Krisis Barang pada Zaman Jepang

spirit

Mod
86255239321119082965.large

Para pekerja romusha pada zaman Jepang. (geheugen.delpher.nl)​

Pandemi Covid-19 menyebabkan beberapa barang langka di pasaran. Contohnya masker dan cairan pembersih tangan. Belakangan barang kebutuhan pokok semisal gula ikut langka. Kekhawatiran muncul dari masyarakat terhadap ketersediaan barang kebutuhan pokok. Tapi pemerintah meyakinkan tidak akan ada kelangkaan barang kebutuhan pokok.

Kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok pernah terjadi begitu akut dalam sejarah Indonesia sehingga membuat krisis barang. Pada masa Jepang, rakyat sulit memperoleh barang pangan dan sandang. Ini berbeda dari dekade sebelumnya. Masa resesi ekonomi (malaise) dalam dekade 1930-an, barang tersedia melimpah. Tapi uang justru langka.

Kelangkaan pangan dan sandang bersebab dari kebijakan Jepang menempuh ekonomi perang.

“Produksi terus digenjot untuk memenuhi keperluan militer Jepang, bahan pangan di pasar banyak menghilang, rakyat digerakkan untuk kerja paksa, bahkan pakaian disita,” ungkap Thomas J. Lindblad dalam “Krisis Ekonomi dalam Sejarah Indonesia Abad ke-20”, termuat di Dari Krisis ke Krisis: Masyarakat Indonesia Menghadapi Krisis Ekonomi Selama Abad 20.

Menanam di Rumah

Di Jakarta, pemilik warung kelontong tidak bisa berjualan lagi. Beras, jagung, bakiak, sikat, dan barang keperluan sehari-hari menghilang dari pasaran.

“Kebetulan kami punya warung atau semacam toko kecil, tetapi praktis sudah tidak ada apa-apa lagi isinya, hanya sedikit barang-barang lama yang tak berarti,” kenang Amiruddin Djumadi dalam Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang yang Mengalaminya.

Penduduk Jakarta juga kekurangan bahan pangan. Mereka punya cukup uang untuk membeli beras dan sayur-mayur, tetapi barangnya langka. Kalaupun ada, Jepang menjatah barang-barang tersebut. Untuk menyiasati kelangkaan bahan pangan, penduduk menanam sayur-mayur di halaman rumah masing-masing.

“Makanya di halaman rumah saya itu sampai ada terong, ada buncis, ada tomat. Kadang-kadang pohon cempaka di pekarangan itu bisa dianu… diapakan sama orang… dijual bunganya. Dengan demikian sisa makan sama sayur-sayuran yang ada di halaman,” kisah Hafni Zahra Abu Hanifah.

Di luar Jakarta, krisis barang jauh lebih parah dan mengubah banyak hal. Penduduk Bangka, misalnya, terpaksa beralih profesi dari buruh tambang timah menjadi petani di pedalaman. Pada masa kolonial, mereka memproduksi timah untuk ekspor.

Tapi Jepang mengubah orientasi produksi tersebut untuk perang. Juga mengurangi jatah kebutuhan harian para buruh seperti untuk pangan, kesehatan, dan kesejahteraan.

Jika bertahan di pertambangan, para buruh akan kelaparan. Hanya tinggal menunggu waktu untuk mati. Sebagian besar mereka memilih kabur ke desa. “Mereka membuka kebun baru dan hidup di gubuk yang terpencil,” catat Erwiza Erman dalam “Antara Lada dan Timah: Pengalaman Krisis di Bangka (1929–2003)”, termuat di Dari Krisis ke Krisis.

Jepang mencium peralihan aktivitas penduduk. Mereka merazia setiap hasil produksi perkebunan swadaya penduduk Bangka. Akibatnya penduduk berhenti menanam. Untuk bertahan hidup, mereka melakukan barter barang. “Lada ditukar dengan kebutuhan dasar seperti garam, gula, dan kopi, sedangkan bahan lain yang tidak terpakai disembunyikan,” lanjut Erwiza.

Di Silungkang, Sumatra Barat, para pengrajin tenun frustrasi mencari bahan baku. Sebagai siasatnya, mereka menanam kapas di halaman rumah. Tapi seringkali penanaman butuh waktu cukup lama. Selama menunggu panen kapas, mereka menggunakan bahan-bahan tekstil bekas pakai seperti kaos kaki untuk memproduksi tenun.

Mirip dengan di Bangka, para penenun juga menyesuaikan diri dengan keadaan kelangkaan barang. “Produk mereka dibarter dengan bahan makanan dan barang kebutuhan lain, seperti minyak tanah dan minyak goreng,” ungkap Suribidari dalam “Keluar dari Krisis: Kegiatan Non-Pertanian di Sumatra Barat 1930-an–1990-an”.

Pedagang Gelap

Di Yogyakarta, krisis barang membuat pengusaha Tionghoa beralih menjadi pedagang gelap. Mereka tadinya membuka pabrik, tapi Jepang menutup atau menyita pabrik-pabrik tersebut. Sebagian pekerjanya diputus hubungan kerja. Untuk bertahan hidup, pengusaha Tionghoa merambah perdagangan gelap barang-barang kebutuhan sehari-hari.

Karena barang-barang langka, harganya pun meroket. Pedagang meraup untung dari sini. Kedudukan mereka berbeda dari krisis deflasi (penurunan harga) pada dekade 1930-an. Mereka, bersama segelintir kecil petani dan importir, menjadi golongan “pemenang” dalam era krisis barang akibat pendudukan Jepang.

Sementara kelompok pekerja upah bulanan dan pegawai pemerintah yang berjaya pada masa Depresi 1930 beralih jadi “pecundang”. “Buruh upahan dan terutama kelompok besar pegawai negeri terhantam cukup keras oleh ketimpangan antara kenaikan harga dan kenaikan upah serta gaji,” tulis Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta.

Beralih ke Jawa Timur, di daerah Besuki, krisis barang mendorong petani mengubah budidaya tanamannya. Dari tanaman pasar ke tanaman pangan. Jepang menjadikan wilayah Besuki sebagai pemasok bahan pangan bagi bala tentaranya di Asia Tenggara. Ini menyebabkan perkebunan tebu dan tembakau menjelma lahan penanaman padi.

Jepang membiarkan sejumlah perkebunan beroperasi. Tetapi pekerjanya dipangkas dan produksinya ditujukan bukan untuk ekspor. Kebijakan ini berdampak pada sektor lainnya.

“Mereka yang menjadi korban bukan hanya staf dan pekerja perkebunan, melainkan juga orang-orang yang bekerja di sektor lain yang terkait, seperti angkutan jalan raya, kereta api, serta pelabuhan,” catat S. Nawiyanto dalam “Tanggapan Terhadap Krisis di Masyarakat Frontier Jawa: Pengalaman Besuki dalam Perspektif Sejarah”.

Beberapa penganggur mencari pekerjaan di luar sektor pertanian dan perkebunan. Mereka memperoleh kerja di industri skala kecil seperti pengolahan kelapa, pembuatan gerabah, dan pemintalan tenun.

Kerja itu cukup membantu mereka mendapat upah. Tapi tidak menjamin mereka memperoleh bahan pangan utama sehingga membuat mereka mengolah bahan pangan apa saja. Dari walang sangit, ampas teh, biji mangga, sampai biji rambutan.

Pendudukan Jepang berakhir pada Agustus 1945. Beberapa wilayah berangsur pulih dari krisis barang. Tetapi sebagian daerah tadi mulai mengalami krisis keamanan pada zaman revolusi kemerdekaan.



 
Ngeri ya... Nggak kebayang gimana rasanya hidup di zaman itu... Apalagi sampai harus nyari tempat terpencil buat bangun gubuk...
 
Ngeri ya... Nggak kebayang gimana rasanya hidup di zaman itu... Apalagi sampai harus nyari tempat terpencil buat bangun gubuk...

pada zaman itu mungkin sama sulitnya dengan zaman sekarang jika kita mengacu pada masing2 zaman. misalnya zaman dulu sulit untuk mendapatkan rumah yang layak karena keterbatasan alat dan daya beli, namun mereka tidak terlalu sulit untuk memperoleh singkong yang bisa dimakan, bisa tanam sendiri, sayuran bisa tanam sendiri

sedangkan dizaman sekarang orang2 terhubung secara digital, lahan pertanian sangat kurang bagi yang tinggal daerah perkotaan, segala sesuatunya harus beli, mudah dicurigai orang lain, pembunuhan dan kekerasan seksual terjadi dimana2, lapangan kerja yang sesuai harapan sulit didapatkan
 
pada zaman itu mungkin sama sulitnya dengan zaman sekarang jika kita mengacu pada masing2 zaman. misalnya zaman dulu sulit untuk mendapatkan rumah yang layak karena keterbatasan alat dan daya beli, namun mereka tidak terlalu sulit untuk memperoleh singkong yang bisa dimakan, bisa tanam sendiri, sayuran bisa tanam sendiri

Entahlah, kalau saya sendiri sih bersyukur hidup di zaman sekarang, walaupun tahun 2020 ini terasa lebih berat dari tahun-tahun lainnya, tapi semisal saya hidup di zaman seperti yang dijelaskan di postingan pertama, saya rasa nggak akan kuat...
 
Entahlah, kalau saya sendiri sih bersyukur hidup di zaman sekarang, walaupun tahun 2020 ini terasa lebih berat dari tahun-tahun lainnya, tapi semisal saya hidup di zaman seperti yang dijelaskan di postingan pertama, saya rasa nggak akan kuat...

ada benarnya ga kuat bro jika bandingkan fisik sekarang. tapi orang2 di zamannya seperti yang kita bahas itu berbeda, baik fisik maupun pola hidup

mereka bisa minum air sungai tanpa di masak. zaman itu blm ada kompor dan blm ada kulkas. saya bandingkan tahun 90an saat saya sekolah di SD kelas 5, jalan kaki 4 KM pulang pergi kl ke sekolah. dan biasa aja saat itu tdk mengeluh sebab kondisinya seperti itu. tidak ada alat transportasi, mengandalkan kuda
 
mereka bisa minum air sungai tanpa di masak.

kalau soal minum air sungai, saya rasa bukan karena daya tahan tubuh mereka deh, tapi karena air sungai di zaman itu belum tercemar bahan-bahan kimiawi... saya kalau di gunung minum air sungai juga nggak kenapa-napa...
 
Back
Top