kumpulan sastra amatiran

rumahku
Rumahku. rumah ku indah sekali di depan rumahku ada danau yang banyak angsa-angsa yang indah,tanah yg di rumah ku subur lingkunggan sekitarku asri dan indah. rumah ku sederhana tapi bagiku iya surga tempat tertampung kenanggan manisku waktu kecil bersama orang tua, tempat aku berteduh dari panas nya Matahari,tempat aku berlindung bila hujan deras,tempat untuk tidur yang bisa menahan dinginnya malam dan suara nyamuk. bisa kah kau bayangkan orang yang tidak punya rumah sungguh kasihan mereka hanya bisa berlindung dibawah pohon dari teriknya Matahari,mereka berlindung di bawah kolong jembatan untuk berlindung dari hujan atau untuk tidur, di tempat itu tak ada kenangan manis hanya ada jeritan anak-anak lapar,disitu.
lingkungan disana sungguh kumuh tanah becek dan polusi udara yang tidak bagus untuk pernafasan. meskipun begitu mereka tetap berusaha mencari uang yang Halal disetiap trotoar sering kutemukan anak-anak jalanan yang selalu diganggu oleh preman.makanya kita harus terus bersyukur pada Allah S.W.T. dan selalu memanfaat kan hidup ini dengan sebaik-baik nya sebelum kita menemui ajal.
 
Bahasa Populer Dalam Dunia Sastra

DI awal kemunculannya, para penulis muda dianggap sebagai aktor-aktor yang akan merusak bahasa sekaligus budaya bangsa Indonesia. Kenalkah kita dengan idiom "Geto lho..."; "Sumpeh lho?"; atau "So what, gitu lhoh?!"? Tak mungkin di antara kita tak mengenalnya. Idiom ini seperti bayangan tubuh, terus mengikuti sampai mana pun kita berjalan.

Penggunaan idiom ini pun sudah tidak lagi berkutat di dunia lisan, tapi telah menjadi ikon di dunia tulis. Lihat saja maraknya karya-karya novel yang disebut Teenlit dan Chicklit, di mana penulisnya baru berusia 14-20 tahun.

Di awal kemunculannya, para penulis muda itu mendapat kritik tajam dari para ahli bahasa, apalagi kalau bukan masalah bahasa dan isi. Mereka dianggap sebagai aktor-aktor yang akan merusak bahasa sekaligus budaya bangsa itu sendiri.

Tapi hal ini tidak berlaku bagi industri penerbitan. Menurut editor PT Grasindo, Ario Bimo Nusantara, karya-karya itu lahir dari orisinilitas jiwa anak muda saat ini. Dari sisi isi, kebanyakan tentang hal-hal yang dekat dengan generasi sekarang, yang notabene sangat gencar digempur oleh globalisasi dan kecanggihan teknologi. Bahasa yang digunakan pun cenderung sangat akrab bagi pembacanya.

Ario Bimo dalam makalahnya menyebut memang terjadi pelabrakan kebakuan bahasa Indonesia. Dan, inilah yang lalu dianggap sebagai ciri khas dari novel populer. Bahkan ciri ini pula yang menjadi alasan adanya dikotomi atau pembedaan karya sastra antara yang serius dan tidak.

Sementara itu, staf pengajar sastra Indonesia, Nana Suryana, menanggapi adanya dikotomi itu menyebut bahwa hal ini telah terjadi sejak zaman Belanda dulu. Pada masa kolonial, Balai Pustaka yang didirikan dengan motif politik, pernah menggunakan label "bacaan liar" untuk produk sastra dengan corak tertentu. Dan dalam pandangan lembaga ini, salah satu tanda ke-"liar"-an bacaan itu terletak pada media bahasa yang digunakannya.

Sejarah mencatat bahwa pada masanya Balai Pustaka secara tegas menolak produk susastra yang ditulis dalam bahasa yang mereka sebut "bahasa Melayu rendah" (laag Maleisch). Menurut lembaga ini, karya yang ditulis dalam bahasa Melayu rendah tidak pantas dibaca masyarakat karena sifatnya yang "tidak mendidik". Untuk keperluan "pendidikan" masyarakat, pada waktu itu Balai Pustaka hanya merekomendasikan karya yang ditulis dalam "bahasa Melayu tinggi" (hoog Maleisch) yang notabene terbitan mereka sendiri.

Seperti "bacaan liar", sastra populer ditandai pula oleh penggunaan ragam bahasa tertentu yang dianggap tak standar, yang "menyimpang" dari kaidah-kaidah bahasa yang berlaku. Karena ragam bahasa yang digunakannya itulah, sastra populer dianggap sebagai sastra yang tidak bermutu dan tidak bermasa depan, sedangkan sastra serius sebaliknya.

Nana memberi contoh, karya Balai Pustaka seperti Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaja, dan Salah Asuhan tidak lebih baik dari Drama di Boven Digul, dan Student Hidjo. Malah, dua karya yang ditulis dalam bahasa Melayu rendah itu, lebih baik dan berani dalam mengupas isu-isu politik.

Ia menambahkan sistem fonologis, morfologis, sintaksis, maupun semantik memang "sengaja" ditabrak oleh pengarang demi kaidah estetik. Hal ini menurutnya, tidak jadi masalah. "Masalahnya ada nilai estetik dalam novel. Kaidah-kaidah formal dan baku bisa menghilangkan nilai itu, " katanya usai memberikan ceramah dalam workshop "Bahasa Indonesia vs bahasa populer" di GSG Unpar, Selasa (28/2).

Namun jangan dulu bicara sistem itu pada karya penulis muda. Menurut Ario Bimo, yang berada di tempat yang sama, kesalahan yang sering ditemui adalah mengenai kecermatan membedakan antara bahasa lisan dengan bahasa tulisan. Pengarang bahasa populer kadangkala kurang memahami, seperti penempatan titik dan koma kalimat. Menurutnya, pengabaian terhadap tata bahasa, malah akan menghilangkab unsur-unsur penting dalam novel, tokoh, alur, tema, pencerita, dan latar.

Dari pengalamannya, seringkali Ario membongkar kalimat-kalimat asli dari pengarangnya. Hal ini mendapat tanggapan dari peserta workshop yang takut akan terjadi perbedaan makna dan pesan setelah perombakan. Dan, Ario membantah kekhawatiran itu.

Workshop "Bahasa Indonesia vs bahasa populer" ini diikuti oleh sekira 20 orang peserta. Peserta kebanyakan adalah mahasiswa Universitas Parahyangan yang berminat terjun dalam dunia penulisan novel. Workshop ini merupakan rangkaian gelaran Book Fair Fisip 06. Sesuai dengan tema "The Road to Achieve" pada pameran buku ini, maka workshop itu bisa menjadi jalan untuk melahirkan penulis-penulis muda.***

pujanggaedan
 
***WAKTU***

Dan jika engkau bertanya, bagaimanakah tentang Waktu?….
Kau ingin mengukur waktu yang tanpa ukuran dan tak terukur.
Engkau akan menyesuaikan tingkah lakumu dan bahkan mengarahkan perjalanan jiwamu menurut jam dan musim.
Suatu ketika kau ingin membuat sebatang sungai, diatas bantarannya kau akan duduk dan menyaksikan alirannya.
Namun keabadian di dalam dirimu adalah kesadaran akan kehidupan nan abadi,
Dan mengetahui bahwa kemarin hanyalah kenangan hari ini dan esok hari adalah harapan.

Dan bahwa yang bernyanyi dan merenung dari dalam jiwa, senantiasa menghuni ruang semesta yang menaburkan bintang di angkasa.
Setiap di antara kalian yang tidak merasa bahwa daya mencintainya tiada batasnya?
Dan siapa pula yang tidak merasa bahwa cinta sejati, walau tiada batas,
tercakup di dalam inti dirinya, dan tiada bergerak dari pikiran cinta ke pikiran cinta,
pun bukan dari tindakan kasih ke tindakan kasih yang lain?
Dan bukanlah sang waktu sebagaimana cinta, tiada terbagi dan tiada kenal ruang?
Tapi jika di dalam pikiranmu haru mengukur waktu ke dalam musim, biarkanlah tiap musim merangkum semua musim yang lain,
Dan biarkanlah hari ini memeluk masa silam dengan kenangan dan masa depan dengan kerinduan.


pujanggaedan
 
Back
Top