Kisah Diponegoro Dikubur Bersama Kerisnya

spirit

Mod
343a81a5-3ee1-4e09-9969-55e858ee5518_169.jpeg

“Keris paling penting adalah Kiai Ageng Bondoyudo. Paling berharga dan punya isian.”

Keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro dikembalikan kepada Indonesia oleh Belanda. Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung menerima keris itu ketika menerima kunjungan Raja dan Ratu Belanda, Willem Alexander dan Maxima, di Istana Bogor, Selasa, 10 Maret 2020. Kenapa keris Diponegoro itu sempat hilang dan baru dikembalikan bersama kunjungan Willem dan Maxima? Padahal keris itu berada di Belanda selama 189 tahun. Bahkan selama 130 tahun lebih keris itu nyaris hilang catatannya saat menjadi koleksi Museum Volkenkunde (Museum Etnologi) Leiden. “Itu keteledoran yang luar biasa dari pihak Museum Volkenkunde, Leiden. Mungkin disengaja,” kata sejarawan dan peneliti Diponegoro, Peter Brian Ramsey Carey, kepada detikX, Sabtu, 7 Maret 2020.

Memang, Museum Volkenkunde mengumpulkan pakar dari Belanda, Swiss, dan Indonesia untuk meneliti secara saksama keberadaan keris itu sejak 2017. Baru awal 2019, mereka menduga kuat keris Kiai Nogo Siluman milik Diponegoro masih tersimpan di museum itu dengan nomor RV-360-8084. Peter menduga ada motif politik dan ekonomi ketika keris itu diserahkan bersamaan dengan kunjungan Raja Belanda ke Indonesia. “Delegasi perdagangan Belanda yang besar yang dikirim ke bekas jajahan Belanda menjelang kunjungan pasangan kerajaan menggarisbawahi arti sebenarnya,” ungkap Peter.

Dugaan Peter tampaknya terbukti. Dalam pidatonya saat bertemu dengan Jokowi di Istana Bogor, Raja Willem menyampaikan permintaan maaf dan penyesalan atas kekerasan yang dilakukan Belanda pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Pada masa-masa pasca-Proklamasi itu, banyak peristiwa eksekusi tanpa pengadilan yang dilakukan tentara Belanda terhadap rakyat Indonesia. Selain itu, sebuah kesepakatan investasi sebesar Rp 14 triliun terjalin antara Indonesia dan Belanda.

jokowi-dan-willem-w96y04.png

Presiden Joko Widodo menerima kunjungan kenegaraan Raja Willem Alexander dan Ratu Maxima, Selasa (10/3).
Foto: dok. Biro Pers Presiden

“Pada tahun-tahun setelah diumumkannya Proklamasi, terjadi sebuah perpisahan yang menyakitkan dan mengakibatkan banyak korban jiwa. Selaras dengan pernyataan pemerintahan saya sebelumnya, saya ingin menyampaikan penyesalan saya dan permohonan maaf untuk kekerasan yang berlebihan dari pihak Belanda di tahun-tahun tersebut," ujar Raja Willem.

Sementara itu, sejarawan Asep Kambali berharap, bila memang ada hubungan antara pengembalian keris Kiai Nogo Siluman dengan kunjungan Raja dan Ratu Belanda ke Indonesia, hal itu bisa dimanfaatkan Jokowi untuk melobi agar benda pusaka Diponegoro lainnya yang masih berada di Belanda dikembalikan semua. “Kalau memang betul ada kaitannya, saya berharap semua kebudayaan dan kekayaan Indonesia yang dulu dibawa atau dijarah mereka kembalikan,” ungkap pendiri Komunitas Historia Indonesia (KHI) itu kepada detikX, Sabtu, 7 Maret 2020.

Dalam buku Peter berjudul The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Jawa, 1785-1855 pada 2008 atau buku versi bahasa Indonesia Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan di Jawa, 1785-1855 pada 2011, banyak disebutkan senjata dan pusaka yang dimiliki Diponegoro. Sebagian dari senjata-senjata itu diserahkan kepada putra dan putrinya. Namun banyak pula senjata yang dirampas oleh pasukan Belanda.

Dalam buku itu disebutkan Diponegoro memberikan keris Kiai Bromo Kedali dan tombak Kiai Rodhan kepada Pangeran Diponegoro II (Raden Mas Muhammad Ngarip/Abdul Majid). Lalu keris Kiai Habit dan tombak Kiai Gagasono (Raden Mas Joned), keris Kiai Blabar dan tombak Kiai Mundingwangi (Raden Mas Raib), keris Kiai Wreso Gemilar dan tombak Kiai Tejo (Raden Ayu Mertonegoro), keris Kiai Hatim dan tombak Kiai Simo (Raden Ayu Joyokusumo), tombak Kiai Dipoyono (Raden Ajeng Impun), serta tombak Kiai Bandung (Raden Ajeng Munteng).

peter-carey-2-if5wxe.png

Peter Carey
Foto: Feri Agus Setyawan/CNN Indonesia

Kecuali satu keris yang tetap dirawat oleh Diponegoro sendiri, yaitu Kiai Ageng Bondoyudo. Keris ini dibawa ke mana pun, baik dalam Perang Jawa (Java Oorlog) 1825-1830, maupun saat pengasingan di Manado dan Makassar. Bahkan keris itu ikut dikubur bersama jasad Diponegoro ketika wafat pada 8 Januari 1855. Keris itu merupakan peleburan dari tiga pusaka, yaitu Kiai Surotomo, tombak Kiai Barutobo, dan keris Kiai Abijoyo. Menurut Babad Keraton Yogyakarta, Diponegoro juga memiliki keris Wiso Bintulu (racun aneka warna), tapi dikembalikan karena diminta Ratu Ageng (ibu Hamengku Buwono IV) pada 1820.

“Keris paling penting adalah Kiai Ageng Bondoyudo. Paling berharga dan punya isian. Sampai ia berpesan sebelum meninggal bahwa keris itu tidak boleh sembarangan diwariskan dan harus ikut dikuburkan bersamanya, karena di keris itulah dia punya aji-aji dan kekuatan gaib yang tidak layak berada di tangan orang lain,” jelas Peter.

Ketika Diponegoro berada di daerah pengasingan Manado, keris Kiai Ageng Bondoyudo dibawa. Malah Diponegoro sempat membeli warangka (sarung) keris terbuat dari emas halus (sepuhan) untuk pusakanya itu. “Selubung keris emas dijual di pelelangan dan harganya 214,50 gulden atau setara dengan Rp 33,4 juta dalam bentuk uang hari ini. Itu nilainya sepertinya dari tunjangan bulanan Diponegoro 600 gulden,” ujar Peter lagi.

Belanda mengincar keris-keris Diponegoro karena, selain sebagai senjata, dianggap memiliki nilai yang tinggi dengan sarung (warangka) emas. Beberapa barang itu sudah ada yang dikembalikan ke Indonesia, seperti tombak Kiai Rodhan dan pelana kuda yang kini sudah disimpan di Museum Nasional. Pada 2016, Weltmuseum Wien (Museum Dunia Wina) Austria menyimpan keris Kiai Omyang milik Diponegoro. Di manakah sekarang senjata-senjata itu berada?

keris-naga-siluman-f1xf7c.png

Keris Kiai Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro.
Foto: dok pribadi sejarawan Sri Margana

“Setahu saya, ada dua surat asli Pangeran Diponegoro yang ditulis dalam aksara Jawa saat berada Stadhuis atau Balai Kota Batavia (sekarang Museum Fatahillah Jakarta) di Akademie Militaire Nationaal (AMN) Kerajaan di Breda dan tali kuda Diponegoro di Museum Bonbeek Arnhem yang belum dikembalikan. There maybe other artifacts but I don’t know of them,” pungkas Peter.

Secara umum, terkait benda bersejarah milik Indonesia, menurut Asep, sejak 1978 pemerintah memang mendapatkan hibah pengembalian benda bersejarah. Terakhir ada 1.500 koleksi di Museum Nusantara di Delft, Belanda, yang sudah dikembalikan. Jadi sudah ada beberapa kali proses pengembalian, termasuk benda bersejarah milik Diponegoro, seperti keris Kiai Nogo Siluman.

Asep juga mendengar desas-desus banyaknya benda pusaka atau bersejarah, termasuk milik peninggalan Diponegoro, yang diperjual-belikan. Namun ia mengaku tak pernah secara langsung mendengar keturunan Diponegoro melakukan hal seperti itu secara langsung. Tapi praktik jual-beli benda berharga, termasuk aset tanah dan rumah pahlawan era Kemerdekaan 1945, itu kerap terjadi. “Itu yang kita sesalkan, karena keauntentikan, keaslian, kemudian cerita sejarah, juga akan kabur kalau artefak dan memorabilia (peristiwa yang patut dikenang) hilang. Kalau sampai hilang dan dibawa kolektor sampai dijual ke luar negeri, ya sudahlah, kita nggak punya kekuatan apa pun,” pungkas Asep.




 
Back
Top