Sashihara Rino, 21 tahun, seorang mahasiswa di sebuah universitas ternama di Tokyo, Jepang. Ia adalah seorang dari keluarga yang terpandang. Namun memiliki banyak harta dan wajah yang menawan serta peringkat tertinggi di universitas tempat ia belajar tidak membuat ia memiliki banyak teman seperti anak yang lain. Hal itu bukan karena tidak ada yang mau berteman dengannya melainkan karena ia sendiri yang membatasi diri dari pergaulan sehari hari. Mengapa? Itulah pertanyaan setiap orang. Tidak ada seorang pun yang mengetahui alasan Rino menutup dirinya kecuali seorang teman dekatnya yang bisa dikatakan sebagai temannya satu satunya, Oshima Ren.
Bukanlah hal yang mudah bagi Ren untuk bisa dekat dengan Rino. Ia membutuhkan kesabaran yang ekstra selama 1 tahun penuh untuk mendekati si calon ahli bedah itu. Ditambah lagi olok-olokan temannya yang menyuruhnya untuk menyerah dalam mendekati Rino. Tapi bukan Ren namanya jika langsung menyerah begitu saja. Hingga pada suatu hari saat ia mengikuti Rino pulang, ia menemukan bahwa Rino, si keturunan orang kaya, tidak tinggal di sebuah rumah yang besar ataupun megah melainkan tinggal di sebuah tempat kos yang sempit dan pengap.
Sejak hari itu, hari dimana Ren mengetahui satu hal baru tentang Rino, Rino pun mulai membuka diri terhadap Ren hingga setahun berlalu dan mereka menjadi sahabat. Selama setahun itu banyak fakta baru yang didapatkan Ren tentang Rino, salah satunya adalah sebuah kenyataan pahit yang di pendam oleh Rino sendiri yang terbongkar dalam sebuah pembicaraan yang berawal dari keingintahuan Ren.
“ Rino?” ucap Ren membuka pembicaraan.
“ Ya?” jawab Rino dengan dingin.
“kenapa kamu tinggal di tempat kumuh seperti ini? Orang tuamu kan kaya raya, kenapa mereka membiarkanmu tinggal disini?” Tanya Ren kepada Rino yang sibuk membaca buku anatominya.
“ Yang kaya kan orang tuaku, lagi pula mereka sudah pergi ke tempat yang jauh,”ucap Rino sambil menoleh ke arah Ren.
“ Eh? Maksudnya?”
“ Bukan urusanmu,” Jawab Rino sambil menggelengkan kepalanya lalu kembali fokus ke buku tebal yang dipegangnya.
“ Ayolah, beritahu aku,” rengek Ren.
“ Itu bukanlah hal yang penting dan aku tidak ingin membicarakan tentang hal itu, pembicaraan ini cukup sampai disini,” jawab Rino dengan nada dingin.
“ Ah… Kau benar benar tidak seru,” ucap Ren dalam kekalahan.
Ren sudah terbiasa diperlakukan seperti itu, jika mereka berdua sedang membahas sesuatu dan Rino menjawabnya dengan “Pembicaraan cukup sampai disini” maka itu pertanda bahwa hal yang mereka bahas sudah terlalu dalam, apalagi jika itu tentang kehidupan pribadi Rino. Bel berbunyi dan itu berarti mereka harus mengucapkan selamat tinggal kepada atap gedung fakultas kedokteran, tempat mereka menghabiskan waktu istirahat dengan berbincang ataupun hanya untuk menatap langit biru yang cerah seraya merasakan hembusan angin.
Para siswa telah bersiap di kursi mereka masing-masing saat dosen mereka memasuki ruangan bersama seorang gadis muda dengan kulit kecoklatan.
“ Perhatian anak-anak, hari ini kita kedatangan seorang teman baru dari Jerman,” ucap sang dosen yang diikuti oleh suara berbisik antarsiswa, terkecuali Rino tentunya. Ia tidak pernah memperdulikan keadaan sekitarnya dan hanya sibuk memperhatikan keluar jendela dari tempat duduknya.
“Perkenalkan nama saya Kitahara Rie, saya sebenarnya berasal dari Jepang tapi karena pekerjaan ayah saya, kami pindah ke Jerman, mohon bantuannya,” ucap sang gadis lalu membungkukkan badannya untuk memberi salam.
Rino yang mendengar nama yang tidak asing itu langsung melemparkan tatapannya ke sumber suara untuk memastikan. Ia terlihat terkejut dan tanpa disengaja tatapan mereka bertemu, Rino langsung membuang wajahnya kembali untuk melihat keluar jendela dan meninggalkan kebingungan di hati Rie.
“ Baiklah, nona Kitahara anda boleh duduk di belakang di samping tuan Sashihara,” ucap sang dosen.
Rie hanya mengangguk dan mulai melangkah ke arah kursi yang dimaksud, sebelum duduk ia menyempatkan diri untuk menyapa teman yang akan menjadi teman semeja nya itu.
“ Selamat pagi tuan Sashihara, aku akan banyak merepotkanmu mulai sekarang jadi mohon bantuannya,” sapa Rie sopan.
Namun, Rino tidak memberikan tanggapan apapun dan tetap menatap keluar jendela. Setelah tidak mendapat jawaban apapun, Rie memutuskan untuk duduk dan mengeluarkan buku beserta alat tulisnya untuk persiapan belajar.
Kelas berlangsung seperti biasanya bagi siswa-siswi lain terkecuali bagi Rino. Ia tidak bisa fokus selama pelajaran berlangsung. Saat bel berbunyi untuk menandakan kelas pertama selesai, Rino dengan terburu-buru pergi tanpa membereskan peralatan tulisnya. Ren yang kebingungan terhadap kelakuan tiba-tiba Rino pun langsung menyusulnya ke atap gedung.
“ Hey… Rino, ada apa? Mengapa kau kelihatan pucat?” Ren mulai menghujani Rino dengan pertanyaan setibanya mereka di atap gedung.
Rino tidak menanggapi, wajahnya memucat, tangannya berkeringat menunjukkan luapan emosi di dalam dirinya.
“ Hey… Jawab aku, kenapa kau diam saja? Apa kau terkena diare?” Ren kembali bertanya.
“ Rie…” gumam Rino.
“ Rie? Anak baru itu? Kau mengenalnya?” tanya Ren.
“ Tidak,” jawab Rino dingin.
“ Lalu?”
“ Aku akan menceritakannya kepadamu nanti, tapi bisakah kau menolongku?”
“ Baiklah, apa itu?”
“ Tolong sampaikan ke Pak Yokoyama bahwa aku tidak bisa menghadiri kelas nya nanti,”
“ Eh? Kenapa? Kau mau pergi kemana?”
“ Tolong,”
“ Baiklah, baiklah. Tapi berjanjilah bahwa kau akan memberitahuku nanti, ya?”
“ Iya, terima kasih. Aku pergi,” ucap Rino lalu melangkah pergi dari atap.
Kelas hari itu berakhir lebih lambat dari biasanya bagi Ren, ia sudah tak sabar ingin menemui Rino di tempat tinggalnya sore itu. Saat bersiap-siap untuk pergi, Ren dihadang oleh Rie, si anak baru.
“ Permisi nona, aku ingin lewat,”
“ Apakah kau tahu kemana tuan Sashihara pergi? Aku melihat kalian berdua pergi bersama tadi,” Tanya Rie.
“ Mengenai itu, dia pulang duluan tadi. Dia tidak enak badan,” bohong Ren.
“ Oh ternyata begitu, baiklah. Ini, dia meninggalkan buku catatannya di atas meja tadi,” ucap Rie sambil menyodorkan sebuah buku catatan kepada Ren.
“ Bisakah kau memberikan ini kepadanya?” Tanya Rie.
“ Baiklah,” ucap Ren sambil mengambil buku itu.
“ Terima kasih,” ucap Rie sambil tersenyum.
“ Tetapi kenapa tidak kau saja yang mengembailkannya kepada Rino besok pagi?” Tanya Ren.
“ Itu… Dia terlihat tidak nyaman berada di dekatku,” jawab Rie sambil menundukkan kepalanya.
“ Dia terlihat gelisah dan tidak tenang sepanjang kelas tadi, aku berusaha untuk membuka pembicaraan dengannya tapi tidak menerima tanggapan apapun, jangankan menanggapi menatapku saja dia tidak mau,” keluh Rie.
“ Sabar saja, dia begitu ke semua orang,” kata Ren sambil menepuk-nepuk kepala Rie.
“ Baiklah, aku harus pergi sekarang, supirku sudah menunggu di luar,” kata Rie lalu undur diri.
Setelah itu, Ren memasukkan buku catatan Rino ke dalam tas nya lalu bergegas menuju tempat tinggal Rino. Bahkan di dalam perjalanan pun sudah banyak pertanyaan dalam benak Ren yang siap dilimpahkan kepada Rino setibanya ia di tempat tinggal Rino nantinya.
Begitu setibanya di tujuan, Ren langung masuk kedalam tanpa mengucapkan salam apapun seperti yang biasanya dia lakukan. Ren mendapati Rino sedang duduk sambil menutupi wajahnya.
“ Rino... Kau berhutang penjelasan padaku,” ucap Ren seraya duduk disamping Rino.
“ Aku tidak tahu harus mulai menceritakannya padamu darimana,”
“ Pelan-pelan saja, aku siap mendengarkan semua ceritamu walaupun jika itu berarti aku harus duduk disini selama 2 hari penuh,”
“ Omong besar seperti biasanya,” ucap Rino.
“ Baiklah akan kuceritakan, pasang telingamu baik-baik karena aku hanya akan menceritakannya sekali,”
“ Iya, baiklah. Kau cerewet sekali,” ucap Ren mendengus.
Osaka, Jepang, XX-XX-19XX
“ Tidak… tolong maafkan kami,” pinta seorang ibu sambil memeluk anaknya yang berumur 7 tahun.
“ Hahahaha…” tawa seorang pria yang terdengar menggema di seluruh ruangan.
“Apa kau bilang? Maaf? Apa kau pikir dengan meminta maaf kau dapat mengembalikan nyawa ayahku yang telah kau dan suamimu renggut? Jangan bodoh nyonya Sashihara,” ucap pria itu sambil mengeratkan pegangannya terhadap sebilah pisau ditangannya.
Pria itu lalu melangkah perlahan, mendekati ibu dan anak itu.
“ Jangan mendekat, aku mohon,” pinta sang ibu sambil megeratkan pelukannya terhadap si anak.
“ Aku yakin kau masih memiliki hati nurani, kau boleh melakukan apa saja kepadaku tapi tolong lepaskan anakku,”
Pria itu berhenti melangkah lalu menatap tajam ke arah anak itu.
“ Aku juga seusiamu dulu, ketika perusahaan ayahku bangkrut karena perbuatan ayahmu. Apa kau tau betapa menderitanya keluargaku saat itu? Ayahku yang merasa malu karena ia bangkrut memutuskan untuk mengakhiri nyawanya sendiri,” jelas pria itu. Dalam perkataanya tersirat perasaan sedih yang mendalam, bercampur dengan rasa benci dan amarah.
“ Lalu setelah ayahku meninggal, ibuku berusaha mati-matian untuk menghidupi aku dan adikku,” ucap pria itu sambil tersenyum.
“ Tapi itu tidak bertahan lama, kau tahu kenapa?” Tanya si pria kepada anak kecil yang berusaha mati-matian untuk tidak meneteskan air matanya itu.
“ Ibuku menjadi gila dan membawa adikku untuk menabrak sebuah kereta api,” ucap si pria yang diikuti oleh tawanya yang menggelegar.
“ Apa kau tahu betapa menderitanya aku saat itu? Coba bayangkan, seorang anak berumur 7 tahun harus kehilangan keluarganya dan harus berjuang sendiri untuk mempertahankan hidupnya,” ucap pria itu. Raut kesedihan terpancar diwajahnya.
Sebuah keheningan yang menyesakkan memenuhi ruangan itu. Yang terdengar hanyalah isakan tangis dari seorang ibu muda yang sedang berdoa untuk keselamatan putranya tercinta. Keheningan yang berlangsung sekitar beberapa menit itupun dipecahkan oleh tawa dari si pria.
“ Hahahahaha… Bagaimana jika aku membuatmu berada dalam posisiku adik kecil?” Tanya pria itu sambil tersenyum kejam.
“ Dengan begitu kau akan merasakan penderitaan yang aku rasakan, bukan?” lanjutnya.
“ Tapi aku akan membuatmu merasakan sakit yang lebih daripada apa yang kurasakan,”
Pria itu lalu melangkah perlahan, mendekati sang ibu.
Setelahnya yang terdengar hanyalah teriakan seorang wanita yang melengking tajam dan diikuti oleh sebuah gelak tawa seorang pria yang telah membalaskan dendamnya.
Tokyo, Jepang, XX-XX-20XX
“ Eh?” ucap Ren bingung.
“ Itu bukannlah tanggapan yang tepat,” Rino mendengus.
“ Aku tidak tau mau mengatakan apa,” Ren berkata sambil memijat pelipis kepalanya yang terasa menegang setelah mendengar cerita Rino.
“ Jadi, kau kehilangan ibumu?” Tanya Ren dengan hati-hati, tidak ingin menyentuh luka lama Rino.
“ Tidak, hari itu aku tidak hanya kehilangan ibuku, aku juga kehilangan ayahku,” jawab Rino singkat.
“ Eh?”
“ Hari itu ayahku juga di bunuh di tempat yang sama, hanya saja ruangannya berbeda, ibuku berusaha membawaku kabur tapi kami justru terjebak di ruangan sempit itu,” lanjut Rino.
“ Kau mengatakannya seolah-olah itu bukanlah hal yang besar,” ucap Ren.
“ Itu adalah hal besar tapi dulu, sekarang setelah bertahun-tahun berlalu itu hanyalah sebuah kenangan pahit yang perlu untuk dilupakan,” Rino berkata sambil tersenyum pahit.
“ Lalu apa hubungannya dengan si anak baru?” Tanya Ren.
“ Rie, tidak, anak baru itu adalah teman masa kecilku,” jawab Ren singkat.
“ Eh?”
“ Katakan eh sekali lagi maka kau akan ku usir keluar,” ucap Rino ketus.
“Kalau begitu, apakah si anak baru juga mengetahui tentang orang tua mu?” Tanya Ren tanpa memperdulikan ancaman Rino.
“ Tentu saja,” jawab Rino.
“ Lalu mengapa-“
“ Diam dan dengarkan ceritaku,” potong Rino.
Osaka, Jepang, XX-XX-19XX
“ Sssh… Tenanglah Rino, aku disini,” ucap seorang anak perempuan sambil menepuk pundak seorang anak laki-laki yang sedang menangis.
“ Aku merindukan ibu, aku mau ibu,” ucap anak laki-laki itu di tengah tengah tangisnya.
“ Ibumu sekarang berada di tempat yang jauh, di tempat yang indah, bahkan lebih indah dari taman keluargamu itu,” ucap sang anak perempuan, berusaha untuk menghibur.
“ Benarkah? Dimana itu? Aku ingin ke sana,” ucap anak laki-laki itu sambil memegang tangan anak perempuan itu erat.
“ Itu tempat yang khusus Rino, tidak sembarangan orang yang bisa kesana. Nanti jika saatnya tiba, aku dan kau juga akan pergi ke sana suatu saat,” ucap si anak perempuan sambil menghapus air mata anak laki-laki yang berada didepannya.
“ Benarkah? Kita akan kesana?” Tanya anak laki-laki itu, matanya berbinar-binar.
“ Ya, tentu saja. Bukan hari ini ataupun besok tapi kita pasti akan kesana,” ucap si anak perempuan.
“ Kita bersama?” Tanya si anak laki-laki lagi.
“ Ee… kalau masalah itu akupun tidak tahu. Mungkin aku akan pergi duluan atau kau yang pergi duluan,” jawab anak perempuan itu ragu.
“ Tidak mau, kita harus pergi bersama,” ucap anak laki-laki itu sambil cemberut.
“ Baiklah, baiklah. Ayo pergi bersama nanti,” ucap anak perempuan itu, tidak ingin membuat si anak laki-laki kecewa.
“ Kalau begitu ayo kita siap-siap,” ucap anak laki-laki, lalu bangkit berdiri.
“ Untuk apa?” Tanya si anak perempuan bingung.
“ Tentu saja untuk pergi ke tempat itu,” ucap si anak laki-laki itu dengan semangat.
Osaka, Jepang, XX-XX-19XX
“ Rie… Tunggu aku!!!” teriak seorang anak laki-laki sambil mengejar sebuah mobil hitam yang terus melaju tanpa memperdulikan teriakannya.
“ Rie!!! Kenapa kau tiba-tiba pergi begitu saja?” Anak laki-laki itu berteriak, masih berlari mengejar mobil itu tetapi ia mulai kelelahan, napasnya tersenggal-senggal.
Tapi anak laki-laki itu tetap mengejar, ia tidak menyerah sampai akhirnya mobil itu menambah kecepatannya tanpa memperdulikan anak laki-laki itu. Ia tetap berlari tapi keberuntungan benar-benar tidak memihaknya saat itu, ia tersandung oleh kakinya sendiri dan jatuh ke atas tanah. Ia pun mulai menangis, bukan semata-mata karena rasa sakit yang ia dapatkan akibat terjatuh melainkan karena perasaan kecewanya.
Ya, ia benar-benar kecewa terhadap Rie, satu-satunya teman yang ia miliki setelah kematian orang tuanya, satu-satunya orang yang bersedia membagi air mata dan tawa bersamanya, satu-satunya orang yang ia percayai. Rie meninggalkannya tanpa sepatah katapun melainkan selembar surat singkat yang dititipkan ke salah satu pembantu di rumahnya.
Rino, aku minta maaf. Ayahku di pindah tugaskan ke Jerman dan kami harus pindah ke sana. Maaf karena aku tidak mengucapkan salam perpisahan padamu karena aku yakin bahwa suatu saat nanti kita akan kembali bertemu, bukan?
Semangatlah!!! Dan jadilah dokter bedah yang hebat seperti yang kau cita-citakan, berjanjilah padaku bahwa kau tidak akan menyerah, oke? Kalau begitu sampai jumpa lagi…
Teman baikmu, Rie
Bersambung
Halo! Aku penulis baru yang datang dari planet bumi.
Ini cerita bersambung pertamaku dan aku harap kalian menyukainya...
Mohon bantuannya...
Ah, dan latar cerita ini adalah Jepang jadi nama karakter maupun tempatnya bernuansa Jepang.
Terima kasih...
Bukanlah hal yang mudah bagi Ren untuk bisa dekat dengan Rino. Ia membutuhkan kesabaran yang ekstra selama 1 tahun penuh untuk mendekati si calon ahli bedah itu. Ditambah lagi olok-olokan temannya yang menyuruhnya untuk menyerah dalam mendekati Rino. Tapi bukan Ren namanya jika langsung menyerah begitu saja. Hingga pada suatu hari saat ia mengikuti Rino pulang, ia menemukan bahwa Rino, si keturunan orang kaya, tidak tinggal di sebuah rumah yang besar ataupun megah melainkan tinggal di sebuah tempat kos yang sempit dan pengap.
Sejak hari itu, hari dimana Ren mengetahui satu hal baru tentang Rino, Rino pun mulai membuka diri terhadap Ren hingga setahun berlalu dan mereka menjadi sahabat. Selama setahun itu banyak fakta baru yang didapatkan Ren tentang Rino, salah satunya adalah sebuah kenyataan pahit yang di pendam oleh Rino sendiri yang terbongkar dalam sebuah pembicaraan yang berawal dari keingintahuan Ren.
“ Rino?” ucap Ren membuka pembicaraan.
“ Ya?” jawab Rino dengan dingin.
“kenapa kamu tinggal di tempat kumuh seperti ini? Orang tuamu kan kaya raya, kenapa mereka membiarkanmu tinggal disini?” Tanya Ren kepada Rino yang sibuk membaca buku anatominya.
“ Yang kaya kan orang tuaku, lagi pula mereka sudah pergi ke tempat yang jauh,”ucap Rino sambil menoleh ke arah Ren.
“ Eh? Maksudnya?”
“ Bukan urusanmu,” Jawab Rino sambil menggelengkan kepalanya lalu kembali fokus ke buku tebal yang dipegangnya.
“ Ayolah, beritahu aku,” rengek Ren.
“ Itu bukanlah hal yang penting dan aku tidak ingin membicarakan tentang hal itu, pembicaraan ini cukup sampai disini,” jawab Rino dengan nada dingin.
“ Ah… Kau benar benar tidak seru,” ucap Ren dalam kekalahan.
Ren sudah terbiasa diperlakukan seperti itu, jika mereka berdua sedang membahas sesuatu dan Rino menjawabnya dengan “Pembicaraan cukup sampai disini” maka itu pertanda bahwa hal yang mereka bahas sudah terlalu dalam, apalagi jika itu tentang kehidupan pribadi Rino. Bel berbunyi dan itu berarti mereka harus mengucapkan selamat tinggal kepada atap gedung fakultas kedokteran, tempat mereka menghabiskan waktu istirahat dengan berbincang ataupun hanya untuk menatap langit biru yang cerah seraya merasakan hembusan angin.
Para siswa telah bersiap di kursi mereka masing-masing saat dosen mereka memasuki ruangan bersama seorang gadis muda dengan kulit kecoklatan.
“ Perhatian anak-anak, hari ini kita kedatangan seorang teman baru dari Jerman,” ucap sang dosen yang diikuti oleh suara berbisik antarsiswa, terkecuali Rino tentunya. Ia tidak pernah memperdulikan keadaan sekitarnya dan hanya sibuk memperhatikan keluar jendela dari tempat duduknya.
“Perkenalkan nama saya Kitahara Rie, saya sebenarnya berasal dari Jepang tapi karena pekerjaan ayah saya, kami pindah ke Jerman, mohon bantuannya,” ucap sang gadis lalu membungkukkan badannya untuk memberi salam.
Rino yang mendengar nama yang tidak asing itu langsung melemparkan tatapannya ke sumber suara untuk memastikan. Ia terlihat terkejut dan tanpa disengaja tatapan mereka bertemu, Rino langsung membuang wajahnya kembali untuk melihat keluar jendela dan meninggalkan kebingungan di hati Rie.
“ Baiklah, nona Kitahara anda boleh duduk di belakang di samping tuan Sashihara,” ucap sang dosen.
Rie hanya mengangguk dan mulai melangkah ke arah kursi yang dimaksud, sebelum duduk ia menyempatkan diri untuk menyapa teman yang akan menjadi teman semeja nya itu.
“ Selamat pagi tuan Sashihara, aku akan banyak merepotkanmu mulai sekarang jadi mohon bantuannya,” sapa Rie sopan.
Namun, Rino tidak memberikan tanggapan apapun dan tetap menatap keluar jendela. Setelah tidak mendapat jawaban apapun, Rie memutuskan untuk duduk dan mengeluarkan buku beserta alat tulisnya untuk persiapan belajar.
Kelas berlangsung seperti biasanya bagi siswa-siswi lain terkecuali bagi Rino. Ia tidak bisa fokus selama pelajaran berlangsung. Saat bel berbunyi untuk menandakan kelas pertama selesai, Rino dengan terburu-buru pergi tanpa membereskan peralatan tulisnya. Ren yang kebingungan terhadap kelakuan tiba-tiba Rino pun langsung menyusulnya ke atap gedung.
“ Hey… Rino, ada apa? Mengapa kau kelihatan pucat?” Ren mulai menghujani Rino dengan pertanyaan setibanya mereka di atap gedung.
Rino tidak menanggapi, wajahnya memucat, tangannya berkeringat menunjukkan luapan emosi di dalam dirinya.
“ Hey… Jawab aku, kenapa kau diam saja? Apa kau terkena diare?” Ren kembali bertanya.
“ Rie…” gumam Rino.
“ Rie? Anak baru itu? Kau mengenalnya?” tanya Ren.
“ Tidak,” jawab Rino dingin.
“ Lalu?”
“ Aku akan menceritakannya kepadamu nanti, tapi bisakah kau menolongku?”
“ Baiklah, apa itu?”
“ Tolong sampaikan ke Pak Yokoyama bahwa aku tidak bisa menghadiri kelas nya nanti,”
“ Eh? Kenapa? Kau mau pergi kemana?”
“ Tolong,”
“ Baiklah, baiklah. Tapi berjanjilah bahwa kau akan memberitahuku nanti, ya?”
“ Iya, terima kasih. Aku pergi,” ucap Rino lalu melangkah pergi dari atap.
Kelas hari itu berakhir lebih lambat dari biasanya bagi Ren, ia sudah tak sabar ingin menemui Rino di tempat tinggalnya sore itu. Saat bersiap-siap untuk pergi, Ren dihadang oleh Rie, si anak baru.
“ Permisi nona, aku ingin lewat,”
“ Apakah kau tahu kemana tuan Sashihara pergi? Aku melihat kalian berdua pergi bersama tadi,” Tanya Rie.
“ Mengenai itu, dia pulang duluan tadi. Dia tidak enak badan,” bohong Ren.
“ Oh ternyata begitu, baiklah. Ini, dia meninggalkan buku catatannya di atas meja tadi,” ucap Rie sambil menyodorkan sebuah buku catatan kepada Ren.
“ Bisakah kau memberikan ini kepadanya?” Tanya Rie.
“ Baiklah,” ucap Ren sambil mengambil buku itu.
“ Terima kasih,” ucap Rie sambil tersenyum.
“ Tetapi kenapa tidak kau saja yang mengembailkannya kepada Rino besok pagi?” Tanya Ren.
“ Itu… Dia terlihat tidak nyaman berada di dekatku,” jawab Rie sambil menundukkan kepalanya.
“ Dia terlihat gelisah dan tidak tenang sepanjang kelas tadi, aku berusaha untuk membuka pembicaraan dengannya tapi tidak menerima tanggapan apapun, jangankan menanggapi menatapku saja dia tidak mau,” keluh Rie.
“ Sabar saja, dia begitu ke semua orang,” kata Ren sambil menepuk-nepuk kepala Rie.
“ Baiklah, aku harus pergi sekarang, supirku sudah menunggu di luar,” kata Rie lalu undur diri.
Setelah itu, Ren memasukkan buku catatan Rino ke dalam tas nya lalu bergegas menuju tempat tinggal Rino. Bahkan di dalam perjalanan pun sudah banyak pertanyaan dalam benak Ren yang siap dilimpahkan kepada Rino setibanya ia di tempat tinggal Rino nantinya.
Begitu setibanya di tujuan, Ren langung masuk kedalam tanpa mengucapkan salam apapun seperti yang biasanya dia lakukan. Ren mendapati Rino sedang duduk sambil menutupi wajahnya.
“ Rino... Kau berhutang penjelasan padaku,” ucap Ren seraya duduk disamping Rino.
“ Aku tidak tahu harus mulai menceritakannya padamu darimana,”
“ Pelan-pelan saja, aku siap mendengarkan semua ceritamu walaupun jika itu berarti aku harus duduk disini selama 2 hari penuh,”
“ Omong besar seperti biasanya,” ucap Rino.
“ Baiklah akan kuceritakan, pasang telingamu baik-baik karena aku hanya akan menceritakannya sekali,”
“ Iya, baiklah. Kau cerewet sekali,” ucap Ren mendengus.
Osaka, Jepang, XX-XX-19XX
“ Tidak… tolong maafkan kami,” pinta seorang ibu sambil memeluk anaknya yang berumur 7 tahun.
“ Hahahaha…” tawa seorang pria yang terdengar menggema di seluruh ruangan.
“Apa kau bilang? Maaf? Apa kau pikir dengan meminta maaf kau dapat mengembalikan nyawa ayahku yang telah kau dan suamimu renggut? Jangan bodoh nyonya Sashihara,” ucap pria itu sambil mengeratkan pegangannya terhadap sebilah pisau ditangannya.
Pria itu lalu melangkah perlahan, mendekati ibu dan anak itu.
“ Jangan mendekat, aku mohon,” pinta sang ibu sambil megeratkan pelukannya terhadap si anak.
“ Aku yakin kau masih memiliki hati nurani, kau boleh melakukan apa saja kepadaku tapi tolong lepaskan anakku,”
Pria itu berhenti melangkah lalu menatap tajam ke arah anak itu.
“ Aku juga seusiamu dulu, ketika perusahaan ayahku bangkrut karena perbuatan ayahmu. Apa kau tau betapa menderitanya keluargaku saat itu? Ayahku yang merasa malu karena ia bangkrut memutuskan untuk mengakhiri nyawanya sendiri,” jelas pria itu. Dalam perkataanya tersirat perasaan sedih yang mendalam, bercampur dengan rasa benci dan amarah.
“ Lalu setelah ayahku meninggal, ibuku berusaha mati-matian untuk menghidupi aku dan adikku,” ucap pria itu sambil tersenyum.
“ Tapi itu tidak bertahan lama, kau tahu kenapa?” Tanya si pria kepada anak kecil yang berusaha mati-matian untuk tidak meneteskan air matanya itu.
“ Ibuku menjadi gila dan membawa adikku untuk menabrak sebuah kereta api,” ucap si pria yang diikuti oleh tawanya yang menggelegar.
“ Apa kau tahu betapa menderitanya aku saat itu? Coba bayangkan, seorang anak berumur 7 tahun harus kehilangan keluarganya dan harus berjuang sendiri untuk mempertahankan hidupnya,” ucap pria itu. Raut kesedihan terpancar diwajahnya.
Sebuah keheningan yang menyesakkan memenuhi ruangan itu. Yang terdengar hanyalah isakan tangis dari seorang ibu muda yang sedang berdoa untuk keselamatan putranya tercinta. Keheningan yang berlangsung sekitar beberapa menit itupun dipecahkan oleh tawa dari si pria.
“ Hahahahaha… Bagaimana jika aku membuatmu berada dalam posisiku adik kecil?” Tanya pria itu sambil tersenyum kejam.
“ Dengan begitu kau akan merasakan penderitaan yang aku rasakan, bukan?” lanjutnya.
“ Tapi aku akan membuatmu merasakan sakit yang lebih daripada apa yang kurasakan,”
Pria itu lalu melangkah perlahan, mendekati sang ibu.
Setelahnya yang terdengar hanyalah teriakan seorang wanita yang melengking tajam dan diikuti oleh sebuah gelak tawa seorang pria yang telah membalaskan dendamnya.
Tokyo, Jepang, XX-XX-20XX
“ Eh?” ucap Ren bingung.
“ Itu bukannlah tanggapan yang tepat,” Rino mendengus.
“ Aku tidak tau mau mengatakan apa,” Ren berkata sambil memijat pelipis kepalanya yang terasa menegang setelah mendengar cerita Rino.
“ Jadi, kau kehilangan ibumu?” Tanya Ren dengan hati-hati, tidak ingin menyentuh luka lama Rino.
“ Tidak, hari itu aku tidak hanya kehilangan ibuku, aku juga kehilangan ayahku,” jawab Rino singkat.
“ Eh?”
“ Hari itu ayahku juga di bunuh di tempat yang sama, hanya saja ruangannya berbeda, ibuku berusaha membawaku kabur tapi kami justru terjebak di ruangan sempit itu,” lanjut Rino.
“ Kau mengatakannya seolah-olah itu bukanlah hal yang besar,” ucap Ren.
“ Itu adalah hal besar tapi dulu, sekarang setelah bertahun-tahun berlalu itu hanyalah sebuah kenangan pahit yang perlu untuk dilupakan,” Rino berkata sambil tersenyum pahit.
“ Lalu apa hubungannya dengan si anak baru?” Tanya Ren.
“ Rie, tidak, anak baru itu adalah teman masa kecilku,” jawab Ren singkat.
“ Eh?”
“ Katakan eh sekali lagi maka kau akan ku usir keluar,” ucap Rino ketus.
“Kalau begitu, apakah si anak baru juga mengetahui tentang orang tua mu?” Tanya Ren tanpa memperdulikan ancaman Rino.
“ Tentu saja,” jawab Rino.
“ Lalu mengapa-“
“ Diam dan dengarkan ceritaku,” potong Rino.
Osaka, Jepang, XX-XX-19XX
“ Sssh… Tenanglah Rino, aku disini,” ucap seorang anak perempuan sambil menepuk pundak seorang anak laki-laki yang sedang menangis.
“ Aku merindukan ibu, aku mau ibu,” ucap anak laki-laki itu di tengah tengah tangisnya.
“ Ibumu sekarang berada di tempat yang jauh, di tempat yang indah, bahkan lebih indah dari taman keluargamu itu,” ucap sang anak perempuan, berusaha untuk menghibur.
“ Benarkah? Dimana itu? Aku ingin ke sana,” ucap anak laki-laki itu sambil memegang tangan anak perempuan itu erat.
“ Itu tempat yang khusus Rino, tidak sembarangan orang yang bisa kesana. Nanti jika saatnya tiba, aku dan kau juga akan pergi ke sana suatu saat,” ucap si anak perempuan sambil menghapus air mata anak laki-laki yang berada didepannya.
“ Benarkah? Kita akan kesana?” Tanya anak laki-laki itu, matanya berbinar-binar.
“ Ya, tentu saja. Bukan hari ini ataupun besok tapi kita pasti akan kesana,” ucap si anak perempuan.
“ Kita bersama?” Tanya si anak laki-laki lagi.
“ Ee… kalau masalah itu akupun tidak tahu. Mungkin aku akan pergi duluan atau kau yang pergi duluan,” jawab anak perempuan itu ragu.
“ Tidak mau, kita harus pergi bersama,” ucap anak laki-laki itu sambil cemberut.
“ Baiklah, baiklah. Ayo pergi bersama nanti,” ucap anak perempuan itu, tidak ingin membuat si anak laki-laki kecewa.
“ Kalau begitu ayo kita siap-siap,” ucap anak laki-laki, lalu bangkit berdiri.
“ Untuk apa?” Tanya si anak perempuan bingung.
“ Tentu saja untuk pergi ke tempat itu,” ucap si anak laki-laki itu dengan semangat.
Osaka, Jepang, XX-XX-19XX
“ Rie… Tunggu aku!!!” teriak seorang anak laki-laki sambil mengejar sebuah mobil hitam yang terus melaju tanpa memperdulikan teriakannya.
“ Rie!!! Kenapa kau tiba-tiba pergi begitu saja?” Anak laki-laki itu berteriak, masih berlari mengejar mobil itu tetapi ia mulai kelelahan, napasnya tersenggal-senggal.
Tapi anak laki-laki itu tetap mengejar, ia tidak menyerah sampai akhirnya mobil itu menambah kecepatannya tanpa memperdulikan anak laki-laki itu. Ia tetap berlari tapi keberuntungan benar-benar tidak memihaknya saat itu, ia tersandung oleh kakinya sendiri dan jatuh ke atas tanah. Ia pun mulai menangis, bukan semata-mata karena rasa sakit yang ia dapatkan akibat terjatuh melainkan karena perasaan kecewanya.
Ya, ia benar-benar kecewa terhadap Rie, satu-satunya teman yang ia miliki setelah kematian orang tuanya, satu-satunya orang yang bersedia membagi air mata dan tawa bersamanya, satu-satunya orang yang ia percayai. Rie meninggalkannya tanpa sepatah katapun melainkan selembar surat singkat yang dititipkan ke salah satu pembantu di rumahnya.
Rino, aku minta maaf. Ayahku di pindah tugaskan ke Jerman dan kami harus pindah ke sana. Maaf karena aku tidak mengucapkan salam perpisahan padamu karena aku yakin bahwa suatu saat nanti kita akan kembali bertemu, bukan?
Semangatlah!!! Dan jadilah dokter bedah yang hebat seperti yang kau cita-citakan, berjanjilah padaku bahwa kau tidak akan menyerah, oke? Kalau begitu sampai jumpa lagi…
Teman baikmu, Rie
Bersambung
Halo! Aku penulis baru yang datang dari planet bumi.
Ini cerita bersambung pertamaku dan aku harap kalian menyukainya...
Mohon bantuannya...
Ah, dan latar cerita ini adalah Jepang jadi nama karakter maupun tempatnya bernuansa Jepang.
Terima kasih...