abdybusthan
New member
Naturalnya, pendelegasian Kasih dapat dikatakan murni dan berimbang bila didasarkan dengan Untaian dan muatan Kasih yang apa adanya dari makna Kasih yang sebenarnya. Bukan dengan berpura-pura menyerupai Kasih seperti sekelompok jamur yang berarak-arakkan menjamuri banyu direlung kedalaman samudera jiwa.
sadar atau tidak sadar, Kasih sanggup membawa referensi angkara pada konsep pemahaman maha karya Kasih itu sendiri.
Lalu, ketika Kasih itu tak berbalas, maka hal ini akan menjadi pemalsuan nalar yang tak berkarakter. karena dalam rangkaian Kasih itu sendiri ada dua kata kunci yang saling ber-antagonis satu dengan yang lainnya, yaitu “DiKasihi” dan “Mengasihi”.
kita mulai dengan Dikasihi. ketika sebuah Kasih mengharapkan sesuatu yang tidak dapat dikaji menjadi sesuatu, niscaya itulah kesalahan dalam kajian unsur-unsur Kasih tersebut. Mengapa? sudah tentu jawabannya "Jangan ditanyakan mengapa", karena Kasih identik dengan "Memberi bukan Diberi".
Ingatlah bahwa sesungguhnya Kasih tak akan berujung. seperti lasimnya uluran tangan seorang Ibu yang menjadi pahlawan tanpa “Tanda jasa” bagi anak yang dilahirkannya, Kasih pun harus berkorban demi suatu hubungan yang "Saling Mengasihi". janganlah menunggu sebuah bola muntah tetapi sambutlah bola itu demi terciptanya sebuah Gol. Dari sinilah nampak sebuah Keabadian dari narasi Kasih yang tak perpura-pura. dan logikanya, Kasih itu tulus melampaui makna aslinya.
Untuk itu, sangatlah Diferensial jika Kasih dijadikan ranah untuk meninabobokkan penantian serta kekecewaan atau yang sejenisnya. sesungguhnya, Instrumentasi Kasih disini dapat dijadikan Insulator dalam pencapaian “Kasih Suci” yang tak terpatahkan oleh apapun dan kapanpun.
Karena Kasih itu Inventif bukan Inverse. lalu bagaimana mendalami penjelmaan Kasih yang memberi? akankah Kasih melampaui proses penjelmaan itu? hati-hatilah dalam mengimprovisasi sepenggal atau sekalimat Kasih, karena bisa jadi kita akan berandai-andai untuk mengungkapkannya.
Sebenarnya, faktual penalaran Kasih itu dimulai dengan Dogma sederhana yang melukiskan kesederhanaan itu pada pemaparan berikut ; “ Kasih itu sabar, murah hati dan tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran, kasih menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu serta tidak berkesudahan “ (1 Korintus 13:4-13).
Nah, Inilah langkah awal mencapai titik konsekuensi analogi perasaan terhadap Kasih yang universal, ketika terbentuk sebuah Rhema dalam hidup dan kehidupan pada serangkaian paham Mengasihi dan Dikasihi. Klasik itu unik tapi menarik, seumpama malam yang benderang lalu merendah selayak laut nan Damai, beranjak menaungi Nurani yang tentram seakan merangkai mimpi membahana prahara.
Dari Klasik menjadi Kasih, sejatinya Kasih yang terbalas maka tampilan Klasik dari “Kasih yang memberi” merupakan sinonim paradigma “Pengorbanan untuk memberi” pada jalinan aksi individu yang “Utuh” dengan sesamanya, lalu dimajaskan dalam konsep performa yang normativ. Singkatnya, “Janganlah berbicara tentang Kasih kalau hati tidak mampu Mengasihi sesama“. karena hal Terbesar diantara Iman, Pengharapan dan Kasih adalah Kasih yang sanggup Mengasihi, karena “ Kasih Itu Mengasihi Bukan Di Kasihi “.
(Oleh : ABDY BUSTHAN)
sadar atau tidak sadar, Kasih sanggup membawa referensi angkara pada konsep pemahaman maha karya Kasih itu sendiri.
Lalu, ketika Kasih itu tak berbalas, maka hal ini akan menjadi pemalsuan nalar yang tak berkarakter. karena dalam rangkaian Kasih itu sendiri ada dua kata kunci yang saling ber-antagonis satu dengan yang lainnya, yaitu “DiKasihi” dan “Mengasihi”.
kita mulai dengan Dikasihi. ketika sebuah Kasih mengharapkan sesuatu yang tidak dapat dikaji menjadi sesuatu, niscaya itulah kesalahan dalam kajian unsur-unsur Kasih tersebut. Mengapa? sudah tentu jawabannya "Jangan ditanyakan mengapa", karena Kasih identik dengan "Memberi bukan Diberi".
Ingatlah bahwa sesungguhnya Kasih tak akan berujung. seperti lasimnya uluran tangan seorang Ibu yang menjadi pahlawan tanpa “Tanda jasa” bagi anak yang dilahirkannya, Kasih pun harus berkorban demi suatu hubungan yang "Saling Mengasihi". janganlah menunggu sebuah bola muntah tetapi sambutlah bola itu demi terciptanya sebuah Gol. Dari sinilah nampak sebuah Keabadian dari narasi Kasih yang tak perpura-pura. dan logikanya, Kasih itu tulus melampaui makna aslinya.
Untuk itu, sangatlah Diferensial jika Kasih dijadikan ranah untuk meninabobokkan penantian serta kekecewaan atau yang sejenisnya. sesungguhnya, Instrumentasi Kasih disini dapat dijadikan Insulator dalam pencapaian “Kasih Suci” yang tak terpatahkan oleh apapun dan kapanpun.
Karena Kasih itu Inventif bukan Inverse. lalu bagaimana mendalami penjelmaan Kasih yang memberi? akankah Kasih melampaui proses penjelmaan itu? hati-hatilah dalam mengimprovisasi sepenggal atau sekalimat Kasih, karena bisa jadi kita akan berandai-andai untuk mengungkapkannya.
Sebenarnya, faktual penalaran Kasih itu dimulai dengan Dogma sederhana yang melukiskan kesederhanaan itu pada pemaparan berikut ; “ Kasih itu sabar, murah hati dan tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran, kasih menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu serta tidak berkesudahan “ (1 Korintus 13:4-13).
Nah, Inilah langkah awal mencapai titik konsekuensi analogi perasaan terhadap Kasih yang universal, ketika terbentuk sebuah Rhema dalam hidup dan kehidupan pada serangkaian paham Mengasihi dan Dikasihi. Klasik itu unik tapi menarik, seumpama malam yang benderang lalu merendah selayak laut nan Damai, beranjak menaungi Nurani yang tentram seakan merangkai mimpi membahana prahara.
Dari Klasik menjadi Kasih, sejatinya Kasih yang terbalas maka tampilan Klasik dari “Kasih yang memberi” merupakan sinonim paradigma “Pengorbanan untuk memberi” pada jalinan aksi individu yang “Utuh” dengan sesamanya, lalu dimajaskan dalam konsep performa yang normativ. Singkatnya, “Janganlah berbicara tentang Kasih kalau hati tidak mampu Mengasihi sesama“. karena hal Terbesar diantara Iman, Pengharapan dan Kasih adalah Kasih yang sanggup Mengasihi, karena “ Kasih Itu Mengasihi Bukan Di Kasihi “.
(Oleh : ABDY BUSTHAN)