ROBI
New member
Yasmin : Beranjak dari titik nol
Journey to Islam Oleh : Redaksi 17 Apr 2007 - 1:30 am
Cerita ini kisah dari salah seorang teman mualaf saya. Tulisan lama dan tadinya ditulis untuk sebuah majalah wanita milik teman eks Tsukuba. Sarat dengan hikmah... ada baiknya menjadi sarana pembelajaran buat kita semua. Selamat menyimak... (tarik nafas... jangan lupa sedia minuman & snack, karena yg dibaca bakal puanjaang..!!
Saat itu bulan November 2004, muslimin dan muslimah dari berbagai negara berdatangan untuk menjalankan sholat Ied. Melihat seorang ibu yang tengah sibuk membenahi perlengkapan dua orang anaknya yang menggunakan jilbab kecil ala Indonesia, saya bersama beberapa teman memberanikan diri untuk bertanya dalam bahasa Indonesia kepadanya. “Yasmin…”, begitu muslimah ini memperkenalkan dirinya pada saat pertama kali kami bertemu di satu-satunya musholla di Tsukuba, Ibaraki, Jepang. Ternyata Yasmin ini bersuamikan orang Indonesia dan tinggal tidak jauh dari Tsukuba.
Nama “Yasmin”, ia dapatkan dari orang tua suaminya yang merasa kesulitan untuk mengucapkan nama jepangnya, Yasuyo. Sudah 6 bulan saya mengenal Yasmin. Kesan saya, dia orang yang mandiri, dan tegas. Kelugasannya dalam berbicara, membuat saya menilai dia mempunyai sifat dasar yang berbeda dengan orang Jepang pada umumnya, yang selama ini saya kenal.
Pertanyaan Yang Mengusik Masa Kecil
Dilahirkan pada tahun 1973 di Tokyo, Satou Yasuyo, merupakan anak pertama dari dua bersaudara di keluarga Satou. Sejak berumur 4 tahun, Yasuyo kecil pindah ke Chiba, sebuah propinsi yang bersebelahan dengan Tokyo. Seperti anak-anak Jepang pada umumnya, Yasuyo tidak mengenal adanya kekuatan Yang Maha Kuasa.
Ayah dan ibu, sekolah maupun lingkungannya tidak memberi ruang untuk hal-hal yang tidak terlihat oleh mata. Walaupun demikian, di dalam pikiran Yasuyo kecil yang gemar dengan permainan puzzle dan menggambar ini, kerap muncul sebersit pertanyaan, “ Mengapa saya bisa hidup? Mengapa saya menjadi perempuan?......” Seiring dengan waktu, pertanyaan demi pertanyaan begitu saja berlalu, tanpa jawaban.
Memasuki dunia sekolah menengah, semakin banyak pertanyaan yang lebih kompleks, berdesakan di dalam pikiran Yasuyo. “ Apabila di dunia ini ada orang yang berbuat baik dan ada yang jahat, lalu apakah berarti dalam kehidupan ini tidak ada keadilan? ”.
Pertanyaan ini dipicu oleh gencarnya kasus ijime (dalam bahasa Inggris “bullying”) di tingkat sekolah dasar hingga menengah di Jepang pada saat itu. Dia melihat bagaimana seorang yang di-ijime ini menjadi tersiksa, tidak mempunyai teman, tidak berani melaporkan kejahilan temannya kepada orang tua apalagi guru di sekolah, bahkan ada yang sampai bunuh diri karena tidak kuat memikul beban sendiri.
Namun, kembali tidak ada jawaban atas pertanyaan yang muncul di pikiran Yasuyo.
Kejenuhan
Lepas dari sekolah menengah atas, Yasuyo memutuskan untuk mendalami bidang fashion. Masuklah ia di sebuah sekolah mode di Tokyo, selama 4 tahun. Lepas dari sekolah tersebut, dia langsung bekerja pada sebuah perusahaan garmen.
Kesibukan pekerjaan, membuat dia harus tinggal menetap di Tokyo, mengikuti perputaran roda kota besar yang penuh sesak dengan kesibukan pekerjaan. Tiada hari tanpa memikirkan pekerjaan.
Setiap langkah selalu berorientasi usaha untuk meningkatkan hasil penjualan pakaian di perusahaan tempatnya bekerja. Suatu hal yang tidak menghasilkan uang, menjadi sia-sia di mata kebanyakan masyarakat bisnis di Jepang.
Di tengah kejenuhan dengan rutinitas tersebut, hati Yasuyo kembali berteriak, “ Bodoh sekali kehidupan seperti ini… Orang-orang hanya memikirkan uang dan uang..”.
Ketidakadilan kehidupan yang menjadi pertanyaannya semasa duduk di bangku smp, kembali mengganggu pikirannya. “ Apabila anak yang dilahirkan dari keluarga yang kaya bisa menikmati hidup dengan mudah, apakah berarti tidak ada keadilan buat anak-anak yang dilahirkan dari keluarga yang miskin ?”.
Apabila pada masa kecilnya, pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benaknya ini tidak pernah diungkapkan kepada orang lain, tetapi kali ini dia mendiskusikannya dengan beberapa teman dekat.
Walaupun kebanyakan teman diskusinya meng-iya-kan pendapat Yasuyo, tetapi diskusi hanya sebatas diskusi. Mereka serasa berada di jurang yang dalam. Mereka tahu kalau keadaan yang mereka jalani tidak baik, tapi mereka tidak kuasa untuk mendaki tebing jurang tersebut. Dan akhirnya, mereka tetap berputar-putar di dalamnya. Apabila kejenuhan datang, pelampiasan sekejap seperti menegak bir dan ke diskotik; itu yang mereka lakukan.
Beranjak dari Titik Nol
Tiga tahun lamanya Yasuyo bertahan dengan pekerjaannya sebagai desainer. Hingga akhirnya dia menyerah kelelahan, dan keluar dari pekerjaannya. Yasuyo menikmati masa-masa yang senggang, bekerja paruh waktu di sebuah department store, hanya sekedar mendapat uang untuk biaya hidup sehari-hari.
Namun, kembali Yasuyo dihadapkan pada kenyataan bahwa waktu yang senggang dan uang yang cukup tidak dapat memberikan “arti” buat kehidupannya. Dia merasa tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencapai sebuah “arti” kehidupannya. Perasaan jengah, jenuh, keinginan untuk keluar dari kehidupan yang tengah dijalaninya menjadi semakin kuat.
Yasuyo serasa berada di titik “nol”. “Saya sendiri merasa jenuh dengan keadaan waktu itu, tetapi saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan… Tidak ada jalan keluar.”, begitu yang diungkapkan Yasmin (Yasuyo) mengenai perasaannya saat itu.
Pada saat itu yang ada dalam pikirannya hanyalah, ia merasa harus membuka lembaran baru, memulai segala sesuatu dari awal. Tetapi bagaimana ?
Ketika Yasuyo dan ibunya berlibur ke Bali, ia dipertemukan dengan calon suaminya saat itu. Belum ada perasaan untuk menikah dengan pemuda yang baru saja dikenalnya itu.
Barulah beberapa bulan kemudian, pada kunjungan ke Bali berikutnya, Yasuyo diminta untuk menjadi istri pemuda tersebut. “Saya sedikit terkejut. Tetapi, saya melihat bahwa Helmi (red: nama suami Yasuyo) adalah pemuda yang baik. Dan saat itulah, saya melihat jalan keluar yang selama ini saya mimpikan… .“, dan Yasuyo pun diperkenalkan dengan orang tua Helmi.
Tidak ada sesuatu yang memberatkan. Bahkan, Yasuyo serasa mendapat apa yang selama ini dia nantikan, untuk memulai kehidupan baru. Begitu yang ia rasakan, ketika orang tua calon suaminya mensyaratkan Yasuyo untuk ber-Islam, sebelum menikah.
Yang menarik adalah, beberapa aturan dalam Islam yang sempat disampaikan oleh orang tua calon suaminya tersebut, seperti sholat 5 waktu, puasa dan menutup aurat; sama sekali tidak dipandang sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan Yasuyo.
Ia bahkan beranggapan, seorang yang beragama, memang sudah seharusnya mentaati aturan dalam agamanya, dan berkomunikasi dengan Tuhan-nya.
Pada bulan April 2000, Yasuyo mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai langkah awalnya ber-Islam, kemudian pada akhir April di tahun yang sama ia resmi menikah dengan Helmi Masadi, suaminya saat ini. Dan Yasuyo pun, di dalam keluarga barunya di Indonesia, lebih akrab disapa dengan nama Yasmin.
Menjadi seorang mualaf baginya bukan hal yang memberatkan, karena ia saat itu masih menetap di rumah orang tua suaminya di Bali. Beribadah, sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, mereka jalankan bersama-sama, sehingga Yasmin merasakan hal tersebut sebagai sesuatu yang rutin dan biasa dilakukan.
Ditunjang dengan tekadnya sejak awal untuk memulai kehidupan yang baru, sehingga betapa banyak yang harus ia pelajari, seperti bahasa Indonesia, berbagai aturan dalam Islam, menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya; bukan hal yang menyurutkan langkahnya.
Menjalankan Kehidupan Sebagai Muslimah
Setelah anak pertamanya, Aisya berusia 1 tahun, pada tahun 2001, keluarga Yasmin Mashadi meninggalkan Bali, kembali ke Jepang. Kemudian, tiga tahun kemudian lahirlah anak kedua, Sakina, yang saat ini berusia 1 tahun 3 bulan. Kehadiran dua orang anak dalam kehidupannya benar-benar ia syukuri.
Kedua putinya ini juga yang membuatnya semakin terpacu untuk menjalankan Islam dengan bersungguh-sunguh. Walaupun Yasmin merasa tidak mempunyai bekal yang cukup untuk mendidik buah hatinya secara islami, tetapi dengan bantuan suami dan sesama mualaf yang dikenalnya, ia mulai mendalami Islam setahap demi setahap.
Amat sulit mendapatkan buku berbahasa Jepang yang mengupas Islam, sedangkan membaca tafsir Al Quran yang diterjemahkan dalam bahasa Jepang pun, masih sulit buat Yasmin.
Sehingga, tidak jarang di sela-sela waktu luangnya bersama suami, Yasmin banyak bertanya tentang hal-hal yang ingin diketahuinya. Dan semakin ia mendapat jawaban dari pertanyaannya itu, semakin ia bersyukur atas hidayah Allah s.w.t. kepada dirinya. Ia merasa sangat beruntung dan sedang menapaki jalan kehidupan yang benar.
Saat ini pun Yasmin masih ingin lebih banyak mengetahui pengalaman hidup sesama mualaf di Jepang, terutama bila menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan sanak saudara dan teman-teman yang non Islam, tetapi jarak dan waktu menjadi kendala untuk lebih sering berkomunikasi dengan mereka.
Dari ungkapan Yasmin, tersirat dan tersurat bahwa beberapa kendala tersebut tetap jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasratnya untuk semakin mendalami Islam.
Pengalaman masa lalunya, menjadi cermin bagi Yasmin untuk memberi yang terbaik untuk kedua buah hatinya. Ia mengungkapkan bahwa pendidikan (sekolah) di Jepang tidak banyak memberi sentuhan moral dan agama bagi anak-anak.
Mereka pesat dalam mempelajari ilmu pengetahuan tetapi tidak ada pengisi jiwa/hati, sehingga apabila sesuatu terjadi di luar kemampuan mereka, anak-anak itu tidak mempunyai pegangan dan terlempar ke keterpurukan jiwa; seperti apa yang dialami Yasmin dahulu.
Oleh karena itulah, ia berpendapat, sedini mungkin ingin mengenalkan anak-anaknya kepada Allah. Ia ingin anaknya tumbuh di lingkungan orang-orang yang melakukan ibadah dan bermasyarakat yang baik dalam kehidupan sehari-hari, sehingga anak-anak itu merasa beribadah kepada Allah adalah hal yang biasa, yang memang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Begitu besar keinginannya ini, hingga Yasmin dan suaminya sepakat untuk membesarkan anak-anak mereka di Indonesia.
“Biarlah anak-anak yang masih kecil ini belajar mengenal penciptanya secara natural, dengan tinggal di lingkungan masyarakat yang beragama dan menjalankan perintah agamanya dengan baik.
Saya sendiri belum bisa memberi contoh nilai-nilai keislaman yang banyak pada mereka. Bahkan, bisa jadi saya akan belajar bersama anak-anak saya… membaca Al Quran, misalnya. Dan apabila kelak mereka sudah menjadi dewasa, saya berharap mereka sudah mempunyai bekal iman yang kuat, untuk kemudian memperluas ilmu pengetahuan maupun pergaulan mereka. Mereka boleh belajar tentang apa saja, di mana pun.” .
Mata Yasmin menerawang jauh ke depan saat mengucapkan kalimat tersebut, seakan sebuah titik terang sudah terlihat di depan matanya, dan ia siap melangkah setapak demi setapak menuju titik itu. Di akhir perbincangan dengan penulis, Yasmin juga mengungkapkan keinginannya untuk menekuni kembali bidang keahliannya dulu, sebagai desainer. Ia bercita-cita untuk membuka sekolah mode busana muslim di Indonesia nantinya. Insya Allah. (mualaf.com)
Gambatte (berusahalah dengan sungguh-sungguh), Yasmin san ! (oleh Serindit Indraswari)
sumber
Journey to Islam Oleh : Redaksi 17 Apr 2007 - 1:30 am
Cerita ini kisah dari salah seorang teman mualaf saya. Tulisan lama dan tadinya ditulis untuk sebuah majalah wanita milik teman eks Tsukuba. Sarat dengan hikmah... ada baiknya menjadi sarana pembelajaran buat kita semua. Selamat menyimak... (tarik nafas... jangan lupa sedia minuman & snack, karena yg dibaca bakal puanjaang..!!
Saat itu bulan November 2004, muslimin dan muslimah dari berbagai negara berdatangan untuk menjalankan sholat Ied. Melihat seorang ibu yang tengah sibuk membenahi perlengkapan dua orang anaknya yang menggunakan jilbab kecil ala Indonesia, saya bersama beberapa teman memberanikan diri untuk bertanya dalam bahasa Indonesia kepadanya. “Yasmin…”, begitu muslimah ini memperkenalkan dirinya pada saat pertama kali kami bertemu di satu-satunya musholla di Tsukuba, Ibaraki, Jepang. Ternyata Yasmin ini bersuamikan orang Indonesia dan tinggal tidak jauh dari Tsukuba.
Nama “Yasmin”, ia dapatkan dari orang tua suaminya yang merasa kesulitan untuk mengucapkan nama jepangnya, Yasuyo. Sudah 6 bulan saya mengenal Yasmin. Kesan saya, dia orang yang mandiri, dan tegas. Kelugasannya dalam berbicara, membuat saya menilai dia mempunyai sifat dasar yang berbeda dengan orang Jepang pada umumnya, yang selama ini saya kenal.
Pertanyaan Yang Mengusik Masa Kecil
Dilahirkan pada tahun 1973 di Tokyo, Satou Yasuyo, merupakan anak pertama dari dua bersaudara di keluarga Satou. Sejak berumur 4 tahun, Yasuyo kecil pindah ke Chiba, sebuah propinsi yang bersebelahan dengan Tokyo. Seperti anak-anak Jepang pada umumnya, Yasuyo tidak mengenal adanya kekuatan Yang Maha Kuasa.
Ayah dan ibu, sekolah maupun lingkungannya tidak memberi ruang untuk hal-hal yang tidak terlihat oleh mata. Walaupun demikian, di dalam pikiran Yasuyo kecil yang gemar dengan permainan puzzle dan menggambar ini, kerap muncul sebersit pertanyaan, “ Mengapa saya bisa hidup? Mengapa saya menjadi perempuan?......” Seiring dengan waktu, pertanyaan demi pertanyaan begitu saja berlalu, tanpa jawaban.
Memasuki dunia sekolah menengah, semakin banyak pertanyaan yang lebih kompleks, berdesakan di dalam pikiran Yasuyo. “ Apabila di dunia ini ada orang yang berbuat baik dan ada yang jahat, lalu apakah berarti dalam kehidupan ini tidak ada keadilan? ”.
Pertanyaan ini dipicu oleh gencarnya kasus ijime (dalam bahasa Inggris “bullying”) di tingkat sekolah dasar hingga menengah di Jepang pada saat itu. Dia melihat bagaimana seorang yang di-ijime ini menjadi tersiksa, tidak mempunyai teman, tidak berani melaporkan kejahilan temannya kepada orang tua apalagi guru di sekolah, bahkan ada yang sampai bunuh diri karena tidak kuat memikul beban sendiri.
Namun, kembali tidak ada jawaban atas pertanyaan yang muncul di pikiran Yasuyo.
Kejenuhan
Lepas dari sekolah menengah atas, Yasuyo memutuskan untuk mendalami bidang fashion. Masuklah ia di sebuah sekolah mode di Tokyo, selama 4 tahun. Lepas dari sekolah tersebut, dia langsung bekerja pada sebuah perusahaan garmen.
Kesibukan pekerjaan, membuat dia harus tinggal menetap di Tokyo, mengikuti perputaran roda kota besar yang penuh sesak dengan kesibukan pekerjaan. Tiada hari tanpa memikirkan pekerjaan.
Setiap langkah selalu berorientasi usaha untuk meningkatkan hasil penjualan pakaian di perusahaan tempatnya bekerja. Suatu hal yang tidak menghasilkan uang, menjadi sia-sia di mata kebanyakan masyarakat bisnis di Jepang.
Di tengah kejenuhan dengan rutinitas tersebut, hati Yasuyo kembali berteriak, “ Bodoh sekali kehidupan seperti ini… Orang-orang hanya memikirkan uang dan uang..”.
Ketidakadilan kehidupan yang menjadi pertanyaannya semasa duduk di bangku smp, kembali mengganggu pikirannya. “ Apabila anak yang dilahirkan dari keluarga yang kaya bisa menikmati hidup dengan mudah, apakah berarti tidak ada keadilan buat anak-anak yang dilahirkan dari keluarga yang miskin ?”.
Apabila pada masa kecilnya, pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benaknya ini tidak pernah diungkapkan kepada orang lain, tetapi kali ini dia mendiskusikannya dengan beberapa teman dekat.
Walaupun kebanyakan teman diskusinya meng-iya-kan pendapat Yasuyo, tetapi diskusi hanya sebatas diskusi. Mereka serasa berada di jurang yang dalam. Mereka tahu kalau keadaan yang mereka jalani tidak baik, tapi mereka tidak kuasa untuk mendaki tebing jurang tersebut. Dan akhirnya, mereka tetap berputar-putar di dalamnya. Apabila kejenuhan datang, pelampiasan sekejap seperti menegak bir dan ke diskotik; itu yang mereka lakukan.
Beranjak dari Titik Nol
Tiga tahun lamanya Yasuyo bertahan dengan pekerjaannya sebagai desainer. Hingga akhirnya dia menyerah kelelahan, dan keluar dari pekerjaannya. Yasuyo menikmati masa-masa yang senggang, bekerja paruh waktu di sebuah department store, hanya sekedar mendapat uang untuk biaya hidup sehari-hari.
Namun, kembali Yasuyo dihadapkan pada kenyataan bahwa waktu yang senggang dan uang yang cukup tidak dapat memberikan “arti” buat kehidupannya. Dia merasa tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencapai sebuah “arti” kehidupannya. Perasaan jengah, jenuh, keinginan untuk keluar dari kehidupan yang tengah dijalaninya menjadi semakin kuat.
Yasuyo serasa berada di titik “nol”. “Saya sendiri merasa jenuh dengan keadaan waktu itu, tetapi saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan… Tidak ada jalan keluar.”, begitu yang diungkapkan Yasmin (Yasuyo) mengenai perasaannya saat itu.
Pada saat itu yang ada dalam pikirannya hanyalah, ia merasa harus membuka lembaran baru, memulai segala sesuatu dari awal. Tetapi bagaimana ?
Ketika Yasuyo dan ibunya berlibur ke Bali, ia dipertemukan dengan calon suaminya saat itu. Belum ada perasaan untuk menikah dengan pemuda yang baru saja dikenalnya itu.
Barulah beberapa bulan kemudian, pada kunjungan ke Bali berikutnya, Yasuyo diminta untuk menjadi istri pemuda tersebut. “Saya sedikit terkejut. Tetapi, saya melihat bahwa Helmi (red: nama suami Yasuyo) adalah pemuda yang baik. Dan saat itulah, saya melihat jalan keluar yang selama ini saya mimpikan… .“, dan Yasuyo pun diperkenalkan dengan orang tua Helmi.
Tidak ada sesuatu yang memberatkan. Bahkan, Yasuyo serasa mendapat apa yang selama ini dia nantikan, untuk memulai kehidupan baru. Begitu yang ia rasakan, ketika orang tua calon suaminya mensyaratkan Yasuyo untuk ber-Islam, sebelum menikah.
Yang menarik adalah, beberapa aturan dalam Islam yang sempat disampaikan oleh orang tua calon suaminya tersebut, seperti sholat 5 waktu, puasa dan menutup aurat; sama sekali tidak dipandang sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan Yasuyo.
Ia bahkan beranggapan, seorang yang beragama, memang sudah seharusnya mentaati aturan dalam agamanya, dan berkomunikasi dengan Tuhan-nya.
Pada bulan April 2000, Yasuyo mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai langkah awalnya ber-Islam, kemudian pada akhir April di tahun yang sama ia resmi menikah dengan Helmi Masadi, suaminya saat ini. Dan Yasuyo pun, di dalam keluarga barunya di Indonesia, lebih akrab disapa dengan nama Yasmin.
Menjadi seorang mualaf baginya bukan hal yang memberatkan, karena ia saat itu masih menetap di rumah orang tua suaminya di Bali. Beribadah, sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, mereka jalankan bersama-sama, sehingga Yasmin merasakan hal tersebut sebagai sesuatu yang rutin dan biasa dilakukan.
Ditunjang dengan tekadnya sejak awal untuk memulai kehidupan yang baru, sehingga betapa banyak yang harus ia pelajari, seperti bahasa Indonesia, berbagai aturan dalam Islam, menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya; bukan hal yang menyurutkan langkahnya.
Menjalankan Kehidupan Sebagai Muslimah
Setelah anak pertamanya, Aisya berusia 1 tahun, pada tahun 2001, keluarga Yasmin Mashadi meninggalkan Bali, kembali ke Jepang. Kemudian, tiga tahun kemudian lahirlah anak kedua, Sakina, yang saat ini berusia 1 tahun 3 bulan. Kehadiran dua orang anak dalam kehidupannya benar-benar ia syukuri.
Kedua putinya ini juga yang membuatnya semakin terpacu untuk menjalankan Islam dengan bersungguh-sunguh. Walaupun Yasmin merasa tidak mempunyai bekal yang cukup untuk mendidik buah hatinya secara islami, tetapi dengan bantuan suami dan sesama mualaf yang dikenalnya, ia mulai mendalami Islam setahap demi setahap.
Amat sulit mendapatkan buku berbahasa Jepang yang mengupas Islam, sedangkan membaca tafsir Al Quran yang diterjemahkan dalam bahasa Jepang pun, masih sulit buat Yasmin.
Sehingga, tidak jarang di sela-sela waktu luangnya bersama suami, Yasmin banyak bertanya tentang hal-hal yang ingin diketahuinya. Dan semakin ia mendapat jawaban dari pertanyaannya itu, semakin ia bersyukur atas hidayah Allah s.w.t. kepada dirinya. Ia merasa sangat beruntung dan sedang menapaki jalan kehidupan yang benar.
Saat ini pun Yasmin masih ingin lebih banyak mengetahui pengalaman hidup sesama mualaf di Jepang, terutama bila menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan sanak saudara dan teman-teman yang non Islam, tetapi jarak dan waktu menjadi kendala untuk lebih sering berkomunikasi dengan mereka.
Dari ungkapan Yasmin, tersirat dan tersurat bahwa beberapa kendala tersebut tetap jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasratnya untuk semakin mendalami Islam.
Pengalaman masa lalunya, menjadi cermin bagi Yasmin untuk memberi yang terbaik untuk kedua buah hatinya. Ia mengungkapkan bahwa pendidikan (sekolah) di Jepang tidak banyak memberi sentuhan moral dan agama bagi anak-anak.
Mereka pesat dalam mempelajari ilmu pengetahuan tetapi tidak ada pengisi jiwa/hati, sehingga apabila sesuatu terjadi di luar kemampuan mereka, anak-anak itu tidak mempunyai pegangan dan terlempar ke keterpurukan jiwa; seperti apa yang dialami Yasmin dahulu.
Oleh karena itulah, ia berpendapat, sedini mungkin ingin mengenalkan anak-anaknya kepada Allah. Ia ingin anaknya tumbuh di lingkungan orang-orang yang melakukan ibadah dan bermasyarakat yang baik dalam kehidupan sehari-hari, sehingga anak-anak itu merasa beribadah kepada Allah adalah hal yang biasa, yang memang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Begitu besar keinginannya ini, hingga Yasmin dan suaminya sepakat untuk membesarkan anak-anak mereka di Indonesia.
“Biarlah anak-anak yang masih kecil ini belajar mengenal penciptanya secara natural, dengan tinggal di lingkungan masyarakat yang beragama dan menjalankan perintah agamanya dengan baik.
Saya sendiri belum bisa memberi contoh nilai-nilai keislaman yang banyak pada mereka. Bahkan, bisa jadi saya akan belajar bersama anak-anak saya… membaca Al Quran, misalnya. Dan apabila kelak mereka sudah menjadi dewasa, saya berharap mereka sudah mempunyai bekal iman yang kuat, untuk kemudian memperluas ilmu pengetahuan maupun pergaulan mereka. Mereka boleh belajar tentang apa saja, di mana pun.” .
Mata Yasmin menerawang jauh ke depan saat mengucapkan kalimat tersebut, seakan sebuah titik terang sudah terlihat di depan matanya, dan ia siap melangkah setapak demi setapak menuju titik itu. Di akhir perbincangan dengan penulis, Yasmin juga mengungkapkan keinginannya untuk menekuni kembali bidang keahliannya dulu, sebagai desainer. Ia bercita-cita untuk membuka sekolah mode busana muslim di Indonesia nantinya. Insya Allah. (mualaf.com)
Gambatte (berusahalah dengan sungguh-sungguh), Yasmin san ! (oleh Serindit Indraswari)
sumber
Code:
http://www.indoforum.org/showthread.php?t=15749
Last edited: