dari penjara. “Saya nggak tahu gimana nanti njelasin sama suami saya,” ujarnya sedih.
Baginya sekarang yang penting berusaha untuk tetap bertahan hidup bersama anaknya semata wayang. Dia juga pasrah saat beberapa kali terkena razia petugas atau saat diusir oleh masyarakat setempat bulan Ramadan lalu.Tina menghembuskan asap rokok terakhirnya dan membuang puntungnya ke jalan tol. Dia pun kembali menggoda pengendara motor yang lewat di hadapannya. Malam belum lagi larut dan masih panjang bagi Tina, seperti malam-malam sebelum dan sesudahnya.
Malam belum lagi larut. Jarum jam baru menunjuk angka 10. Tina (28 tahun, bukan nama sebenarnya) kembali memulas pemerah bibir berharga murah di wajahnya. Tidak seperti biasanya, malam itu belum ada pelanggan yang menawar jasa Tina. Bersama sepuluh rekannya yang lain, Tina berusaha menawarkan diri pada pengendara sepeda motor yang melewati jalanan rusak di depannya.
Tina adalah seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) yang biasa menjajakan diri di kawasan Tegal Rotan, Pondok Aren, Kabupaten Tangerang. Hampir setiap malam dia menunggu pelanggan di dekat pintu tol Pondok Aren ruas Bintaro - Serpong. Tina tampak gelisah, sesekali diselipkannya sebatang rokok kretek di bibirnya dan dihirupnya asap rokok itu dalam-dalam.
“Sekarang sedang sepi, mas. Padahal saya sedang butuh uang untuk bayar kontrakan,” ujar ibu satu orang anak ini.
Sebagai pekerja seks yang mangkal di pinggir jalan, Tina memang tidak dibayar tinggi. Dia mengaku biasa dibayar Rp 50 ribu untuk layanan handjob atau blowjob dan Rp 150 ribu untuk layanan hubungan seks singkat. “Kadang ada juga yang ngasih dua ratus ribu,” ujarnya. Seperti kebanyakan PSK, Tina mengaku terpaksa terjun ke dunia hitam. “Siapa sih yang ingin jadi pelacur,” ujarnya dengan tatapan mata kosong.
Kisah kelam Tina dimulai sejak suaminya, Prakoso (bukan nama sebenarnya), ditangkap saat mencuri sepeda motor di kawasan Ciputat. Setelah babak belur dipukuli massa, Prakoso harus mendekam di tahanan polisi. Saat itu, Tina mulai kehabisan uang karena sang suami harus memberi “upeti” kepada petugas agar tidak menjadi bulan-bulanan sesama tahanan di selnya.
Saat Prakoso divonis dua tahun penjara, Tina yang tak bisa membayar kontrakan rumah, pindah ke rumah orangtua Prakoso. Namun karena orangtua Prakoso juga tidak bekerja, Tina dan anaknya yang masih balita justru menjadi beban tambahan bagi mertuanya.
Suatu hari, Dewi, anak Tina yang baru berusia empat tahun terserang demam tinggi. Tina pun mencoba mencari pinjaman ke orang-orang yang dikenalnya. Tidak banyak orang yang dikenal Tina. Seluruh keluarganya tinggal di desa di wilayah utara Jawa barat. Satu-satunya orang yang dikenalnya saat itu hanya Ani, teman masa kecilnya di desa dulu.
Namun Ani tak bisa membantu meminjamkan uang. Dia menawarkan kepada Tina untuk menjadi PSK di Tegal parang. “Ani waktu itu sudah dua tahun (menjadi PSK) di Tegal Parang,” jelas Tina.
Khawatir dengan kondisi anaknya, Tina pun menyanggupi.
“Waktu itu saya dapat uang seratus ribu dan langsung saya gunakan untuk mengobati Dewi,” katanya menerawang.
Akhirnya kehidupan malam di Tegal Parang menjadi satu-satunya sumber pemasukan bagi Tina. Kepada mertuanya, dia mengaku bekerja menjaga toko di salah satu ruko di Perumahan Bintaro Jaya. Dia pun pindah dari rumah mertuanya dan mengontrak rumah di samping rumah kontrakan Ani.
Tina belum mau berpikir bagaimana hidupnya nanti selepas Prakoso dari penjara. “Saya nggak tahu gimana nanti njelasin sama suami saya,” ujarnya sedih.
Baginya sekarang yang penting berusaha untuk tetap bertahan hidup bersama anaknya semata wayang. Dia juga pasrah saat beberapa kali terkena razia petugas atau saat diusir oleh masyarakat setempat bulan Ramadan lalu.Tina menghembuskan asap rokok terakhirnya dan membuang puntungnya ke jalan tol. Dia pun kembali menggoda pengendara motor yang lewat di hadapannya. Malam belum lagi larut dan masih panjang bagi Tina, seperti malam-malam sebelum dan sesudahnya.