spirit
Mod
Foto: Dok. Dewi Suryana
Dewi Suryana (21) menjalani kuliah di Teknik Material Nanyang Technological University (NTU) sejak 2013. Dana beasiswa yang sering telat, membuat Dewi kembali jungkir balik.
"Saya nggak tahu kalau dana beasiswa itu bisa telat. Selalu telat selama ini. Misalnya sudah diurus September, uangnya bisa cair November, Desember. Telatnya biasanya 1-2 bulan. Tahun pertama saya kuliah di sana, 1 SGD sudah Rp 10 ribu," tutur Dewi saat berbincang dengan detikcom pada Minggu (26/9/2016) malam.
Saat berbincang, Dewi sedang berada dalam MRT di Singapura, menuju tempat murid les privatnya. Suara penanda dari MRT pun bolak-balik terdengar di latar belakang.
"Untuk menghemat, saya bawa rice cooker. Sekali makan di Singapura itu rata-rata 3 dolar Singapura. Itu sekitar Rp 30 ribu kan yah, padahal di level warteg-nya. Kaya makan di mal (di Indonesia). Karena masakan saya nggak enak, saya masak nasi, bawa mie instan. Kalau ke kampus saya bawa nasi dalam kotak makan, terus saya beli lauk yang harganya 1 dollar. Kaya semacam daging tapi besar. Yang penting kenyang, begitu setiap hari selama tahun pertama," tuturnya.
Di tahun kedua, Dewi mulai mencari pekerjaan tambahan untuk tambal sulam biaya hidup kala dana beasiswanya telat. Dibantu mantan guru matematikanya saat kelas 1 di SMAK Penabur Gading Serpong, Anton Wardaya, Dewi mendapatkan murid les privat pertama di Singapura.
"Kemudian saya mengajar, dan nggak sempat masak nasi lagi. Akhirnya bolehlah makan yang 2 dollar (Singapura). Saya makan 2 lauk, 1 sayur. Kalau di Indonesia kan Rp 5 ribu, Rp 6 ribu sudah dapat lauknya," tuturnya sambil terkekeh.
Lama-lama, murid-murid les privat Dewi makin banyak dari mulut ke mulut. Dalam satu periode, Dewi bisa menangani 13 murid dengan metode tatap muka satu per satu. Jadwal mengajar les privat ini termasuk Sabtu-Minggu, sehingga Dewi jarang libur di akhir pekan.
"Saya belajar saat kuliah ya begini, di MRT saat mau ke tempat murid les privat saya, saya buka-buka modul kuliah. Saya paksakan memang, saya capek, saya tetap mengajar. Nggak pernah ada alasan untuk nggak mengajar. Mending saya yang sakit daripada orangtua saya yang sakit. Saya sakit nggak seberapa karena saya kan masih muda," tuturnya.
Tanggung jawab itu dipilih Dewi lantaran dia harus membantu keluarganya di Pontianak. Ayahnya, Lim Bun Phong (55) yang bekerja serabutan jadi tukang memperbaiki alat-alat elektronik sudah mulai sakit, komplikasi pencernaan hingga mengalami masalah pada paru-paru karena dulunya perokok.
Ibunya, Lim Hoei Luan (56), juga bekerja serabutan sebagai pembuat dodol durian hingga berjualan baju dengan komisi yang tidak seberapa. Ayah ibu Dewi berjuang untuk membiayai dua adik laki-lakinya yang masih sekolah hingga nenek dari sang ayah. Kakak perempuannya sudah mulai kuliah di kampus swasta di Jakarta, juga sambil bekerja.
Hampir tak ada waktu bersenang-senang saat dia kuliah. Dia sempat mengikuti perhimpunan mahasiswa dan aktif di bidang publikasi yang bertugas membuat poster karena suka mendesain. Namun sesekali bila stres melanda, Dewi lebih suka menghibur diri di asrama, tidur, menonton film dan sesekali makan bersama beberapa teman dekatnya. "Cuma nggak bisa lama-lama (nongkrongnya)," kata dia.
Dok. Dewi Suryana
Dewi bertekat dengan lulus cepat saat kuliah. Maka, bila teman-teman sekelasnya mengambil 5-6 mata pelajaran, Dewi mengambil 10 mata pelajaran dalam satu semester, dua kali lipatnya. Teman-teman pun mempertanyakan mengapa Dewi begitu getol kuliah dan tidak santai. Tekatnya ingin membuktikan prestasinya di bidang akademis hingga segera bekerja untuk membantu finansial keluarganya.
"Saya nggak mau bercerita apa sebab saya ingin lulus cepat-cepat. Buat apa juga cerita ke mereka, nggak perlu tahu juga. Saya akan cerita kalau sudah terbukti bisa saya jalani suatu hari," jelasnya.
Perlahan, Dewi mereguk hasilnya. Pada 30 Juli 2016 lalu, dia akhirnya diwisuda sebagai sarjana teknik material NTU dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 4,6 dari skala 5, dengan waktu 3 tahun saja. Rata-rata waktu lulus di jurusan Dewi adalah 4 tahun. Maka dia lulus dengan kategori first class alias cumlaude.
Dok. Dewi Suryana
"Orang Indonesia sudah ada beberapa yang masuk first class di NTU itu. Cuma dalam 3 tahun ini ya baru saya," tuturnya bangga.
Dari hasil mengajar les privat, Dewi mengirimkan uang pada keluarganya di Pontianak dan menabung. Tabungan itu untuk biaya membeli tiket pesawat yang mendatangkan orangtua serta 3 saudaranya saat wisuda di NTU Singapura.
"Itu pertama kali, ayah ibu jalan ke luar negeri. Kakak dan adik saya ikut, ada satu adik saya nggak ikut karena sekolah. Mereka senang sekali," tuturnya.
Selulus NTU, Dewi diterima kerja di perusahaan semi konduktor multinasional, Lam Research sebagai process engineering. Namun, masih ada mimpi besarnya yang belum tercapai.
~detik.com