Rasa-rasanya daku bakal tulis postingan panjang lebar nih.
Karena sudah ada yang memberikan contoh kongkrit, terlepas itu salah atau benar, rasanya daku perlu sedikit menuliskan apa yang sebenarnya terjadi, karena kalau melihat beberapa postingan, baik yang kasih contoh ataupun hanya sekedar mengambang, agaknya masih ada kabut yang menutupi pandangan sehingga daku yakin pendapat yang diambil tidaklah dapat dikatakan sebagai pendapat yang berangkat dari sebuah obyektifitas.
Satu yang pasti, mereka yang merasakan bahwa pemerintahan Soeharto (bedakan pemerintahan dan kepemimpinan) adalah yang terbaik mungkin hanyalah sekelompok orang yang dulu amat menikmati previlege dan romantisme kenikmatan duniawi di zaman Orba. Lalu dengan pandangan seperti itu apakah bisa lantas secara parsial dikatakan pemerintahan Soeharto (Orba) sebagai yang terbaik tanpa perlu membuat perbandingan secara empiris? Kalau pandangan subyektifitas yang dikedepankan, tentu akan menjadi sah-sah saja. Tapi ketika ada pandangan obyektif yang lebih masuk akal berdasarkan beberapa analisa empiris, kenapa hal itu nggak dilakukan.
Ketika mencari siapa yang terbaik, jangan lupakan faktor penting yaitu soal dimensi waktu. Pemerintahan mana yang bisa sejajar dengan pemerintahan Soeharto dalam hal lamanya memerintah? Orla? Kita nggak usah memperhitungkan Orla karena memang kondisinya berbeda dengan rejim-rejim sesudahnya. Atau rejim SBY? Bisakah dibandingkan? Bisa kalau perbandingannya hanya dalam masa Repelita 2 karena periode kedua pemerintahan SBY pun belum berakhir.
Ok kita coba diskusi lebih lanjut, dengan daku awali meng-quote beberapa postingan dari teman-teman di atas
Setuju deh
yang saya tau dulu pada saat pak soeharto menjabat sebagai kepala negara, saya nggak pernah harus pusing-pusing mikirin harga bahan pokok yang melejit, dulu kayaknya aman-aman aja tuh anggaran belanja bulanan ibu saya
sebahagian besar masyarakat pedesaan [yang tak terlibat politik] jika d tanya soal soeharto mereka akan berkata: soeharto yang terbaik
Nah, pendapat seperti, dulu harga barang terkendali, orang di desa selalu merasa tercukupi, nggak ada kesulitan makan, dll ini yang daku bilang masih tertutup kabut hasil peninggalan Orba.
Apa yang membedakan orang jaman dulu dengan jaman sekarang? Banyak, salah satunya adalah soal
akses informasi. Orang desa jaman orba apakah bisa tahu dengan mudah bahwa di awal 80-an hampir ada bencana kelaparan di daerah Eks Karesidenan Banyumas? Bandingkan dengan orang desa sekarang, yang dengan mudah mengetahui bahwa ada daerah terpencil namanya Yahukimo di Papua yang penduduknya kelaparan karena nggak ada ubi yang mesti dikais.
The bottom line is, orang jaman dulu selalu dibikin dibuai agar tenang atas nama stabilitas. Hal yang diagung-agungkan pemerintahan Soeharto. Akses informasi dibatasi salah satunya untuk kepentingan stabilitas baik itu politik maupun ekonomi.
Jaman Soeharto rakyat desa ada yang makmur, itu betul. Jaman sekarang atau jaman siapapun setelah era Soeharto, rakyat desa ada juga yang makmur. Bedanya adalah, rakyat jaman Soeharto nggak pernah tahu bahwa ada juga segolongan masyarakat lainnya yang makan tempe bongkrek dan nasi aking, sehingga rakyat desanya Soeharto selalu merasa semua baik-baik saja, karena yang terlihat di TV itu kemajuan dan kemakmuran yang terjadi di pelosok negeri, karena yang ada di bacaan koran pada program KMD (Koran Masuk Desa) itu hanyalah soal keberhasilan panen di sana sini.
Lantas jika ada pertanyaan, lha kalau keadaannya begitu yang nggak masalah toh? Yang penting khan kebutuhan mereka tercukupi. Nanti akan daku jawab soal ini setelah membahas quote dari user yang lain.
setujuuuuu....... seburuk2nya beliau memimpin,..negara kita gak pernah di remehkan oleh negara lain,...
pemerintahan mana dari semenjak Orla sampai sekarang (kecuali Orba tentu saja) yang diremehkan oleh negara lain? Apakah meremehkan yang dimaksudkan itu seperti yang dilakukan Malaysia?
Kalau yang dimaksudkan meremehkan adalah dalam hal yang sesepele itu, akan nggak adil rasanya kalau kita nggak memasukkan apa yang dilakukan oleh JP Pronk ataupun Michel Camdessus ke dalam kategori meremehkan bangsa ini yang pada saat itu Pak Harto masih berkuasa.
Setuju.....
alasan :
Hasil Pembangunan kelihatan dengan nyata
Harga bahan pokok terkendali
Harga BBM juga terkendali
Pembangunan merata di seluruh pelosok negeri
Masyarakat pedesaan menjadi prioritas dalam perbaikan kesejahteraan
beda khan ama yng sekarang......?
Baiklah, kita masuk ke hal yang lebih teknis dan kongkrit. Tapi sebelum lebih jauh daku bahas, yang perlu diketahui adalah sistem ekonomi yang dibangun Soeharto sepertinya baik-baik saja, tapi sesungguhnya apa yang terjadi di permukaan tidaklah sama dengan apa yang terjadi di dasar.
Akan daku jawab dulu yang orang selalu bandingkan yaitu soal
Harga bahan pokok terkendali
Harga BBM juga terkendali
Apa yang membedakan kedua hal di atas dengan jaman sekarang? kenapa jaman sekarang itu nggak bisa dilakukan? Jawaban yang bisa dihasilkan adalah nggak bakalan bisa fair membandingkan hal yang dilakukan pemerintahan Soeharto dengan rejim siapapun dalam kedua hal di atas.
Mengapa? Mari kita bicara hal yang lebih teknis.
Pada jamannya Soeharto, cadangan minyak kita itu masih banyak. Kita masih berposisi sebagai negara pengekspor minyak. Ditambah lagi Orba seperti mendapatkan durian runtuh saat terjadinya booming harga minyak di awal 70-an sampai 80-an.
Dari situ harga minyak pasar dalam negeri bisa stabil karena peran subsidi yang bisa dipakai untuk mengontrol harga. Juga begitu dengan harga bahan pokok, bisa dikontrol karena ada subsidi yang bisa didapatkan dari penerimaan sektor migas yang bisa mengkover.
Lantas apakah lalu bisa jadi fair dan obyektif ketika kita membandingkannya dengan situasi saat kita sudah berubah menjadi negara pengimpor minyak karena cadangan minyak bumi kita sudah nggak lagi mencukupi untuk hanya sekedar memenuhi kebutuhan dalam negeri?? Ketika kita memaksakan subsidi dalam situasi seperti itu, negara ini bisa berada dalam keadaan bangkrut.
Lepas dari itu, apakah memang masalah harga ini Orba lebih unggul dari rejim lainnya?? Tanpa memperhitungkan Orla yang sangat buruk dalam hal penanganan inflasi, apakah ada yang tahu bahwa pada masa Orba pernah terjadi devaluasi nilai mata uang sampai 2 kali??? Atau adakah yang tahu bahwa subsidi yang dilakukan pada harga beras itu dilakukan dengan menekan harga dasar gabah pada tingkat petani??
Orang hanya tahu bahwa beras murah, bahan pokok bisa terbeli, BBM murah dll tanpa tahu bahwa sistem yang dibangun untuk mewujudkan itu semua adalah sebuah sistem yang sangat rapuh, di mana jika terkena angin akan langsung goyah dan membuat semua yang berada di dalam sistem akan jauh lebih susah. Jangan dilupakan pula bahwa ekonomi negara ini ambruk parah ditandai Rupiah terjun bebas ke Rp 16.000 per dollar terjadi masih pada masa Orde Baru.
Dari hal yang kita bahas itu, kita mau nggak mau harus juga membahas soal APBN. APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.
APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit. Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.
Lantas soal
Hasil Pembangunan kelihatan dengan nyata
Memang tampak nyata, hanya tampak tapi tidak nyata.
Pembangunan sarana dan prasaran pada masa Orde Baru nyaris dibarengi dengan kebijakan tangan besi. Dalam arti, tampak nyata bagi sebagian kelompok, tapi untuk kelompok masyarakat lainnya adalah bencana.
Ketika ingin membangun sebuah sarana atau prasarana, pertimbangan sosiologi nggak pernah dipakai. Langsung aja main hantam.
Apakah ada yang ingat bagaimana banyaknya pembangunan waduk-waduk di jawa yang justru banyak meninggalkan penderitaan bagi masyarakat sekitar?
Ada yang tahu bagaimana menderitanya masyarakat beberapa desa di Kedung Ombo ketika daerahnya dijadikan waduk? Mereka menderita karena dipaksa untuk memilih antara bertransmigrasi atau dicap PKI.
Pembangunan merata di seluruh pelosok negeri
Itu yang tampak. Tapi kenyataannya nggak demikian.
Pada masa pemerintahan Orde Baru itu PAD yang harus disetor daerah ke pusat itu mencapai nilai 70 persen. Dan itu salah satu yang menyebabkan pembangunan tidak bisa merata.
Bisakah kita membayangkan dalam situasi sekarang bahwa pada masa itu pemerintahan daerah provinsi Riau dan Kalimantan Timur itu adalah termasuk dalam propinsi termiskin?? Bayangkan, untuk propinsi Kalimantan Timur yang sekarang punya kabupaten bernama Kutai Kertanegara yang punya penghasilan daerah melebihi penghasilan nasional negara ini, pada masa Orde Baru itu jadi propinsi miskin.
Intinya adalah, kita harus lebih empiris dalam membuat perbandingan jika ingin lebih mengetahui mana yang terbaik. Orang seperti daku memang nggak pernah sama sekali merasakan hidup di tanah ini ketika berlangsungnya pemerintahan Orde Baru, tapi justru dari tempat daku berdiri pada saat itu daku bisa memandang dengan baik karena tidak ada kabut sama sekali yang menutupi.
Bukan berarti pemerintahan Soeharto itu melulu jelek, karena Soeharto itu punya kelebihan seperti dalam hal dia bisa menjaga apa yang disebut stabilitas terlepas dari bagaimana cara melakukannya, dia juga bisa mengepalkan tangan besinya dengan tersenyum sehingga sebagian orang nggak bisa melihat bahwa apa yang dia lakukan adalah sebuah bentuk tirani karena terlena oleh senyumannya. Secara kepemimpinanpun Soharto ini luar biasa hebat baik dalam penampilan maupun cara memperlakukan bawahannya. Budaya Asal Bapak Senang itu nggak akan berjalan kalau orang yang menjadi pemimpin nggak punya wibawa yang luar biasa hebat. Dan itu dimiliki oleh Pak Harto.
After all, kita cukup membandingkan dalam sektor ekonomi, karena kalau kiat bandingkan dalam hal lainnya semacam sektor politik, kebebasan arus informasi dll, posisi Orde Baru akan selalu berada di bawah rejim apapun yang pernah memerintah di negeri ini.