Kalina
Moderator
Hanya Bisa Berlindung dan Kumandangkan Azan
Terjangan angin puting beliung di Desa Brumbungan Lor, Gending Kabupaten Probolinggo Jumat (9/2), menyisakan kesedihan. Delapan rumah rusak parah. Salah satunya milik pasangan Saleh, 27, dan Umi Kulsum, 27. Bagaimana Saleh mengingat kejadian tersebut?
AGUNG WIDODO, Gending
---
Jumat pukul 15.00. Piring berisi nasi itu masih di genggaman Saleh. Dengan santai dia berjalan ke arah teras rumah. Hawa sejuk karena mendung sejak siang membuatnya ingin makan di depan rumah.
Baru satu suapan masuk mulut, hujan deras mulai mengguyur mengguyur. Beberapa menit kemudian, matanya terbelalak ketika melihat sebuah pusaran angin besar dari kejauhan. Rumahnya memang tepat di pinggir sawah. Tak ada satupun bangunan yang menghalangi pandangannya hingga titik terjauh.
Diamatinya sekilas pusaran itu. Ternyata semakin lama semakin mendekat ke arah pemukiman. Dia ingat, di dalam rumah masih ada tiga orang. Istrnya, Umi Kulsum, Abdullah, anak satu-satunya, dan mertuanya.
Saleh bergegas masuk dan mengunci pintu rumah. Piringnya ditaruh begitu saja di lantai teras. Ketika hendak mengabarkan akan datangnya puting beliung, sang angin sudah lebih dulu mengancamnya. Jendela kaca yang sudah tertutup mendadak terbuka seketika itu karena hantaman angin.
Patahnya cabang-cabang pohon di sebelah rumahnya semakin keras terdengar. Hingga puncaknya menerbangkan sebagian besar atap rumahnya dan memorak-porandakan dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu.
"Allahuakbar Allahuakbar," Saleh mengumandangkan azan dengan nada bergetar. Sementara angin masih terasa kencang bertiup. Istrinya yang mulai kebingungan dimintanya membaca kalimat salawat. Ibu dan anaknya disuruhnya berdoa sambil berlindung.
"Ketika musibah terjadi yang saya tahu hanyalah menyuarakan azan. Melihat angin seperti itu kami sudah tidak bisa kemana-mana lagi selain berlindung di dalam rumah sambil berdoa," ujar Saleh.
Perasaannya mulai tenang seusai melafadzkan azan itu. Berangsur angin mulai berlalu. "Kejadiannya sangat cepat, sekitar dua menit," lanjutnya. Setelah dirasa aman, barulah keluarganya memberanikan diri keluar rumah meminta tolong.
"Para tetangga sebenarnya melihat angin menghancurkan rumah kami. Tapi mereka juga takut untuk keluar rumah. Kata mereka, titik air hujan yang datang bersama angin itu sebesar kerikil dan terasa menyakitkan saat tersentuh kulit," tutur pria yang berprofesi sebagai buruh selep ini.
Seumur hidup dirinya mengaku baru pertama kali merasakan kedahsyatan angin maut itu. "Sebelumnya hanya dengar cerita saja tentang adanya angin puting beliung ini. Kalau dulu, angin seperti ini biasa disebut lak-palak taun oleh warga," jelasnya.
Walau sudah menghancurkan rumahnya, keluarga Saleh masih bisa bersyukur. Sebab, dalam peristiwa itu tidak ada satupun anggota keluarganya yang terluka. Apalagi ibunya sudah uzur usianya.
Umi Kulsum, istrinya berkata, "Untungnya angin merobohkan pohon yang jauh dari rumah. Saya tidak bisa bayangkan kalau yang roboh itu adalah dua pohon besar yang ada di depan rumah ini, sedangkan kami saat itu masih berkumpul di dalam rumah".
Kesokan harinya, warga sekitar terlihat bergotong royong membantu pembangunan kembali rumah Saleh. Kayu usuk yang masih utuh, dipakai kembali. Genting-genting yang hancur untuk sementara diganti dengan seng.
Dia mengaku tidak bisa langsung memperbaiki rumahnya karena terkendala dana. Pekerjaannya sebagai buruh selep hanya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari saja. Permintaan bantuan dari pemerintah untuk sekedar perbaikan rumah pun dia sampaikan kepada dua anggota dewan yang berkunjung pagi harinya.
Trauma atas hempasan angin puting beliung itu, Saleh berencana menebang pohon-pohon besar yang ada di sekitar rumahnya. "Lumayan, kalau kayunya di jual bisa buat nambah-nambah biaya perbaikan rumah," kata Saleh.
Jika di hari-hari biasa, sebuah pohon mangga besar oleh para pedagang dihargai Rp 350 ribu. Dia pesimis harga itu akan tetap setinggi itu. Sebab, pada saat yang bersamaan puluhan warga lain di desanya melakukan hal yang sama. Menebang dan menjual kayu.
"Mudah-mudahan saja harganya masih tetap. Sudah tidak ada biaya lagi mas," harapnya.
Terjangan angin puting beliung di Desa Brumbungan Lor, Gending Kabupaten Probolinggo Jumat (9/2), menyisakan kesedihan. Delapan rumah rusak parah. Salah satunya milik pasangan Saleh, 27, dan Umi Kulsum, 27. Bagaimana Saleh mengingat kejadian tersebut?
AGUNG WIDODO, Gending
---
Jumat pukul 15.00. Piring berisi nasi itu masih di genggaman Saleh. Dengan santai dia berjalan ke arah teras rumah. Hawa sejuk karena mendung sejak siang membuatnya ingin makan di depan rumah.
Baru satu suapan masuk mulut, hujan deras mulai mengguyur mengguyur. Beberapa menit kemudian, matanya terbelalak ketika melihat sebuah pusaran angin besar dari kejauhan. Rumahnya memang tepat di pinggir sawah. Tak ada satupun bangunan yang menghalangi pandangannya hingga titik terjauh.
Diamatinya sekilas pusaran itu. Ternyata semakin lama semakin mendekat ke arah pemukiman. Dia ingat, di dalam rumah masih ada tiga orang. Istrnya, Umi Kulsum, Abdullah, anak satu-satunya, dan mertuanya.
Saleh bergegas masuk dan mengunci pintu rumah. Piringnya ditaruh begitu saja di lantai teras. Ketika hendak mengabarkan akan datangnya puting beliung, sang angin sudah lebih dulu mengancamnya. Jendela kaca yang sudah tertutup mendadak terbuka seketika itu karena hantaman angin.
Patahnya cabang-cabang pohon di sebelah rumahnya semakin keras terdengar. Hingga puncaknya menerbangkan sebagian besar atap rumahnya dan memorak-porandakan dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu.
"Allahuakbar Allahuakbar," Saleh mengumandangkan azan dengan nada bergetar. Sementara angin masih terasa kencang bertiup. Istrinya yang mulai kebingungan dimintanya membaca kalimat salawat. Ibu dan anaknya disuruhnya berdoa sambil berlindung.
"Ketika musibah terjadi yang saya tahu hanyalah menyuarakan azan. Melihat angin seperti itu kami sudah tidak bisa kemana-mana lagi selain berlindung di dalam rumah sambil berdoa," ujar Saleh.
Perasaannya mulai tenang seusai melafadzkan azan itu. Berangsur angin mulai berlalu. "Kejadiannya sangat cepat, sekitar dua menit," lanjutnya. Setelah dirasa aman, barulah keluarganya memberanikan diri keluar rumah meminta tolong.
"Para tetangga sebenarnya melihat angin menghancurkan rumah kami. Tapi mereka juga takut untuk keluar rumah. Kata mereka, titik air hujan yang datang bersama angin itu sebesar kerikil dan terasa menyakitkan saat tersentuh kulit," tutur pria yang berprofesi sebagai buruh selep ini.
Seumur hidup dirinya mengaku baru pertama kali merasakan kedahsyatan angin maut itu. "Sebelumnya hanya dengar cerita saja tentang adanya angin puting beliung ini. Kalau dulu, angin seperti ini biasa disebut lak-palak taun oleh warga," jelasnya.
Walau sudah menghancurkan rumahnya, keluarga Saleh masih bisa bersyukur. Sebab, dalam peristiwa itu tidak ada satupun anggota keluarganya yang terluka. Apalagi ibunya sudah uzur usianya.
Umi Kulsum, istrinya berkata, "Untungnya angin merobohkan pohon yang jauh dari rumah. Saya tidak bisa bayangkan kalau yang roboh itu adalah dua pohon besar yang ada di depan rumah ini, sedangkan kami saat itu masih berkumpul di dalam rumah".
Kesokan harinya, warga sekitar terlihat bergotong royong membantu pembangunan kembali rumah Saleh. Kayu usuk yang masih utuh, dipakai kembali. Genting-genting yang hancur untuk sementara diganti dengan seng.
Dia mengaku tidak bisa langsung memperbaiki rumahnya karena terkendala dana. Pekerjaannya sebagai buruh selep hanya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari saja. Permintaan bantuan dari pemerintah untuk sekedar perbaikan rumah pun dia sampaikan kepada dua anggota dewan yang berkunjung pagi harinya.
Trauma atas hempasan angin puting beliung itu, Saleh berencana menebang pohon-pohon besar yang ada di sekitar rumahnya. "Lumayan, kalau kayunya di jual bisa buat nambah-nambah biaya perbaikan rumah," kata Saleh.
Jika di hari-hari biasa, sebuah pohon mangga besar oleh para pedagang dihargai Rp 350 ribu. Dia pesimis harga itu akan tetap setinggi itu. Sebab, pada saat yang bersamaan puluhan warga lain di desanya melakukan hal yang sama. Menebang dan menjual kayu.
"Mudah-mudahan saja harganya masih tetap. Sudah tidak ada biaya lagi mas," harapnya.