langit_byru
New member
Kesultanan Mataram (Islam) adalah kerajaan Islam di Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya, keturunan dari Ki Ageng Pemanahan yang mendapat hadiah sebidang tanah dari raja Pajang, Hadiwijaya, atas jasanya. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya dapat menyatukan hampir seluruh tanah Jawa dan meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti wilayah Matraman di Jakarta dan sistem persawahan di Karawang.
Peta Mataram Baru yang telah dipecah menjadi empat kerajaan pada tahun 1830, setelah Perang Diponegoro. Pada peta ini terlihat bahwa Kasunanan Surakarta memiliki banyak enklave di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan wilayah Belanda. Mangkunagaran juga memiliki sebuah enklave di Yogyakarta. Di kemudian hari enklave-enklave ini dihapus.
Masa Awal
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggalHadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan ****** Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu beliau juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit saraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang.
Masa keemasan Mataram (penyatuan Jawa)
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo. Namun ia lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Letak keraton Mataram pada masa ini dipindah ke Pleret (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Bantul). Pada masanya wilayah Mataram diperluas hingga mencakup hampir seluruh pulau Jawa dan Madura. Akibatnya terjadi gesekan dengan VOC yang berpusat di Batavia. Maka terjadilah beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah beliau wafat (dimakamkan di Imogiri), penggantinya adalah putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I, Sunan Tegalarum).
Terpecahnya Mataram
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Kerta, di dekat Pleret. Pemerintahan Amangkurat kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Terunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum ketika mengungsi. Penggantinya, Amangkurat II (Amral), patuh pada VOC sehingga kerabat istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan (Nga)yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada tahun 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.
Peta Mataram Baru yang telah dipecah menjadi empat kerajaan pada tahun 1830, setelah Perang Diponegoro. Pada peta ini terlihat bahwa Kasunanan Surakarta memiliki banyak enklave di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan wilayah Belanda. Mangkunagaran juga memiliki sebuah enklave di Yogyakarta. Di kemudian hari enklave-enklave ini dihapus.
Masa Awal
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggalHadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan ****** Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu beliau juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit saraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang.
Masa keemasan Mataram (penyatuan Jawa)
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo. Namun ia lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Letak keraton Mataram pada masa ini dipindah ke Pleret (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Bantul). Pada masanya wilayah Mataram diperluas hingga mencakup hampir seluruh pulau Jawa dan Madura. Akibatnya terjadi gesekan dengan VOC yang berpusat di Batavia. Maka terjadilah beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah beliau wafat (dimakamkan di Imogiri), penggantinya adalah putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I, Sunan Tegalarum).
Terpecahnya Mataram
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Kerta, di dekat Pleret. Pemerintahan Amangkurat kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Terunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum ketika mengungsi. Penggantinya, Amangkurat II (Amral), patuh pada VOC sehingga kerabat istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan (Nga)yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada tahun 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.