langit_byru
New member
Bicara airborne surveillante radar, tidak usah jauh-jauh. Di negeri ini pun ada barangnya. Masuk kategori top secret dan santer aroma intelijen. Tidak berlebihan, tapi begitulah profil Boeing B737-200 2×9 Surveiller.
Hari itu, 7 November 1972, kapal Jepang Akatsuki Maru mengangkut 1,7 ton limbah nuklir olahan dikawal sebuah kapal perang, bertolak dari Cherbourg, Prancis. Diperkirakan kapal tiba di pelabuhan Tokai, Jepang, awai Januari 1973. Sebagian besar negara yang akan dilalui, termasuk Indonesia, menyatakan protes keras. Kebocorannya bisa merusak lingkungan.
Menurut perhitungan, kapal akan memasuki perairan Indonesia pada 8 Desember. B737 AI-7303 Skadron Udara 5 TNI AU diperintahkan menyisir dari sebelah barat Sumatera sejak 6-15 Desember. Untunglah, kapal pengangkut limbah nuklir itu tidak memasuki wilayah ZEEI Indonesia.
Pernah juga B737 harus berhadapan dengan pesawat F-14 Tomcat dan F-18 Hornet AL AS yang berpangkalan di kapal induk. Cerita ini terjadi pada 4 Mei 2000 ketika B737 AI-7302 mendeteksi sebuah kapal induk pada posisi selatan Natuna dan barat Pontianak. Pesawat pun diturunkan ke ketinggian 15.000 kaki dan berupaya mendekati sampai jarak 12 knot untuk membuat foto. Kapal induk itu memberikan sinyal lampu (strobe light) agar B737 menjauh.
Disebabkan Captain-Pilot Mayor Pnb. Tamsil Gustari Malik ngeyel tidak mau mematuhi sinyal, kapal induk memberangkatkan dua F-14 dan dua F-18. Terjadilah sesuatu yang menggelikan. B737 dipaksa keluar dari areal latihan (wilayah RI) yang tengah digunakan tanpa izin oleh Armada VII.
Tak kalah menyedihkannya, adalah fakta bahwa Indonesia harus kehilangan 20 miliar dollar AS per tahun. Jumlah ini adalah akumulasi dari pencurian ikan, pasir laut, kayu, dan penyelundupan hasil bumi. Jumlahnya hampir setengah APBN, padahal kita punya Boeing 737 si pengawas maritim.
Read More http://militer.co.id/kisah-boeing-737-surveiller-tni-au/
Hari itu, 7 November 1972, kapal Jepang Akatsuki Maru mengangkut 1,7 ton limbah nuklir olahan dikawal sebuah kapal perang, bertolak dari Cherbourg, Prancis. Diperkirakan kapal tiba di pelabuhan Tokai, Jepang, awai Januari 1973. Sebagian besar negara yang akan dilalui, termasuk Indonesia, menyatakan protes keras. Kebocorannya bisa merusak lingkungan.
Menurut perhitungan, kapal akan memasuki perairan Indonesia pada 8 Desember. B737 AI-7303 Skadron Udara 5 TNI AU diperintahkan menyisir dari sebelah barat Sumatera sejak 6-15 Desember. Untunglah, kapal pengangkut limbah nuklir itu tidak memasuki wilayah ZEEI Indonesia.
Pernah juga B737 harus berhadapan dengan pesawat F-14 Tomcat dan F-18 Hornet AL AS yang berpangkalan di kapal induk. Cerita ini terjadi pada 4 Mei 2000 ketika B737 AI-7302 mendeteksi sebuah kapal induk pada posisi selatan Natuna dan barat Pontianak. Pesawat pun diturunkan ke ketinggian 15.000 kaki dan berupaya mendekati sampai jarak 12 knot untuk membuat foto. Kapal induk itu memberikan sinyal lampu (strobe light) agar B737 menjauh.
Disebabkan Captain-Pilot Mayor Pnb. Tamsil Gustari Malik ngeyel tidak mau mematuhi sinyal, kapal induk memberangkatkan dua F-14 dan dua F-18. Terjadilah sesuatu yang menggelikan. B737 dipaksa keluar dari areal latihan (wilayah RI) yang tengah digunakan tanpa izin oleh Armada VII.
Tak kalah menyedihkannya, adalah fakta bahwa Indonesia harus kehilangan 20 miliar dollar AS per tahun. Jumlah ini adalah akumulasi dari pencurian ikan, pasir laut, kayu, dan penyelundupan hasil bumi. Jumlahnya hampir setengah APBN, padahal kita punya Boeing 737 si pengawas maritim.
Read More http://militer.co.id/kisah-boeing-737-surveiller-tni-au/