Bahasa Populer Dalam Dunia Sastra
DI awal kemunculannya, para penulis muda dianggap sebagai aktor-aktor yang akan merusak bahasa sekaligus budaya bangsa Indonesia. Kenalkah kita dengan idiom "Geto lho..."; "Sumpeh lho?"; atau "So what, gitu lhoh?!"? Tak mungkin di antara kita tak mengenalnya. Idiom ini seperti bayangan tubuh, terus mengikuti sampai mana pun kita berjalan.
Penggunaan idiom ini pun sudah tidak lagi berkutat di dunia lisan, tapi telah menjadi ikon di dunia tulis. Lihat saja maraknya karya-karya novel yang disebut Teenlit dan Chicklit, di mana penulisnya baru berusia 14-20 tahun.
Di awal kemunculannya, para penulis muda itu mendapat kritik tajam dari para ahli bahasa, apalagi kalau bukan masalah bahasa dan isi. Mereka dianggap sebagai aktor-aktor yang akan merusak bahasa sekaligus budaya bangsa itu sendiri.
Tapi hal ini tidak berlaku bagi industri penerbitan. Menurut editor PT Grasindo, Ario Bimo Nusantara, karya-karya itu lahir dari orisinilitas jiwa anak muda saat ini. Dari sisi isi, kebanyakan tentang hal-hal yang dekat dengan generasi sekarang, yang notabene sangat gencar digempur oleh globalisasi dan kecanggihan teknologi. Bahasa yang digunakan pun cenderung sangat akrab bagi pembacanya.
Ario Bimo dalam makalahnya menyebut memang terjadi pelabrakan kebakuan bahasa Indonesia. Dan, inilah yang lalu dianggap sebagai ciri khas dari novel populer. Bahkan ciri ini pula yang menjadi alasan adanya dikotomi atau pembedaan karya sastra antara yang serius dan tidak.
Sementara itu, staf pengajar sastra Indonesia, Nana Suryana, menanggapi adanya dikotomi itu menyebut bahwa hal ini telah terjadi sejak zaman Belanda dulu. Pada masa kolonial, Balai Pustaka yang didirikan dengan motif politik, pernah menggunakan label "bacaan liar" untuk produk sastra dengan corak tertentu. Dan dalam pandangan lembaga ini, salah satu tanda ke-"liar"-an bacaan itu terletak pada media bahasa yang digunakannya.
Sejarah mencatat bahwa pada masanya Balai Pustaka secara tegas menolak produk susastra yang ditulis dalam bahasa yang mereka sebut "bahasa Melayu rendah" (laag Maleisch). Menurut lembaga ini, karya yang ditulis dalam bahasa Melayu rendah tidak pantas dibaca masyarakat karena sifatnya yang "tidak mendidik". Untuk keperluan "pendidikan" masyarakat, pada waktu itu Balai Pustaka hanya merekomendasikan karya yang ditulis dalam "bahasa Melayu tinggi" (hoog Maleisch) yang notabene terbitan mereka sendiri.
Seperti "bacaan liar", sastra populer ditandai pula oleh penggunaan ragam bahasa tertentu yang dianggap tak standar, yang "menyimpang" dari kaidah-kaidah bahasa yang berlaku. Karena ragam bahasa yang digunakannya itulah, sastra populer dianggap sebagai sastra yang tidak bermutu dan tidak bermasa depan, sedangkan sastra serius sebaliknya.
Nana memberi contoh, karya Balai Pustaka seperti Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaja, dan Salah Asuhan tidak lebih baik dari Drama di Boven Digul, dan Student Hidjo. Malah, dua karya yang ditulis dalam bahasa Melayu rendah itu, lebih baik dan berani dalam mengupas isu-isu politik.
Ia menambahkan sistem fonologis, morfologis, sintaksis, maupun semantik memang "sengaja" ditabrak oleh pengarang demi kaidah estetik. Hal ini menurutnya, tidak jadi masalah. "Masalahnya ada nilai estetik dalam novel. Kaidah-kaidah formal dan baku bisa menghilangkan nilai itu, " katanya usai memberikan ceramah dalam workshop "Bahasa Indonesia vs bahasa populer" di GSG Unpar, Selasa (28/2).
Namun jangan dulu bicara sistem itu pada karya penulis muda. Menurut Ario Bimo, yang berada di tempat yang sama, kesalahan yang sering ditemui adalah mengenai kecermatan membedakan antara bahasa lisan dengan bahasa tulisan. Pengarang bahasa populer kadangkala kurang memahami, seperti penempatan titik dan koma kalimat. Menurutnya, pengabaian terhadap tata bahasa, malah akan menghilangkab unsur-unsur penting dalam novel, tokoh, alur, tema, pencerita, dan latar.
Dari pengalamannya, seringkali Ario membongkar kalimat-kalimat asli dari pengarangnya. Hal ini mendapat tanggapan dari peserta workshop yang takut akan terjadi perbedaan makna dan pesan setelah perombakan. Dan, Ario membantah kekhawatiran itu.
Workshop "Bahasa Indonesia vs bahasa populer" ini diikuti oleh sekira 20 orang peserta. Peserta kebanyakan adalah mahasiswa Universitas Parahyangan yang berminat terjun dalam dunia penulisan novel. Workshop ini merupakan rangkaian gelaran Book Fair Fisip 06. Sesuai dengan tema "The Road to Achieve" pada pameran buku ini, maka workshop itu bisa menjadi jalan untuk melahirkan penulis-penulis muda.***
pujanggaedan