coba yah gw jawab dikiiiiit.... ajah.
Deryn Mansell
Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45) terdiri dari dua ayat. Ayat (1) berbunyi: ‘Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.’ Ayat (2) berbunyi: ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.’ Apakah Undang-undang ini melindungi hak asasi semua warga negara Indonesia?
Agama dan KTP
Dalam Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 disebutkan bahwa di Indonesia terdapat enam agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budhis dan Konghucu. Agama-agama lain dibiarkan adanya, asal tidak melanggar peraturan perundangan. Akan tetapi, sesudah kudeta 30 September 1965 yang gagal dan ketidakstabilan yang terjadi di tahun 60-an, ancaman komunisme dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mengurangi hak penduduk yang berbangsa Tionghoa, termasuk pengakuan Konghucu sebagai agama.
Pada tahun 1978, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengeluarkan Surat Edaran (SE) mengenai tata cara pengisian kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Di situ disebutkan, bahwa hanya lima agama yang diakui resmi oleh pemerintah, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budhis. Kebanyakan penganut agama lain dari kelima tersebut enggan membiarkan kolom kosong karena takut dicap sebagai penganut komunis. Dari saat itulah berkembang asumpsi bahwa hanya lima agama diakui resmi di Indonesia, padahal UUD ’45 Pasal 29 masih berlaku.
Reformasi
Di era reformasi ini ada usaha untuk meralat kesalahan Orde Baru, termasuk diskriminasi terhadap golongan tertentu. Untuk warga yang disebut ‘penganut aliran kepercayaan’ atau ‘kaum penghayat’ karena tidak memeluk salah satu agama resmi, angin segar ini disambut dengan gembira. Akan tetapi reformasi berjalan pelan dan masih ada kerancuan. Walaupun ada SE Mendagri pada tanggal 31 Maret 2000 yang mencabut SE Mendagri 1978, reformasi ini tidak segera sampai di seluruh wilayah Indonesia.
Sejak Konghucu diakui sebagai agama resmi, artinya kantor catatan sipil, yang mengurus perkawinan non-Muslim, seharusnya mau mengurus perkawinan Konghucu. Walaupun demikian, ketika diwawancarai di Radio 68H Jakarta tanggal 22 Agustus 2002, Dr Chandra Setiawan, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), menyatakan ‘sampai sekarang ada kendala di banyak daerah, meski tidak semua. Di daerah Batam misalnya, sudah beres semua. Mungkin karena etnis Tionghoa yang beragama Konghucu di sana berjumlah lumayan. Tapi di Surabaya, kota sebesar itu, sampai sekarang masih ada umat kita yang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi PTUN. Sebab, kantor catatan sipil menolak mencatatkan perkawinan mereka, dengan alasan Konghucu belum diatur.’
Aliran kepercayaan
Untuk pemeluk aliran kepercayaan lain, keadaan lebih parah lagi. Pak Chandra mengatakan ‘Beberapa agama lokal pun tidak bisa dicatatkan karena dinilai tidak memeluk agama resmi. Negara seperti mengkondisikan orang untuk berlaku hipokrit dengan mencantumkan agama di KTP mereka, meski tidak sesuai keyakinannya. Yang saya juga tidak habis pikir, mengapa birokrat seolah lebih senang melihat orang kumpul kebo sementara yang kawin tidak boleh. Padahal, perkawinan itu merupakan hak paling mendasar untuk menjalin tali kekerabatan dan memperoleh keturunan.’
Hal semacam ini dilaporkan di Tempo Interaktif pada tanggal 27 November 2006: Nani dan Andi adalah penganut sebuah aliran kepercayaan di Kuningan, Jawa Barat, yang disebut Sunda Wiwitan. Mereka menikah secara adat dan pada tahun 2001 anaknya, Dudi, lahir. Saat kelahiran Dudi didaftarkan ke catatan sipil, petugas menolak mencantumkan identitas Andi sebagai ayah Dudi karena perkawinannya tidak dicatat oleh catatan sipil.
Aturan Panitia Khusus DPR menutup peluang diskriminatif ini pada akhir bulan November 2006. Meskipun demikian, situasi belum adil menurut Engkus, tetua Sunda Wiwitan. Dia menunjukkan bahwa untuk mendapat dokumen negara, penganut aliran kepercayaan masih harus mengajukan permohonan ke pengadilan. Hal itu tak berlaku bagi warga yang menganutsalah satu dari enam agama yang diakui.
Deryn Mansell adalah guru bahasa Indonesia di Australia. Lihat halaman 20 untuk situs web yang digunakan untuk artikel ini.
Kosa-kata
aliran kepercayaan — a faith (not official religion)
hak asasi — basic rights
kumpul kebo — de facto marriage (lit. gather like cattle)
mengajukan banding — to appeal (to the court)
menjalin tali kekerabatan — strengthen kinship bonds
meralat — to rectify
pasal — article (legal)
Penetapan Presiden — Presidential Decree
seolah — as though
tetua — elder, leader
http://www.insideindonesia.org/edit8...8_edsupp2.html