Lembaga Peradilan Peminta Suap Tertinggi

Kalina

Moderator
Hasil Survei 1.760 Pengusaha di 32 Kota
JAKARTA - Lembaga peradilan Indonesia benar-benar memprihatinkan. Menurut hasil survei yang dilakukan Transparansi Internasional Indonesia (TII), peradilan menjadi lembaga yang paling sering meminta suap. Sebanyak 1.760 responden secara bulat (100 persen) mengaku dimintai pungutan tidak resmi oleh institusi penegak hukum itu.

Urutan kedua peminta suap terbesar adalah instansi Bea dan Cukai. Lalu, Imigrasi, Badan Pertanahan Nasional (BPN), kepolisian, dan perpajakan. Pada tingkat pemerintahan daerah, peminta suap terbesar adalah institusi Dinas Tenaga Kerja (84 persen) disusul Dinas Kimpraswil dan kantor pengurusan izin usaha.

Survei tersebut dilakukan mulai Oktober hingga Desember 2006 menggunakan metode wawancara tatap muka. "Kami mengambil sampel di 32 kota," ujar Todung Mulya Lubis, ketua Dewan Pengurus TII, saat merilis hasil penelitian di Hotel Four Seasons, Kuningan, Jakarta, kemarin.

Menurut pengacara senior itu, seluruh pengusaha menyatakan, mereka diminta memberikan sejumlah uang untuk mempermudah pengurusan perkara. "Rata-rata menjanjikan waktu penyelesaian lebih cepat atau bahkan tidak sampai pada proses pengadilan," katanya.

Permintaan suap itu, kata Todung, tidak dilakukan langsung oleh anggota penegak hukum, namun melalui perantara. "Harus diakui, banyak juga pengacara hitam di sini," ujar pria berkacamata tersebut.

Di level pemda, anggota Dinas Tenaga Kerja meminta suap dengan menjanjikan kemudahan izin usaha serta mempermudah urusan ketenagakerjaan. "Ada pengusaha yang mengaku tanpa memberi sejumlah uang, prosesnya tetap jalan, tapi makan waktu berminggu-minggu. Padahal, tahu sendiri, waktu bagi pebisnis berarti profit. Siapa sih yang mau rugi," ungkap alumnus Law School University of California, AS, tersebut.

Pria kelahiran 1949 itu menambahkan, suap di Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) biasanya menawarkan kemenangan tender. "Motifnya dua, sebelum proses dan setelah pemenang ditetapkan," jelasnya.

Jika pengusaha sudah memenangkan tender, suap diminta untuk melicinkan pembayaran dana proyek. Indeks suap untuk mendapatkan tender adalah 1,94 dan indeks suap untuk mencairkan dana proyek 2,10.

"Yang lebih mengerikan, responden menyampaikan, modus anggota peminta suap lebih canggih, semakin banyak yang meminta, dan jumlahnya semakin banyak," kata mantan direktur LBH Jakarta tersebut.

Survei TII juga menemukan fakta, komitmen kepala daerah untuk memberantas korupsi tidak diikuti sikap anak buahnya di lapangan. Misalnya, di Provinsi Gorontalo. Menurut pengusaha, komitmen Fadel Muhammad memberantas korupsi mendapatkan nilai 7,07. Namun, indeks pemberantasan korupsinya hanya 3,44. "Itu mencerminkan bahwa sosialisasi semangat tersebut tidak sampai di level bawah," kata Todung.

Di tempat yang sama, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Waluyo menyatakan terkejut atas hasil survei TII tersebut. "Harus diakui, pemberantasan korupsi berjalan di tempat," tegasnya.

Dia meminta agar TII ikut membantu mengampanyekan pemberantasan korupsi di semua level. Apalagi, kata dia, ada pihak-pihak yang berusaha melemahkan fungsi KPK. "Bahkan, ada yang menuntut pembubaran Pengadilan Tipikor," ungkapnya.
 
Back
Top