indranamana
New member
Di malam yang dingin karena habis diguyur hujan deras, aku pengen pipis. Aku bingung melihat seekor kodok berada di kamar mandi kantor malam itu. Aku memikirkan apa yang sedang ia lakukan. Tapi sayang aku nggak bisa bahasa kodok. Seandainya bisa, aku akan berkomunikasi dengannya, dan berkata dalam bahasa kodok yang artinya, Hai kodok, what the hell are you doing here?! Melihat gelagatnya, aku menganggap kodok itu seperti sedang sembunyi dari serangan ular. Kodok kan makanan ular yah?
Tapi ternyata aku lupa, aku sendiri punya ular dan mengeluarkannya untuk pipis. Kodok itu jadi kaget dan loncat tinggi sampe nyemplung ke lobang WC. (Ini beneran terjadi, sumpah deh!) WC itu bukan WC duduk, tapi WC nongkrong, makanya kodok itu sekali lompat langsung bisa kepleset ke lobangnya. Lagian, bego juga sih itu kodok, lompat kok ke arah lobang WC. Aku bengong sambil mengeluarkan air seniku. Untung aku nggak pipis ke lobang WC.
Setelah selesai pipis, aku melihat kodok itu. Lehernya berdenyut-denyut, ngos-ngosan berjuang untuk merangkak ke daratan. Aku kasian melihatnya. Ternyata kakinya terlalu licin untuk bisa merangkak ke atas dari lobang WC itu. Aku kira kaki kodok seperti kaki cicak, bisa merayap di dinding. Terus aku juga berpikir, seandainya cicak yang nyemplung di situ, kayaknya dia juga nggak akan bisa keluar. Dinding lobang WC kan licin.
Aku bingung sekali waktu itu, apa yang harus aku lakukan. Aku membuat skala prioritas untuk apa yang harus dilakukan.
A.Menyiram lobang WC itu sampe kodoknya tenggelam hidup-hidup.
B.Nongkrong di atas lobang WC dan mengebomnya.
C.Manggil pawang kodok. (Emang ada ya pawang kodok?)
D.Atau manggil ular biar kodoknya dimakan sama ular itu.
Skala prioritas yang kubuat sendiri dan harus dilakukan benar-benar payah.
Aku masih punya hati nurani untuk menolong seekor kodok yang malang itu. Aku yakin tiga puluh menit aja dia aku tinggalin, dia akan mati karena kelelahan dan kedinginan. Dia akan terus berjuang merangkak keluar sampe jantungnya berhenti berdetak. Kodok itu tinggal mata dan hidungnya (kodok punya hidung nggak sih?) aja yang berada di atas ambang air lobang WC. Aku pikir air lobang WC juga terlalu dingin untuk ukuran kodok. Aku ingin sekali menolongnya keluar.
Tapi di kamar mandi itu tidak ada alat yang bisa membantunya keluar. Di kamar mandi rumahku biasanya ada sikat WC. Tadinya aku ingin menolongnya dengan itu. Tapi di kamar mandi kantorku tidak ada sikat WC. Sikat gigi juga nggak ada. Masak aku harus pulang dan ngambil sikat WC di kamar mandi rumahku dulu?
Aku benar-benar tidak tega untuk meninggalkannya sendirian di situ. Aku rasa kalo aku tinggalin, orang berikutnya yang masuk ke kamar mandi itu dan ingin buang air besar jadi mikir, Siapa yang abis boker ngeluarin kodok yak? Aku urungkan niatku keluar kamar mandi. Aku yang telah membuatnya kaget dan nyemplung ke lobang WC. Aku harus bertanggung jawab walau keliatannya maksa.
Aku raih gayung, dan aku mengulurkan tanganku yang memegang gayung ke kodok itu. Sayang, aku tidak bisa bahasa kodok, dan kodok itu tidak bisa bahasa manusia. Aku coba berbahasa inggris dengannya, dia juga tetap tidak bisa. Lehernya malah makin berdenyut-berdenyut. Aku jadi takut dia mati duluan di situ.
Dengan telepati aku menyuruhnya coba melompat ke gagang gayung. Percobaan pertama gagal. Dia semakin ngos-ngosan. Dia terlihat istirahat dulu, mengambil nafas. Aku coba memegang gagang gayung kali ini. Aku coba menyerok kodok itu dengan mulut gayung. Ternyata mulut gayung itu terlalu lebar, tidak muat di lobang WC yang kecil itu.
Aku kembali menjulurkan gagang gayung ke kodok itu tanpa mengenai air di lobang WC. Percobaan kedua masih gagal. Kodok itu masih terpleset di gagang gayung, dan kembali jatuh ke lobang yang sama.
Karena kodok bukan kedelai, jadi dia tidak jatuh ke lubang yang sama lebih dari dua kali (gitu bukan sih peribahasanya?). Pada percobaan ketiga, dengan bantuan indra keenamku juga sih, kodok itu berhasil melompat dengan baik ke gagang itu, dan merangkak pelan-pelan di dinding sambil aku dorong ke atas dengan gagang gayung. Yup, kodok itu akhirnya berhasil sampai ke daratan. Dia terlihat gembira dan loncat-loncat seperti anak kecil yang kegirangan. Kala dia meloncat-loncat, aku membatin ke kodok itu agar jangan ke lobang WC lagi. Dia pun menjauh.
Aku lega dan senang bisa menolongnya. Akhirnya kita berpisah secara baik-baik, karena itu memang yang terbaik.
Tapi ternyata aku lupa, aku sendiri punya ular dan mengeluarkannya untuk pipis. Kodok itu jadi kaget dan loncat tinggi sampe nyemplung ke lobang WC. (Ini beneran terjadi, sumpah deh!) WC itu bukan WC duduk, tapi WC nongkrong, makanya kodok itu sekali lompat langsung bisa kepleset ke lobangnya. Lagian, bego juga sih itu kodok, lompat kok ke arah lobang WC. Aku bengong sambil mengeluarkan air seniku. Untung aku nggak pipis ke lobang WC.
Setelah selesai pipis, aku melihat kodok itu. Lehernya berdenyut-denyut, ngos-ngosan berjuang untuk merangkak ke daratan. Aku kasian melihatnya. Ternyata kakinya terlalu licin untuk bisa merangkak ke atas dari lobang WC itu. Aku kira kaki kodok seperti kaki cicak, bisa merayap di dinding. Terus aku juga berpikir, seandainya cicak yang nyemplung di situ, kayaknya dia juga nggak akan bisa keluar. Dinding lobang WC kan licin.
Aku bingung sekali waktu itu, apa yang harus aku lakukan. Aku membuat skala prioritas untuk apa yang harus dilakukan.
A.Menyiram lobang WC itu sampe kodoknya tenggelam hidup-hidup.
B.Nongkrong di atas lobang WC dan mengebomnya.
C.Manggil pawang kodok. (Emang ada ya pawang kodok?)
D.Atau manggil ular biar kodoknya dimakan sama ular itu.
Skala prioritas yang kubuat sendiri dan harus dilakukan benar-benar payah.
Aku masih punya hati nurani untuk menolong seekor kodok yang malang itu. Aku yakin tiga puluh menit aja dia aku tinggalin, dia akan mati karena kelelahan dan kedinginan. Dia akan terus berjuang merangkak keluar sampe jantungnya berhenti berdetak. Kodok itu tinggal mata dan hidungnya (kodok punya hidung nggak sih?) aja yang berada di atas ambang air lobang WC. Aku pikir air lobang WC juga terlalu dingin untuk ukuran kodok. Aku ingin sekali menolongnya keluar.
Tapi di kamar mandi itu tidak ada alat yang bisa membantunya keluar. Di kamar mandi rumahku biasanya ada sikat WC. Tadinya aku ingin menolongnya dengan itu. Tapi di kamar mandi kantorku tidak ada sikat WC. Sikat gigi juga nggak ada. Masak aku harus pulang dan ngambil sikat WC di kamar mandi rumahku dulu?
Aku benar-benar tidak tega untuk meninggalkannya sendirian di situ. Aku rasa kalo aku tinggalin, orang berikutnya yang masuk ke kamar mandi itu dan ingin buang air besar jadi mikir, Siapa yang abis boker ngeluarin kodok yak? Aku urungkan niatku keluar kamar mandi. Aku yang telah membuatnya kaget dan nyemplung ke lobang WC. Aku harus bertanggung jawab walau keliatannya maksa.
Aku raih gayung, dan aku mengulurkan tanganku yang memegang gayung ke kodok itu. Sayang, aku tidak bisa bahasa kodok, dan kodok itu tidak bisa bahasa manusia. Aku coba berbahasa inggris dengannya, dia juga tetap tidak bisa. Lehernya malah makin berdenyut-berdenyut. Aku jadi takut dia mati duluan di situ.
Dengan telepati aku menyuruhnya coba melompat ke gagang gayung. Percobaan pertama gagal. Dia semakin ngos-ngosan. Dia terlihat istirahat dulu, mengambil nafas. Aku coba memegang gagang gayung kali ini. Aku coba menyerok kodok itu dengan mulut gayung. Ternyata mulut gayung itu terlalu lebar, tidak muat di lobang WC yang kecil itu.
Aku kembali menjulurkan gagang gayung ke kodok itu tanpa mengenai air di lobang WC. Percobaan kedua masih gagal. Kodok itu masih terpleset di gagang gayung, dan kembali jatuh ke lobang yang sama.
Karena kodok bukan kedelai, jadi dia tidak jatuh ke lubang yang sama lebih dari dua kali (gitu bukan sih peribahasanya?). Pada percobaan ketiga, dengan bantuan indra keenamku juga sih, kodok itu berhasil melompat dengan baik ke gagang itu, dan merangkak pelan-pelan di dinding sambil aku dorong ke atas dengan gagang gayung. Yup, kodok itu akhirnya berhasil sampai ke daratan. Dia terlihat gembira dan loncat-loncat seperti anak kecil yang kegirangan. Kala dia meloncat-loncat, aku membatin ke kodok itu agar jangan ke lobang WC lagi. Dia pun menjauh.
Aku lega dan senang bisa menolongnya. Akhirnya kita berpisah secara baik-baik, karena itu memang yang terbaik.