imnanay
New member
SOLO — Kementerian Pertanian yakin target surplus beras 10 juta ton pada 2015 akan tercapai. Hal ini karena indeks pertanaman Indonesia yang 1,6 masih dapat ditingkatkan, bahkan petani bisa menanam di sawah hingga tiga kali panen.
“Instruksi Presiden (surplus 10 juta ton tahun 2015) bukanlah angan-angan,” ucap Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Hari Priyono, di acara Pertemuan Bakohumas Kementerian Pertanian, Perkembangan Hortikultura, dan Swasembada Gula Nasional di Solo, Kamis (5/5).
Keyakinan itu juga ditambah Indonesia mampu memproduksi banyak beras, khususnya untuk swasembada pangan. ‘Thailand sendiri sebagai negara pengekspor beras per hektare
menghasilkan 3-4 ton, sedangkan Indonesia mencatat angka 7-8 ton per hektare,” ucapnya kepada RepubUka.
Hanya saja,’kata Han, keberhasilan pencapaian produksi pangan mi amat di tentukan oleh faktor penentu yang ada di luar pertanian. Faktor penentu itu antara lain infrastruktur, pupuk, ketersediaan air, hingga permodalan. “ini yang kadang jadi masalah,” ucapnya.
Menurutnya, jika melihat indeks pertanaman, petani mampu memproduksi tinggi, akan tetapi hasil panen harus dikirim ke pasar, dan itu membutuhkan mata rantai yang amat panjang. Mulai dari alat angkut hingga tata niaga, yang menyebabkan keterlambatan yang kemudian menurutnya berpengaruh terhadap harga.
Menurut Hari, asumsi yang menjadi faktor pendukung keberhasilan target mi
harus dijamin oleh sektor terkait, mulai dari Kementerian Pekerjaan Umum hingga Perhubungan. “Contoh di peternakan, membawa sapi dari NTT ke Jakarta jauh lebih mahal daripada membawa daging dari Australia ke Jakarta,” ujarnya.
Bukan hanya masalah distribusi yang mahal, Ia juga mengeluhkan permodalan yang sulit dijangkau oleh petani. Pemerintah, menurutnya, telah menyediakan skim kredit, akan tetapi petani masih sulit menjangkau kredit tersebut. Hingga ke tingkat bawah, petani tak bisa mendapat agunan, ataupun jika ada kredit tanpa agunan, bunganya amat besar hingga rnencapai 14 persen.
Akan tetapi, di balik sumber daya manusia yang seadanya dari bantuan infrastruktur yang minim, petani Indonesia masih bisa men-
cukupi kebutuhan masyarakat. Bahkan saat terjadi krisis pangan global, Indonesia tidak mengalami kekurangan. Malah dalam dua bulan terakhir kita mengalami deflasi akibat suplai pangan cukup bagi rakyat.
Hanya saja tetap dalam ketahanan pangan, ada beberapa hal yang patut diwaspadai, khususnya ketika negara-negara pengekspor beras mengurangi jatah ekspornya. Seperti Thailand yang tahun mi menyatakan tidak akan mengekspor beras, kecuali beberapa perjanjian yang telah disepakati, dan Vietnam akan mengurangi ekspor.
Masalah kecukupan pasokan beras mi semua bergantung pada produksi dalam negeni. Jika bisa memenuhi sasaran, kelangkaan pasokan pangan dunia takkan menimpa Indonesia.
Sumber : Republika, firkal fansuri/achsan Emrald
“Instruksi Presiden (surplus 10 juta ton tahun 2015) bukanlah angan-angan,” ucap Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Hari Priyono, di acara Pertemuan Bakohumas Kementerian Pertanian, Perkembangan Hortikultura, dan Swasembada Gula Nasional di Solo, Kamis (5/5).
Keyakinan itu juga ditambah Indonesia mampu memproduksi banyak beras, khususnya untuk swasembada pangan. ‘Thailand sendiri sebagai negara pengekspor beras per hektare
menghasilkan 3-4 ton, sedangkan Indonesia mencatat angka 7-8 ton per hektare,” ucapnya kepada RepubUka.
Hanya saja,’kata Han, keberhasilan pencapaian produksi pangan mi amat di tentukan oleh faktor penentu yang ada di luar pertanian. Faktor penentu itu antara lain infrastruktur, pupuk, ketersediaan air, hingga permodalan. “ini yang kadang jadi masalah,” ucapnya.
Menurutnya, jika melihat indeks pertanaman, petani mampu memproduksi tinggi, akan tetapi hasil panen harus dikirim ke pasar, dan itu membutuhkan mata rantai yang amat panjang. Mulai dari alat angkut hingga tata niaga, yang menyebabkan keterlambatan yang kemudian menurutnya berpengaruh terhadap harga.
Menurut Hari, asumsi yang menjadi faktor pendukung keberhasilan target mi
harus dijamin oleh sektor terkait, mulai dari Kementerian Pekerjaan Umum hingga Perhubungan. “Contoh di peternakan, membawa sapi dari NTT ke Jakarta jauh lebih mahal daripada membawa daging dari Australia ke Jakarta,” ujarnya.
Bukan hanya masalah distribusi yang mahal, Ia juga mengeluhkan permodalan yang sulit dijangkau oleh petani. Pemerintah, menurutnya, telah menyediakan skim kredit, akan tetapi petani masih sulit menjangkau kredit tersebut. Hingga ke tingkat bawah, petani tak bisa mendapat agunan, ataupun jika ada kredit tanpa agunan, bunganya amat besar hingga rnencapai 14 persen.
Akan tetapi, di balik sumber daya manusia yang seadanya dari bantuan infrastruktur yang minim, petani Indonesia masih bisa men-
cukupi kebutuhan masyarakat. Bahkan saat terjadi krisis pangan global, Indonesia tidak mengalami kekurangan. Malah dalam dua bulan terakhir kita mengalami deflasi akibat suplai pangan cukup bagi rakyat.
Hanya saja tetap dalam ketahanan pangan, ada beberapa hal yang patut diwaspadai, khususnya ketika negara-negara pengekspor beras mengurangi jatah ekspornya. Seperti Thailand yang tahun mi menyatakan tidak akan mengekspor beras, kecuali beberapa perjanjian yang telah disepakati, dan Vietnam akan mengurangi ekspor.
Masalah kecukupan pasokan beras mi semua bergantung pada produksi dalam negeni. Jika bisa memenuhi sasaran, kelangkaan pasokan pangan dunia takkan menimpa Indonesia.
Sumber : Republika, firkal fansuri/achsan Emrald