nurcahyo
New member
Para ulama berpendapat, bahwa mengakhirkan penjelasan di waktu yang dibutuhkan itu tidak boleh. Dan sesungguhnya Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- hanya ditanya tentang sutrah yang mencukupi, maka seandainya kurang dari (ukuran) itu mencukupi, tentu tidak boleh mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan.[32]
Ukuran panjang pelana adalah sepanjang (satu) hasta. Sebagaimana yang dijelaskan oleh 'Atha`, Qatadah, ats-Tsaury serta Nafi'.[33] Sehasta adalah ukuran di antara ujung siku sampai ke ujung jari tengah.[34] Dan ukurannya kurang lebih: 46,2 cm.[35]
Telah tetap, bahwa Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam- shalat menghadap ke tombak kecil dan lembing. Sebagaimana diketahui keduanya adalah benda yang menunjukkan kecilnya tempat dan ini menguatkan, bahwa yang dimaksud menyamakan sutrah dengan hasta adalah pada sisi panjangnya bukan lebarnya.
Ibnu Khuzaimah berkata: "Dalil dari pengabaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam- tersebut, bahwa sesungguhnya yang beliau inginkan dengan sutrah seperti pelana adalah panjangnya bukan lebarnya, yang tegak lagi kokoh. Di antaranya terdapat riwayat dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, bahwa beliau menancapkan tombak kecil untuknya, lalu beliau shalat menghadap kepadanya. Padahal lebarnya tombak itu kecil tidak seperti lebarnya pelana."[36]
Dia berkata juga: "Perintah Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- membuat sutrah (pembatas) dengan anak panah di dalam shalat, maka hal itu sesuatu yang nyata dan tetap, bahwa beliau -Shallallahu 'alaihi wa sallam- menginginkan dalam perintah tersebut adalah sesuatu yang ukuran panjangnya sama seperti pelana, bukan panjang dan lebarnya secara keseluruhan."[37]
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka: Tidak boleh membuat sutrah dengan garis dalam keadaan dia mampu membuat dengan lainnya, meskipun sutrah itu berupa: tongkat, barang, kayu, atau tanah. Walaupun dia harus mengumpulkan batu-batuan, lalu menyusunnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Salamah bin al-Akwa` -radhiyallahu 'anhu-.
Dan yang sangat pantas disebutkan adalah: Hadits tentang menjadikan garis sebagai sutrah adalah dha'if. Telah didha'ifkan oleh Sufyan bin Uyainah, asy-Syafi'i, al-Baghawy dan lainnya. Ad-Daruquthni berkata: "Tidak sah dan tidak tetap." Asy-Syafi'i berkata dalam Sunan Harmalah: "Seorang yang shalat tidak boleh membuat garis di depannya, kecuali ada hadits yang tetap tentang hal itu, maka hadits itu diikuti."
Malik telah berkata dalam al-Mudawanah: "Garis itu bathil." Dan hadits itu telah dilemahkan oleh ulama yang datang di masa akhir, seperti Ibnu Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi serta yang lainnya.[38]
Setelah ini maka dikatakan:
[4] Dalam shalat berjama'ah, makmum itu tidak wajib membuat sutrah, sebab sutrah dalam shalat berjama'ah itu terletak pada sutrahnya imam
Janganlah seseorang beranggapan, bahwa setiap orang yang shalat (dalam shalat berjama'ah) sutrahnya itu adalah orang yang shalat yang ada di depannya. Sesungguhnya hal itu tidak ada pada shaf yang pertama, sehingga dengan demikian mengharuskan melakukan pencegahan terhadap orang yang lewat di hadapannya. Sedangkan dalil yang ada menyelisihi hal tersebut, yaitu:
Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Saya dan Fudhail datang dengan mengendarai keledai betina dan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- berada di Arafah. Maka kami melewati sebagian shaf, kemudian kami turun dan kami tinggalkan keledai itu merumput. Lalu kami masuk shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam-. Setelah itu beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak berkata sepatah kata pun kepada kami."[39]
Dalam satu riwayat: "Sesungguhnya keledai betina itu melewati di depan sebagian shaf yang pertama."[40]
Ketika Ibnu 'Abbas dan Fudhail di atas keledai betina lewat di depan shaf yang pertama, tidak ada satupun sahabat yang menolak keduanya dan keledai betina itupun juga tidak ditolak, kemudian tidak ada seseorang yang mengingkari mereka atas perbuatannya tersebut, demikian pula Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam-.
Jika ada seseorang yang berkata: "Mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui yang demikian itu!!"
Maka dikatakan kepadanya: "Jika Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- tidak melihat kepada keduanya dari sampingnya, maka beliau melihat keduanya dari belakangnya. Sesungguhnya beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
"Artinya : Apakah kalian melihat kiblatku di sini, demi Allah kekhusyu'an dan ruku' kalian tidak ada yang tersembunyi bagiku. Sesungguhnya saya melihat kalian dari belakang punggungku."[41]
Ibnu Abdil Bar berkata: "Hadits Ibnu 'Abbas ini memberi kekhususan kepada hadits Abu Sa'id: "Jika ada salah seorang dari kalian shalat, maka janganlah dia membiarkan seseorang melewati di depannya," yang demikian itu khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Adapun untuk makmum, orang yang lewat di depannya tidak membahayakannya, berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas ini."
Selanjutnya dia (Ibnu Abdil Bar) berkata: "Tidak ada perselisihan di antara para ulama terhadap perkara ini."[42]
Dari sini bisa diketahui: "Sesungguhnya shalat berjama'ah adalah seseorang shalat dengan beberapa orang, bukannya shalat dengan jumlah orang yang ada di dalamnya. Oleh karena itu shalat jama'ah tersebut cukup dengan satu sutrah. Kalau shalat berjama'ah itu pengertiannya beberapa shalat, tentunya setiap orang yang ada di dalamnya butuh sutrah."[43]
[5]. Jika seorang Imam tidak membuat sutrah, maka sesungguhnya dia telah menjelekkan shalatnya dan sikap meremehkan itu hanya dari dia
Sedangkan bagi setiap makmum tidaklah wajib membuat sutrah untuk dirinya dan (tidak wajib) menahan orang yang melewatinya.[44]
[6]. Apabila makmum masbuk berdiri untuk menyelesaikan raka'at yang tertinggal bersama Imam, sehingga dia keluar dari status sebagai makmum, maka apa yang dia lakukan?
Al-Imam Malik berkata: "Seseorang yang menyelesaikan shalatnya setelah imam salam tidak mengapa dia menuju ke salah satu tiang yang terdekat dengannya, baik yang ada di depan, sebelah kanan, sebelah kiri ataupun di belakangnya. Dengan mundur ke belakang sedikit, dia menjadikannya sebagai pembatas (sutrah), jika tiang itu dekat. Jika jauh, maka dia tetap berdiri di tempat semula, dan menolak orang yang lewat semampunya."[45]
Ibnu Rusyd berkata: "Jika dia berdiri untuk menyelesaikan raka'at shalatnya yang terputus, jika dia dekat dengan tiang, berjalanlah menuju kepadanya dan itu menjadi sutrah baginya untuk raka'at yang tersisa. Jika tidak ada tiang yang dekat, maka dia shalat sebagaimana keadaannya dan berusaha menolak orang yang lewat di depannya semampunya dan barangsiapa yang lewat di depannya, maka dia berdosa. Adapun orang yang lewat di antara shaf-shafnya kaum yang shalat bersama imam, maka tidak ada dosa baginya dalam hal ini, karena imam adalah sutrah untuk mereka. Hanya pada Allahlah taufik tersebut."[46]
Inilah yang dikatakan oleh al-Imam Malik dan diikuti oleh Ibnu Rusydi, yang tidak pantas untuk diselisihi. Sebab, seorang makmum masbuk yang memasuki shalat sebagaimana yang diperintahkan dan pada saat itu tidak ada sutrah baginya, maka keadaannya seperti orang yang menjadikan binatang ternaknya sebagai sutrah, lalu binatang itu lepas. Keadaan dia yang demikian ini tidaklah digolongkan sebagai orang yang meremehkan perintah menegakkan sutrah.
Akan tetapi, jika dia mempunyai kemudahan membuat sutrah, agar tidak menjatuhkan orang yang lewat ke dalam dosa, maka dia wajib membuat sutrah. Jika tidak mudah baginya untuk membuat sutrah, maka dia berusaha menolak orang yang melewati depannya."[47]
[Disalin dari buku Al-Qawl Al-Mubin Fii Akhthaa Al-Mushalliin, Edisi Indoensia atas Kekeliruan Praktek Ibadah Shalat, Oleh Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman, Penerbit Maktabah Salafy Press , hlm. 75-88. Cetakan pertama, Dzulqa'idah 1423 H]
_________
Foote Note
[1]. Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam ash-Shahih.
[2]. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/279), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (297), Ibnu Majah di dalam as-Sunan no. (954), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 48-49 al-Ihsan), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul-Kubra (2/ 267). Dan sanadnya hasan.
[3]. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/ 279), Ahmad di dalam al-Musnad (4/ 2), ath-Thayalisi di dalam al-Musnad no. (379), al-Humaidi di dalam al-Musnad (1/ 196), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (695), an-Nasa`i di dalam al-Mujtaba (2/ 62), Ibnu Khuzaimah di dalam ash-Shahih no. (803), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 49), ath-Thahawi dalam Syarhul-Ma'ani al-Atsar (1/ 458), ath-Thabrani di dalam al-Mu'jamul-Kabir (6/ 119), al-Hakim di dalam al-Mustadrak (1/ 251), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul Kubra (2/272) dan hadits tersebut shahih.
[4]. Ini lafadz Ibnu Khuzaimah.
[5]. Nailul Authar (3/ 2).
[6]. As-Sailul Jarraar (1/ 176).
[7]. Tamamul Minnah (hlm. 300).
[8]..Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya (1/ 577-dengan al-Fath) secara ta'liq dengan Shighah Jazm dan di-washalkannya oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (2/ 370).
[9]. Fathul Baari (1/ 577)
[10]. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/ 279) dengan sanad yang shahih.
[11]. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (2/ 61), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (2/ 285) dan dia shahih.
[12]. Ahkamus Sutrah fi Makkah wa Ghairiha (hlm. 13-14), Penerbit Daar Ibnul Qayyim Dammam.
[13]. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (503).
[14]. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (625).
[15]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/ 279), dengan sanad shahih.
[16]. Telah dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (2/ 9) dan dalam
sanadnya ada kelemahan dan didukung oleh sebelumnya.
[17]. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/ 278).
[18]. Nailul Authar (3/ 6).
[19]. Syarah Tsulatsiyaat al-Musnad (2/ 786).
[20]. Tamamul Minnah (hlm. 304).
[21]. Riwayat haditsnya dha'if (lemah), sebagaimana telah diperingatkan atasnya oleh al-Albani -rahimahullah- di dalam Tamamul Minnah (hlm. 305) dan beliau berkata: "Riwayat itu telah dikeluarkan dalam kitabku: al-Ahadits adh-Dha'ifah, no. (5814) bersama hadits-hadits yang lain dengan maknanya."
[22]. Shahih Ibnu Khuzaimah (2/ 27-28).
[23]. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam ash-Shahih no. (76)(493)(861) (1857)(4412), Ahmad dalam al-Musnad (1/ 342), Malik dalam al-Muwaththa' (1/131) dan selain mereka.
[24]. Telah dikeluarkan oleh Ahmad di dalam al-Musnad (1/ 243), Ibnu Khuzaimah dalam ash-Shahih (840), ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabir (11/ 243) dan sanadnya Ahmad hasan.
[25]. Al-Jauharun-Naqi (2/ 273). Dan lihat bantahan yang lain dalam: Ahkamu as-Sutrah (hlm. 88 dan setelahnya).
[26]. Lihat sandaran orang yang mengatakan, bahwa di Mekkah tidak ada sutrah, bahwasanya dibolehkan ?di sana- berjalan melewati di hadapan orang-orang yang sedang shalat dan bantahan akan pernyataan ini terdapat dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal-Maudhu'ah, no. (928) dan kitab Ahkam as-Sutrah fi Makkah wa Ghairiha (hlm. 46-48)(120-126) dan mengaitkan orang yang lewat di depan orang yang shalat dengan keadaan darurat merupakan perkara yang sifatnya sebagai alternatif, khususnya ketika berada di dalam keadaan yang sangat berdesak-desakan. Telah berkata tentangnya al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath (1/ 576) dan az-Zarqani dalam Syarahnya atas Mukhtashar Khalil (1/ 209).Wallahu A'lam.
[27]. Lihat, misalnya di dalam: Zaadul Ma'aad (1/ 305).
[28]. Ahkam as-Sutrah (hlm. 450).
[29]. Telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. (499).
[30]. Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya no. (500).
[31]. Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya no. (510).
[32]. Ahkam as-Sutrah (hlm 29).
[33] Lihat: Mushannaf Abdurrazzaq (2/ 9, 14, 15), Shahih Ibnu Khuzaimah no.(807), Sunan Abu Dawud no. (686).
[34]. Lisanul 'Arab (3/ 1495).
[35]. Mu'jam Lughatul Fuqahaa' (hlm. 450-451).
[36]. Shahih Ibnu Khuzaimah (2/ 12).
[37]. Rujukan yang lalu.
[38]. Lihat: Tamamul Minnah (hlm. 300-302), Ahkam as-Sutrah (hlm. 98-102), Syarah an-Nawawi atas Shahih Muslim (4/ 216), Tahdzib at-Tahdzib (12/ 199), Tarjamah (Abi 'Amr bin Muhammad bin Harits).
[39]. Telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. (504).
[40]. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (1857).
[41]. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (418), (471) dan pembicaraan yang lalu dari Ahkam as-Sutrah (hlm. 22).
[42]. Fathul Baari (1/ 572).
[43]. Faidhul Qadir (2/ 77).
[44]. Lihat: Ahkam as-Sutrah (hlm. 21-22).
[45]. Syarah az-Zarqaani 'ala Mukhtashar Khalil (1/ 208).
[46]. Fatawa Ibnu Rusyd (2/ 904).
[47]. Ahkam as-Sutrah (hlm. 26-27).
Ukuran panjang pelana adalah sepanjang (satu) hasta. Sebagaimana yang dijelaskan oleh 'Atha`, Qatadah, ats-Tsaury serta Nafi'.[33] Sehasta adalah ukuran di antara ujung siku sampai ke ujung jari tengah.[34] Dan ukurannya kurang lebih: 46,2 cm.[35]
Telah tetap, bahwa Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam- shalat menghadap ke tombak kecil dan lembing. Sebagaimana diketahui keduanya adalah benda yang menunjukkan kecilnya tempat dan ini menguatkan, bahwa yang dimaksud menyamakan sutrah dengan hasta adalah pada sisi panjangnya bukan lebarnya.
Ibnu Khuzaimah berkata: "Dalil dari pengabaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam- tersebut, bahwa sesungguhnya yang beliau inginkan dengan sutrah seperti pelana adalah panjangnya bukan lebarnya, yang tegak lagi kokoh. Di antaranya terdapat riwayat dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, bahwa beliau menancapkan tombak kecil untuknya, lalu beliau shalat menghadap kepadanya. Padahal lebarnya tombak itu kecil tidak seperti lebarnya pelana."[36]
Dia berkata juga: "Perintah Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- membuat sutrah (pembatas) dengan anak panah di dalam shalat, maka hal itu sesuatu yang nyata dan tetap, bahwa beliau -Shallallahu 'alaihi wa sallam- menginginkan dalam perintah tersebut adalah sesuatu yang ukuran panjangnya sama seperti pelana, bukan panjang dan lebarnya secara keseluruhan."[37]
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka: Tidak boleh membuat sutrah dengan garis dalam keadaan dia mampu membuat dengan lainnya, meskipun sutrah itu berupa: tongkat, barang, kayu, atau tanah. Walaupun dia harus mengumpulkan batu-batuan, lalu menyusunnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Salamah bin al-Akwa` -radhiyallahu 'anhu-.
Dan yang sangat pantas disebutkan adalah: Hadits tentang menjadikan garis sebagai sutrah adalah dha'if. Telah didha'ifkan oleh Sufyan bin Uyainah, asy-Syafi'i, al-Baghawy dan lainnya. Ad-Daruquthni berkata: "Tidak sah dan tidak tetap." Asy-Syafi'i berkata dalam Sunan Harmalah: "Seorang yang shalat tidak boleh membuat garis di depannya, kecuali ada hadits yang tetap tentang hal itu, maka hadits itu diikuti."
Malik telah berkata dalam al-Mudawanah: "Garis itu bathil." Dan hadits itu telah dilemahkan oleh ulama yang datang di masa akhir, seperti Ibnu Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi serta yang lainnya.[38]
Setelah ini maka dikatakan:
[4] Dalam shalat berjama'ah, makmum itu tidak wajib membuat sutrah, sebab sutrah dalam shalat berjama'ah itu terletak pada sutrahnya imam
Janganlah seseorang beranggapan, bahwa setiap orang yang shalat (dalam shalat berjama'ah) sutrahnya itu adalah orang yang shalat yang ada di depannya. Sesungguhnya hal itu tidak ada pada shaf yang pertama, sehingga dengan demikian mengharuskan melakukan pencegahan terhadap orang yang lewat di hadapannya. Sedangkan dalil yang ada menyelisihi hal tersebut, yaitu:
Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Saya dan Fudhail datang dengan mengendarai keledai betina dan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- berada di Arafah. Maka kami melewati sebagian shaf, kemudian kami turun dan kami tinggalkan keledai itu merumput. Lalu kami masuk shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam-. Setelah itu beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak berkata sepatah kata pun kepada kami."[39]
Dalam satu riwayat: "Sesungguhnya keledai betina itu melewati di depan sebagian shaf yang pertama."[40]
Ketika Ibnu 'Abbas dan Fudhail di atas keledai betina lewat di depan shaf yang pertama, tidak ada satupun sahabat yang menolak keduanya dan keledai betina itupun juga tidak ditolak, kemudian tidak ada seseorang yang mengingkari mereka atas perbuatannya tersebut, demikian pula Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam-.
Jika ada seseorang yang berkata: "Mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui yang demikian itu!!"
Maka dikatakan kepadanya: "Jika Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- tidak melihat kepada keduanya dari sampingnya, maka beliau melihat keduanya dari belakangnya. Sesungguhnya beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
"Artinya : Apakah kalian melihat kiblatku di sini, demi Allah kekhusyu'an dan ruku' kalian tidak ada yang tersembunyi bagiku. Sesungguhnya saya melihat kalian dari belakang punggungku."[41]
Ibnu Abdil Bar berkata: "Hadits Ibnu 'Abbas ini memberi kekhususan kepada hadits Abu Sa'id: "Jika ada salah seorang dari kalian shalat, maka janganlah dia membiarkan seseorang melewati di depannya," yang demikian itu khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Adapun untuk makmum, orang yang lewat di depannya tidak membahayakannya, berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas ini."
Selanjutnya dia (Ibnu Abdil Bar) berkata: "Tidak ada perselisihan di antara para ulama terhadap perkara ini."[42]
Dari sini bisa diketahui: "Sesungguhnya shalat berjama'ah adalah seseorang shalat dengan beberapa orang, bukannya shalat dengan jumlah orang yang ada di dalamnya. Oleh karena itu shalat jama'ah tersebut cukup dengan satu sutrah. Kalau shalat berjama'ah itu pengertiannya beberapa shalat, tentunya setiap orang yang ada di dalamnya butuh sutrah."[43]
[5]. Jika seorang Imam tidak membuat sutrah, maka sesungguhnya dia telah menjelekkan shalatnya dan sikap meremehkan itu hanya dari dia
Sedangkan bagi setiap makmum tidaklah wajib membuat sutrah untuk dirinya dan (tidak wajib) menahan orang yang melewatinya.[44]
[6]. Apabila makmum masbuk berdiri untuk menyelesaikan raka'at yang tertinggal bersama Imam, sehingga dia keluar dari status sebagai makmum, maka apa yang dia lakukan?
Al-Imam Malik berkata: "Seseorang yang menyelesaikan shalatnya setelah imam salam tidak mengapa dia menuju ke salah satu tiang yang terdekat dengannya, baik yang ada di depan, sebelah kanan, sebelah kiri ataupun di belakangnya. Dengan mundur ke belakang sedikit, dia menjadikannya sebagai pembatas (sutrah), jika tiang itu dekat. Jika jauh, maka dia tetap berdiri di tempat semula, dan menolak orang yang lewat semampunya."[45]
Ibnu Rusyd berkata: "Jika dia berdiri untuk menyelesaikan raka'at shalatnya yang terputus, jika dia dekat dengan tiang, berjalanlah menuju kepadanya dan itu menjadi sutrah baginya untuk raka'at yang tersisa. Jika tidak ada tiang yang dekat, maka dia shalat sebagaimana keadaannya dan berusaha menolak orang yang lewat di depannya semampunya dan barangsiapa yang lewat di depannya, maka dia berdosa. Adapun orang yang lewat di antara shaf-shafnya kaum yang shalat bersama imam, maka tidak ada dosa baginya dalam hal ini, karena imam adalah sutrah untuk mereka. Hanya pada Allahlah taufik tersebut."[46]
Inilah yang dikatakan oleh al-Imam Malik dan diikuti oleh Ibnu Rusydi, yang tidak pantas untuk diselisihi. Sebab, seorang makmum masbuk yang memasuki shalat sebagaimana yang diperintahkan dan pada saat itu tidak ada sutrah baginya, maka keadaannya seperti orang yang menjadikan binatang ternaknya sebagai sutrah, lalu binatang itu lepas. Keadaan dia yang demikian ini tidaklah digolongkan sebagai orang yang meremehkan perintah menegakkan sutrah.
Akan tetapi, jika dia mempunyai kemudahan membuat sutrah, agar tidak menjatuhkan orang yang lewat ke dalam dosa, maka dia wajib membuat sutrah. Jika tidak mudah baginya untuk membuat sutrah, maka dia berusaha menolak orang yang melewati depannya."[47]
[Disalin dari buku Al-Qawl Al-Mubin Fii Akhthaa Al-Mushalliin, Edisi Indoensia atas Kekeliruan Praktek Ibadah Shalat, Oleh Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman, Penerbit Maktabah Salafy Press , hlm. 75-88. Cetakan pertama, Dzulqa'idah 1423 H]
_________
Foote Note
[1]. Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam ash-Shahih.
[2]. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/279), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (297), Ibnu Majah di dalam as-Sunan no. (954), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 48-49 al-Ihsan), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul-Kubra (2/ 267). Dan sanadnya hasan.
[3]. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/ 279), Ahmad di dalam al-Musnad (4/ 2), ath-Thayalisi di dalam al-Musnad no. (379), al-Humaidi di dalam al-Musnad (1/ 196), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (695), an-Nasa`i di dalam al-Mujtaba (2/ 62), Ibnu Khuzaimah di dalam ash-Shahih no. (803), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 49), ath-Thahawi dalam Syarhul-Ma'ani al-Atsar (1/ 458), ath-Thabrani di dalam al-Mu'jamul-Kabir (6/ 119), al-Hakim di dalam al-Mustadrak (1/ 251), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul Kubra (2/272) dan hadits tersebut shahih.
[4]. Ini lafadz Ibnu Khuzaimah.
[5]. Nailul Authar (3/ 2).
[6]. As-Sailul Jarraar (1/ 176).
[7]. Tamamul Minnah (hlm. 300).
[8]..Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya (1/ 577-dengan al-Fath) secara ta'liq dengan Shighah Jazm dan di-washalkannya oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (2/ 370).
[9]. Fathul Baari (1/ 577)
[10]. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/ 279) dengan sanad yang shahih.
[11]. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (2/ 61), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (2/ 285) dan dia shahih.
[12]. Ahkamus Sutrah fi Makkah wa Ghairiha (hlm. 13-14), Penerbit Daar Ibnul Qayyim Dammam.
[13]. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (503).
[14]. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (625).
[15]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/ 279), dengan sanad shahih.
[16]. Telah dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (2/ 9) dan dalam
sanadnya ada kelemahan dan didukung oleh sebelumnya.
[17]. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/ 278).
[18]. Nailul Authar (3/ 6).
[19]. Syarah Tsulatsiyaat al-Musnad (2/ 786).
[20]. Tamamul Minnah (hlm. 304).
[21]. Riwayat haditsnya dha'if (lemah), sebagaimana telah diperingatkan atasnya oleh al-Albani -rahimahullah- di dalam Tamamul Minnah (hlm. 305) dan beliau berkata: "Riwayat itu telah dikeluarkan dalam kitabku: al-Ahadits adh-Dha'ifah, no. (5814) bersama hadits-hadits yang lain dengan maknanya."
[22]. Shahih Ibnu Khuzaimah (2/ 27-28).
[23]. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam ash-Shahih no. (76)(493)(861) (1857)(4412), Ahmad dalam al-Musnad (1/ 342), Malik dalam al-Muwaththa' (1/131) dan selain mereka.
[24]. Telah dikeluarkan oleh Ahmad di dalam al-Musnad (1/ 243), Ibnu Khuzaimah dalam ash-Shahih (840), ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabir (11/ 243) dan sanadnya Ahmad hasan.
[25]. Al-Jauharun-Naqi (2/ 273). Dan lihat bantahan yang lain dalam: Ahkamu as-Sutrah (hlm. 88 dan setelahnya).
[26]. Lihat sandaran orang yang mengatakan, bahwa di Mekkah tidak ada sutrah, bahwasanya dibolehkan ?di sana- berjalan melewati di hadapan orang-orang yang sedang shalat dan bantahan akan pernyataan ini terdapat dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal-Maudhu'ah, no. (928) dan kitab Ahkam as-Sutrah fi Makkah wa Ghairiha (hlm. 46-48)(120-126) dan mengaitkan orang yang lewat di depan orang yang shalat dengan keadaan darurat merupakan perkara yang sifatnya sebagai alternatif, khususnya ketika berada di dalam keadaan yang sangat berdesak-desakan. Telah berkata tentangnya al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath (1/ 576) dan az-Zarqani dalam Syarahnya atas Mukhtashar Khalil (1/ 209).Wallahu A'lam.
[27]. Lihat, misalnya di dalam: Zaadul Ma'aad (1/ 305).
[28]. Ahkam as-Sutrah (hlm. 450).
[29]. Telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. (499).
[30]. Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya no. (500).
[31]. Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya no. (510).
[32]. Ahkam as-Sutrah (hlm 29).
[33] Lihat: Mushannaf Abdurrazzaq (2/ 9, 14, 15), Shahih Ibnu Khuzaimah no.(807), Sunan Abu Dawud no. (686).
[34]. Lisanul 'Arab (3/ 1495).
[35]. Mu'jam Lughatul Fuqahaa' (hlm. 450-451).
[36]. Shahih Ibnu Khuzaimah (2/ 12).
[37]. Rujukan yang lalu.
[38]. Lihat: Tamamul Minnah (hlm. 300-302), Ahkam as-Sutrah (hlm. 98-102), Syarah an-Nawawi atas Shahih Muslim (4/ 216), Tahdzib at-Tahdzib (12/ 199), Tarjamah (Abi 'Amr bin Muhammad bin Harits).
[39]. Telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. (504).
[40]. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (1857).
[41]. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (418), (471) dan pembicaraan yang lalu dari Ahkam as-Sutrah (hlm. 22).
[42]. Fathul Baari (1/ 572).
[43]. Faidhul Qadir (2/ 77).
[44]. Lihat: Ahkam as-Sutrah (hlm. 21-22).
[45]. Syarah az-Zarqaani 'ala Mukhtashar Khalil (1/ 208).
[46]. Fatawa Ibnu Rusyd (2/ 904).
[47]. Ahkam as-Sutrah (hlm. 26-27).