Dipi76
New member
Seruan TII dan IBC
Batalkan! Proyek Pembangunan Gedung DPR
Laporan wartawan KOMPAS.com Hindra Liu
Minggu, 16 Januari 2011 | 11:33 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Transparansi Internasional Indonesia (TII) dan Indonesia Budget Center (IBC) mendesak DPR RI membatalkan rencana proyek pembangunan Gedung DPR RI senilai Rp 1,3 triliun. Rencana pembangunan tersebut dinilai tak berlangsung transparan dan akuntabel.
"Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Pius Lustrilanang menyatakan, pengadaan konsultan guna menyediakan jasa konsultan terkait rencana proyek pembangunan Gedung DPR tidak melalui tender. Ini jelas menyalahi ketentuan peraturan-perundang-undangan yang ada, seperti Keppres 80 Tahun 2003 maupun Perpres 54 Tahun 2010," kata peneliti TII Heni Yulianto dan peneliti IBC Roy Salam, Minggu (16/1/2010) di Jakarta.
"Saat masyarakat gencar mempertanyakan pengadaaan barang dan jasa (PBJ) jasa konsultasi tersebut, BURT DPR tidak memaparkan dengan gamblang dan bahkan memberikan pernyataan yang membingungkan antara satu sama lain," sambungnya.
Belakangan, atas desakan publik, Ketua DPR RI Marzuki Alie menyatakan bahwa dana untuk PBJ jasa konsultasi senilai Rp 18 miliar. TII dan IBC menilai terjadi dua kali pembohongan publik terhadap angka Rp 18 miliar tersebut. "Pertama, betulkah nilainya Rp 18 miliar saja atau lebih dari itu. Kedua, terkait jasa proyek konsultasi saja, pada dasarnya tidak dapat dilaksanakan jika terdapat satu fraksi yang menolak," kata TII dan IBC dalam pernyataan bersamanya.
Dengan demikian, TII dan IBC menilai, DPR telah melakukan kebohongan publik dan melakukan pemufakatan jahat atas rencana pembangunan gedung setinggi 36 tingkat tersebut. Langkah DPR untuk terus memproses rencana pembangunan tersebut dinilai tidak sah karena terdapat beberapa fraksi yang menolak rencana tersebut, seperti Gerindra.
Rencana ini dinilai tak sensitif. Pasalnya, saat ini rakyat sedang membutuhkan dukungan anggaran negara untuk mengatasi berbagai persoalan kemiskinan, pengangguran, dan buruknya layanan publik. Rencana ini dinilai semakin tak tepat terutama mengingat minimnya prestasi para anggota dewan tahun 2010. Sejumlah deretan kegagalan DPR dikatakan seharusnya dijadikan bahan evaluasi untuk memperbaiki kinerja sesuai dengan fungsi yang digariskan di dalam undang-undang.
======================
Rp 1,3 Triliun
Dana Gedung DPR Baru Bisa buat Apa Saja?
Laporan wartawan KOMPAS.com Hindra Liu
Minggu, 16 Januari 2011 | 12:11 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Di tengah-tengah kritikan publik, DPR RI tetap bersikeras melanjutkan rencana pembangunan gedung DPR RI baru yang menelan dana senilai Rp 1,31 triliun. Dari dana tersebut, Rp 1,16 triliun digunakan untuk biaya konstruksi dan manajemen. Sementara sisanya digunakan untuk biaya IT, sistem keamanan, dan furnitur.
Urgensi pembangunan gedung baru setinggi 36 tingkat dan seluas 156.586 meter persegi itu dipertanyakan.
Indonesia Budget Center menyatakan, angka Rp 1,3 ini setara dengan: 1. Dana untuk BOS SMP bagi 2,02 juta siswa. Berdasarkan kebijakan BOS Tahun 2010, dana BOS SMP Rp 575.000 per tahun 2. Dana pembangunan 16.000 ruang kegiatan belajar atau kelas baru. Sekitar 16.000 kelas baru ini dapat menampung setidaknya 640.000 siswa (dengan asumsi 1 ruang kelas dapat menampung 40 siswa). Berdasarkan Permendiknas 19/2010, standar biaya 1 ruang kelas baru sekitar Rp 80 juta.
3. Dana bagi 19,5 juta peserta Jamkesmas baru (biaya Jamkesmas saat ini sekitar Rp 66.700 per tahun). 4. Dana untuk membangun 21.000 unit rumah baru di Wasior, Padang, Mentawai, dan Yogyakarta. Berdasarkan desain dari Teknik Sipil ITS, biaya pembangunan satu unit rumah baru sekitar Rp 60 juta.
5. Dana untuk menaikkan subsidi pupuk sebesar 8 persen. Subsidi pupuk 2011 sebesar Rp 16,3 triliun, atau turun 11 persen dibandingkan tahun 2010 (Rp 18,4 triliun).
===================
Formappi: Buka Lagi Dokumen soal Gedung DPR
Minggu, 16 Januari 2011 | 23:59 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menyambut baik rencana Ketua DPR Marzuki Alie membuka dokumen terkait persetujuan tentang rencana pembangunan gedung baru DPR.
Sebastian kepada pers di Jakarta, Minggu (16/1/2011), mengemukakan, publik memang harus tahu mengenai kronologi persetujuan pembangunan gedung 36 lantai itu.
Publik tidak tahu bagaimana proses di internal DPR dalam pengambilan keputusan. Namun, dia mengingatkan jangan sampai hal itu menjadi "blunder" bagi pimpinan DPR.
Menurut dia, pimpinan DPR perlu mengecek kembali seluruh dokumen tersebut dan memperdalam benar apakah betul ada fraksi yang menolak pembangunan gedung tersebut dari awal.
"Saya rasa pimpinan DPR harus betul-betul melihat seluruh dokumen. Jangan sampai karena ulah orang-orang tertentu, pimpinan justru malu. Setahu saya, Fraksi Partai Gerindra, dari dokumen yang mereka berikan kepada kami ketika kami meminta, memang menolak. Itu bisa dibuktikan dari surat mereka ke pimpinan DPR," kata dia.
Pertanyaannya, kata Sebastian, apakah pimpinan DPR tidak mendapatkan surat itu karena ada yang tidak menyampaikan atau ada hal lain.
Mengenai pernyataan Marzuki yang mengatakan bahwa seluruh fraksi ikut menyetujui dalam rapat-rapat, antara lain paripurna pembahasan APBN, Sebastian melihat bisa saja Fraksi Gerindra saat itu tidak ada keputusan tersebut karena memang keputusan APBN tidak pernah detail.
"Pimpinan DPR juga tidak bisa melandasi pelaksanaan proyek itu dengan dasar legalitas formal bahwa hal itu sudah disetujui saja oleh semua, tetapi betul-betul harus melihat keadaan," katanya.
Dia mengatakan, sebuah kebijakan bagus, boleh jadi penting. Namun, kalau disampaikan pada waktu yang tidak tepat, hal itu menjadi mubazir. Apalagi, kalau itu disampaikan tanpa dikemas dengan baik, substansinya akan menjadi bias.
Dia tidak bisa memastikan siapa yang jujur dan siapa yang tidak dalam konteks penjelasan Marzuki bahwa semua fraksi setuju.
"Gerindra sudah mengirim surat dua kali dan diserahkan kepada Formappi. Ketika kami menanyakan tentang penolakan Gerindra sebagai upaya mencari popularitas, mereka bilang tidak," katanya.
===============
sumber: kompas
-dipi-
Batalkan! Proyek Pembangunan Gedung DPR
Laporan wartawan KOMPAS.com Hindra Liu
Minggu, 16 Januari 2011 | 11:33 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Transparansi Internasional Indonesia (TII) dan Indonesia Budget Center (IBC) mendesak DPR RI membatalkan rencana proyek pembangunan Gedung DPR RI senilai Rp 1,3 triliun. Rencana pembangunan tersebut dinilai tak berlangsung transparan dan akuntabel.
"Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Pius Lustrilanang menyatakan, pengadaan konsultan guna menyediakan jasa konsultan terkait rencana proyek pembangunan Gedung DPR tidak melalui tender. Ini jelas menyalahi ketentuan peraturan-perundang-undangan yang ada, seperti Keppres 80 Tahun 2003 maupun Perpres 54 Tahun 2010," kata peneliti TII Heni Yulianto dan peneliti IBC Roy Salam, Minggu (16/1/2010) di Jakarta.
"Saat masyarakat gencar mempertanyakan pengadaaan barang dan jasa (PBJ) jasa konsultasi tersebut, BURT DPR tidak memaparkan dengan gamblang dan bahkan memberikan pernyataan yang membingungkan antara satu sama lain," sambungnya.
Belakangan, atas desakan publik, Ketua DPR RI Marzuki Alie menyatakan bahwa dana untuk PBJ jasa konsultasi senilai Rp 18 miliar. TII dan IBC menilai terjadi dua kali pembohongan publik terhadap angka Rp 18 miliar tersebut. "Pertama, betulkah nilainya Rp 18 miliar saja atau lebih dari itu. Kedua, terkait jasa proyek konsultasi saja, pada dasarnya tidak dapat dilaksanakan jika terdapat satu fraksi yang menolak," kata TII dan IBC dalam pernyataan bersamanya.
Dengan demikian, TII dan IBC menilai, DPR telah melakukan kebohongan publik dan melakukan pemufakatan jahat atas rencana pembangunan gedung setinggi 36 tingkat tersebut. Langkah DPR untuk terus memproses rencana pembangunan tersebut dinilai tidak sah karena terdapat beberapa fraksi yang menolak rencana tersebut, seperti Gerindra.
Rencana ini dinilai tak sensitif. Pasalnya, saat ini rakyat sedang membutuhkan dukungan anggaran negara untuk mengatasi berbagai persoalan kemiskinan, pengangguran, dan buruknya layanan publik. Rencana ini dinilai semakin tak tepat terutama mengingat minimnya prestasi para anggota dewan tahun 2010. Sejumlah deretan kegagalan DPR dikatakan seharusnya dijadikan bahan evaluasi untuk memperbaiki kinerja sesuai dengan fungsi yang digariskan di dalam undang-undang.
======================
Rp 1,3 Triliun
Dana Gedung DPR Baru Bisa buat Apa Saja?
Laporan wartawan KOMPAS.com Hindra Liu
Minggu, 16 Januari 2011 | 12:11 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Di tengah-tengah kritikan publik, DPR RI tetap bersikeras melanjutkan rencana pembangunan gedung DPR RI baru yang menelan dana senilai Rp 1,31 triliun. Dari dana tersebut, Rp 1,16 triliun digunakan untuk biaya konstruksi dan manajemen. Sementara sisanya digunakan untuk biaya IT, sistem keamanan, dan furnitur.
Urgensi pembangunan gedung baru setinggi 36 tingkat dan seluas 156.586 meter persegi itu dipertanyakan.
Indonesia Budget Center menyatakan, angka Rp 1,3 ini setara dengan: 1. Dana untuk BOS SMP bagi 2,02 juta siswa. Berdasarkan kebijakan BOS Tahun 2010, dana BOS SMP Rp 575.000 per tahun 2. Dana pembangunan 16.000 ruang kegiatan belajar atau kelas baru. Sekitar 16.000 kelas baru ini dapat menampung setidaknya 640.000 siswa (dengan asumsi 1 ruang kelas dapat menampung 40 siswa). Berdasarkan Permendiknas 19/2010, standar biaya 1 ruang kelas baru sekitar Rp 80 juta.
3. Dana bagi 19,5 juta peserta Jamkesmas baru (biaya Jamkesmas saat ini sekitar Rp 66.700 per tahun). 4. Dana untuk membangun 21.000 unit rumah baru di Wasior, Padang, Mentawai, dan Yogyakarta. Berdasarkan desain dari Teknik Sipil ITS, biaya pembangunan satu unit rumah baru sekitar Rp 60 juta.
5. Dana untuk menaikkan subsidi pupuk sebesar 8 persen. Subsidi pupuk 2011 sebesar Rp 16,3 triliun, atau turun 11 persen dibandingkan tahun 2010 (Rp 18,4 triliun).
===================
Formappi: Buka Lagi Dokumen soal Gedung DPR
Minggu, 16 Januari 2011 | 23:59 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menyambut baik rencana Ketua DPR Marzuki Alie membuka dokumen terkait persetujuan tentang rencana pembangunan gedung baru DPR.
Sebastian kepada pers di Jakarta, Minggu (16/1/2011), mengemukakan, publik memang harus tahu mengenai kronologi persetujuan pembangunan gedung 36 lantai itu.
Publik tidak tahu bagaimana proses di internal DPR dalam pengambilan keputusan. Namun, dia mengingatkan jangan sampai hal itu menjadi "blunder" bagi pimpinan DPR.
Menurut dia, pimpinan DPR perlu mengecek kembali seluruh dokumen tersebut dan memperdalam benar apakah betul ada fraksi yang menolak pembangunan gedung tersebut dari awal.
"Saya rasa pimpinan DPR harus betul-betul melihat seluruh dokumen. Jangan sampai karena ulah orang-orang tertentu, pimpinan justru malu. Setahu saya, Fraksi Partai Gerindra, dari dokumen yang mereka berikan kepada kami ketika kami meminta, memang menolak. Itu bisa dibuktikan dari surat mereka ke pimpinan DPR," kata dia.
Pertanyaannya, kata Sebastian, apakah pimpinan DPR tidak mendapatkan surat itu karena ada yang tidak menyampaikan atau ada hal lain.
Mengenai pernyataan Marzuki yang mengatakan bahwa seluruh fraksi ikut menyetujui dalam rapat-rapat, antara lain paripurna pembahasan APBN, Sebastian melihat bisa saja Fraksi Gerindra saat itu tidak ada keputusan tersebut karena memang keputusan APBN tidak pernah detail.
"Pimpinan DPR juga tidak bisa melandasi pelaksanaan proyek itu dengan dasar legalitas formal bahwa hal itu sudah disetujui saja oleh semua, tetapi betul-betul harus melihat keadaan," katanya.
Dia mengatakan, sebuah kebijakan bagus, boleh jadi penting. Namun, kalau disampaikan pada waktu yang tidak tepat, hal itu menjadi mubazir. Apalagi, kalau itu disampaikan tanpa dikemas dengan baik, substansinya akan menjadi bias.
Dia tidak bisa memastikan siapa yang jujur dan siapa yang tidak dalam konteks penjelasan Marzuki bahwa semua fraksi setuju.
"Gerindra sudah mengirim surat dua kali dan diserahkan kepada Formappi. Ketika kami menanyakan tentang penolakan Gerindra sebagai upaya mencari popularitas, mereka bilang tidak," katanya.
===============
sumber: kompas
-dipi-