JAKARTA--MIOL: Skema kredit bagi warga miskin yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan tinggi sangat memungkinkan asalkan didukung sistem perpajakan yang tepat.
Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengemukakan hal itu Senin (26/2) kepada Media Indonesia, menjawab masih minimnya terobosan pendanaan dari pemerintah kepada warga miskin yang ingin melanjutkan pendidikan ke universitas.
"Jika pemerintah diminta untuk mengembangkan kembali program pemberian pinjaman seperti yang diterapkan oleh pemerintah China, maka instansi lain terkait yakni Departemen Keuangan, juga perlu mengembangkan sistem pemberlakuan pajak bagi setiap orang yang bekerja," katanya.
Dijelaskan, dengan mekanisme perpajakan seperti itu maka setiap orang yang bekerja dipastikan membayar pajak. Dalam hal ini, pajak bagi keluarga mahasiswa yang kurang mampu tetapi ada yang sudah bekerja akan dikenakan secara otomatis. "Pajak yang ia bayar itulah kemudian digunakan untuk membayar pinjaman kepada pemerintah."
Satryo mengungkapkan model seperti yang dikembangkan pemerintah China saat ini, yakni dengan memberikan pinjaman kepada keluarga yang anaknya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, pernah diterapkan pemerintah Indonesia pada 1980-an. Namun, yang terjadi kucuran pinjaman saat itu tingkat pengembaliannya hanya sekitar 5%. Sementara saat itu pemerintah butuh biaya untuk keberlangsungan program lainnya, sehingga program tersebut dihapuskan.
Selepas program tersebut, upaya membantu pendanaan pendidikan bagi warga miskin di perguruan tinggi difokuskan pada program beasiswa. Dan, saat ini pemerintah hanya mampu memberi beasiswa pendidikan kepada 300 ribu mahasiswa per tahun yang tersebar di seluruh Indonesia, di perguruan tinggi negeri dan swasta.
"Jumlah itu memang belum terlalu besar, namun tidak semua mahasiswa yang kurang mampu lalu di-cover oleh pemerintah. Sebab, dari anggaran yang tersedia saat ini, pemerintah sedang memprioritaskan program pemerataan akses pendidikan wajar sembilan tahun di seluruh Indonesia," ungkap Satryo.
Ia mengakui memang belum ada terobosan baru selain pemberian beasiswa. Kesulitan lainnya, pemerintah masih kesulitan menggandeng perusahaan swasta guna membantu mahasiswa yang kurang mampu untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi.
"Perusahaan swasta tidak ingin sia-sia memberikan beasiswa kepada mahasiswa kurang mampu. Mereka juga ingin mendapatkan keuntungan, yakni hanya merekrut mahasiswa kurang mampu yang berprestasi, sebagai image dan investasi di masa mendatang bagi perusahaan tersebut," ungkap Satryo.
Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengemukakan hal itu Senin (26/2) kepada Media Indonesia, menjawab masih minimnya terobosan pendanaan dari pemerintah kepada warga miskin yang ingin melanjutkan pendidikan ke universitas.
"Jika pemerintah diminta untuk mengembangkan kembali program pemberian pinjaman seperti yang diterapkan oleh pemerintah China, maka instansi lain terkait yakni Departemen Keuangan, juga perlu mengembangkan sistem pemberlakuan pajak bagi setiap orang yang bekerja," katanya.
Dijelaskan, dengan mekanisme perpajakan seperti itu maka setiap orang yang bekerja dipastikan membayar pajak. Dalam hal ini, pajak bagi keluarga mahasiswa yang kurang mampu tetapi ada yang sudah bekerja akan dikenakan secara otomatis. "Pajak yang ia bayar itulah kemudian digunakan untuk membayar pinjaman kepada pemerintah."
Satryo mengungkapkan model seperti yang dikembangkan pemerintah China saat ini, yakni dengan memberikan pinjaman kepada keluarga yang anaknya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, pernah diterapkan pemerintah Indonesia pada 1980-an. Namun, yang terjadi kucuran pinjaman saat itu tingkat pengembaliannya hanya sekitar 5%. Sementara saat itu pemerintah butuh biaya untuk keberlangsungan program lainnya, sehingga program tersebut dihapuskan.
Selepas program tersebut, upaya membantu pendanaan pendidikan bagi warga miskin di perguruan tinggi difokuskan pada program beasiswa. Dan, saat ini pemerintah hanya mampu memberi beasiswa pendidikan kepada 300 ribu mahasiswa per tahun yang tersebar di seluruh Indonesia, di perguruan tinggi negeri dan swasta.
"Jumlah itu memang belum terlalu besar, namun tidak semua mahasiswa yang kurang mampu lalu di-cover oleh pemerintah. Sebab, dari anggaran yang tersedia saat ini, pemerintah sedang memprioritaskan program pemerataan akses pendidikan wajar sembilan tahun di seluruh Indonesia," ungkap Satryo.
Ia mengakui memang belum ada terobosan baru selain pemberian beasiswa. Kesulitan lainnya, pemerintah masih kesulitan menggandeng perusahaan swasta guna membantu mahasiswa yang kurang mampu untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi.
"Perusahaan swasta tidak ingin sia-sia memberikan beasiswa kepada mahasiswa kurang mampu. Mereka juga ingin mendapatkan keuntungan, yakni hanya merekrut mahasiswa kurang mampu yang berprestasi, sebagai image dan investasi di masa mendatang bagi perusahaan tersebut," ungkap Satryo.