Administrator
Administrator
polisi bersikap ambivalen dalam menghadapi pemberitaan majalah Tempo mengenai rekening para perwira.
Dalam kasus-kasus menyangkut media sebelumnya, polisi sering menempuh jalur sesuai UU Pers Nomor 40/1999 dengan mekanisme hak jawab atau mediasi Dewan Pers.
Kasus terakhir yang melalui jalur ini adalah kasus TV One versus Polisi soal dugaan narasumber palsu yang berakhir dengan perdamaian. Dalam konteks kebebasan pers, tentu saja kebijakan polisi ini patut dipuji. Namun, ketika menghadapi majalah Tempo, polisi rupanya tidak serta-merta menempuh jalur demokratis itu, tetapi jalur “kuno”, yaitu kriminalisasi dengan delik pencemaran nama baik (defamasi).
Pertanyaan krusialnya adalah mengapa polisi tidak konsisten dalam menghadapi media massa?
Kriminalisasi pers
Persoalan pencemaran nama baik merupakan batu sandungan penting bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Ancaman pencemaran nama baik tidak hanya siap menjerat media massa, tetapi juga masyarakat biasa. Sejak 2005, ada puluhan kasus pencemaran nama baik. Dari tahun 2008- 2009 saja paling tidak ada empat belas kasus di berbagai level.
Beberapa kasus yang menonjol adalah kasus Prita versus RS Omni International dan wartawan Upi Asmaradana versus Kapolda Sulawesi Selatan. Prita dijerat lewat Undang-Undang (UU) ITE Nomor 11 Tahun 2008, sedangkan Upi dijerat lewat Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Bagi kebebasan pers, pencemaran nama baik cukup memurukkan peringkat kebebasan pers Indonesia ke posisi 111 dari 173 negara pada tahun 2008 setelah sempat berada di posisi 57 dan 137 negara pada 2002 menurut indeks Reporteurs sans Frontieres.
Sumber : Kompas
Menurut Anda, bagaimanakah seharusnya Polisi menyikapi pemberitaan Tempo tentang menggendutnya rekening perwira polisi?
Dalam kasus-kasus menyangkut media sebelumnya, polisi sering menempuh jalur sesuai UU Pers Nomor 40/1999 dengan mekanisme hak jawab atau mediasi Dewan Pers.
Kasus terakhir yang melalui jalur ini adalah kasus TV One versus Polisi soal dugaan narasumber palsu yang berakhir dengan perdamaian. Dalam konteks kebebasan pers, tentu saja kebijakan polisi ini patut dipuji. Namun, ketika menghadapi majalah Tempo, polisi rupanya tidak serta-merta menempuh jalur demokratis itu, tetapi jalur “kuno”, yaitu kriminalisasi dengan delik pencemaran nama baik (defamasi).
Pertanyaan krusialnya adalah mengapa polisi tidak konsisten dalam menghadapi media massa?
Kriminalisasi pers
Persoalan pencemaran nama baik merupakan batu sandungan penting bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Ancaman pencemaran nama baik tidak hanya siap menjerat media massa, tetapi juga masyarakat biasa. Sejak 2005, ada puluhan kasus pencemaran nama baik. Dari tahun 2008- 2009 saja paling tidak ada empat belas kasus di berbagai level.
Beberapa kasus yang menonjol adalah kasus Prita versus RS Omni International dan wartawan Upi Asmaradana versus Kapolda Sulawesi Selatan. Prita dijerat lewat Undang-Undang (UU) ITE Nomor 11 Tahun 2008, sedangkan Upi dijerat lewat Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Bagi kebebasan pers, pencemaran nama baik cukup memurukkan peringkat kebebasan pers Indonesia ke posisi 111 dari 173 negara pada tahun 2008 setelah sempat berada di posisi 57 dan 137 negara pada 2002 menurut indeks Reporteurs sans Frontieres.
Sumber : Kompas
Menurut Anda, bagaimanakah seharusnya Polisi menyikapi pemberitaan Tempo tentang menggendutnya rekening perwira polisi?