A_S_T
New member
Dapet lagi cerita yang bagus,nih...
Hasil copas yang saya rubah judulnya.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Ketika saya pulang di sebuah senja, saya masih
melihatnya duduk di sana.
Seorang wanita empat puluhan duduk dalam kiosnya di
tepi seruas jalan
di kotaku yang telah ribuan kali kulewati. Puluhan
tahun yang lalu ketika
usia saya masih belum genap sembilan tahun, kios itu
sudah ada disana.
Menjajakan majalah, koran, dan sejumlah barang
kelontong.
Ketika itu mobil kami berhenti di depan kiosnya dan
wanita itu datang
menghampiri membawa apa yang biasanya kami inginkan,
majalah Ananda dan
Bobo buat saya serta majalah Tempo dan Intisari untuk
ayah. Demikian
terjadi sepekan sekali sepulang sekolah selama
bertahun-tahun hingga
tiba saatnya saya beranjak remaja dan berganti selera
baca, saya tak
lagi menemui wanita itu.
Sekonyong-konyong di senja itu, tatapan mata saya ke
luar angkot yang
tengah membawa saya pulang ke rumah, menyapu kios itu
dan wanita yang
sama di dalamnya. Bedanya, kali ini ia tak lagi
menjajakan koran dan
majalah. Hanya rokok, minuman cola, air mineral, dan
sejumlah barang
lain. Apakah itu semacam kemunduran perniagaan, saya
tak tahu persis.
Yang tampak jelas bagi sel-sel kelabu saya adalah
kenyataan bahwa ia,
untuk menafkahi hidupnya, masih saja duduk di tempat
yang sama, setelah
lewat bertahun-tahun.
Suatu sore lain dalam sebuah gerbong kereta yang saya
tumpangi, saya
menatap puluhan gubuk dan rumah petak di sepanjang
lintasan rel yang
menuju stasiun Senen. Benak saya digelayuti iba dan
juga pertanyaan.
Sejumlah gerobak mie ayam melintas di jendela dengan
cepat. Apa yang
begitu menarik dari kota ini, begitu pertanyaan saya,
sehingga mereka
sanggup bertahan dalam kepapaannya di tengah gemuruh
Jakarta yang keras.
Apakah itu nasib? Adakah nasib yang membuat Ibu
penjaja koran yang
tinggal di Semarang dan mereka yang tinggal di
kompleks kumuh Jakarta tetap
bertahan di sana?
Bagaimana bisa kita memahami nasib? Saya tak bisa.
Tetapi keponakan
saya yang berumur lima tahun punya petunjuknya.
Saat itu saya sedang bermain berdua dengannya:
Ular-Tangga. Setelah
beberapa lama bermain dan bosan mulai merambati benak,
saya meraih
surat kabar dan mulai membaca-baca. Nanda, keponakan
saya itu, kemudian
berkata, "Ayo jalan! Gililan Om. Kalo nggak jalan
juga, Om bakal nggak
naik-naik, di situ telus, dan mainnya nggak
selesai-selesai."
Saya tersadar.
Ular-Tangga, permainan semasa kita kanak-kanak, adalah
contoh yang bagus
tentang permainan nasib manusia. Ada petak-petak yang
harus dilewati.
Ada Tangga yang akan membawa kita naik ke petak yang
lebih tinggi. Ada
Ular yang akan membuat kita turun ke petak di
bawahnya.
Kita hidup. Dan sedang bermain dengan banyak papan
Ular-Tangga. Ada
papan yang bernama kuliah. Ada papan yang bernama
karir. Suka atau tidak
dengan permainan yang sedang dijalaninya, setiap orang
harus melangkah.
Atau ia terus saja ada di petak itu. Suka tak suka,
setiap orang harus
mengocok dan melempar dadunya. Dan sebatas itulah
ikhtiar manusia:
melempar dadu (dan memprediksi hasilnya dengan teori
peluang). Hasil
akhirnya, berapa jumlahan yang keluar, adalah mutlak
kuasa Tuhan.
Apakah Ular yang akan kita temui, ataukah Tangga,
Allah lah yang
mengatur. Dan disitulah Nasib. Kuasa kita hanyalah
sebatas melempar dadu.
Malangnya, ada juga manusia yang enggan melempar dadu
dan menyangka
bahwa itulah nasibnya. Bahwa di situlah nasibnya, di
petak itu. Mereka
yang malang itu, terus saja ada di sana. Menerima
keadaan sebagai
Nasib, tanpa pernah melempar dadu.
Mereka yang takut melempar dadu, takkan pernah
beranjak ke mana-mana.
Mereka yang enggan melempar dadu, takkan pernah
menyelesaikan
permainannya.
Semarang, 9 November 2002
Setiap kali menemui Ular, lemparkan dadumu kembali.
Optimislah bahwa di
antara sekian lemparan, kau akan menemukan Tangga.
Beda antara orang yg
optimis dan pesimis bila keduanya sama-sama gagal, Si
Pesimis menemukan
kekecewaan dan Sang Optimis mendapatkan harapan.
sumber: http://www.ladangtuhan.com/komunitas/kumpulan-kotbah-renungan/sang-dadu/?wap2
-----------------------------------------------------------------------------------------
Saya suka sekali cerita ini, selain mengajarkan kita agar tidak mudah menyerah dalam hidup terkadang kita juga harus peka & jeli bahwa sebenarnya dari sekian banyak pertanyaan dalam benak kita yang kita cari jawabannya mungkin jawabannya ada disekitar kita,dari hal2 yang mungkin kita anggap sepele dan kurang berarti.
semoga bisa bermanfaat bagi kita semua.
nb: gak nolak kalau ada yang mau berbaik hati kasih bintang buat saya...
he..he..he..
Hasil copas yang saya rubah judulnya.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Ketika saya pulang di sebuah senja, saya masih
melihatnya duduk di sana.
Seorang wanita empat puluhan duduk dalam kiosnya di
tepi seruas jalan
di kotaku yang telah ribuan kali kulewati. Puluhan
tahun yang lalu ketika
usia saya masih belum genap sembilan tahun, kios itu
sudah ada disana.
Menjajakan majalah, koran, dan sejumlah barang
kelontong.
Ketika itu mobil kami berhenti di depan kiosnya dan
wanita itu datang
menghampiri membawa apa yang biasanya kami inginkan,
majalah Ananda dan
Bobo buat saya serta majalah Tempo dan Intisari untuk
ayah. Demikian
terjadi sepekan sekali sepulang sekolah selama
bertahun-tahun hingga
tiba saatnya saya beranjak remaja dan berganti selera
baca, saya tak
lagi menemui wanita itu.
Sekonyong-konyong di senja itu, tatapan mata saya ke
luar angkot yang
tengah membawa saya pulang ke rumah, menyapu kios itu
dan wanita yang
sama di dalamnya. Bedanya, kali ini ia tak lagi
menjajakan koran dan
majalah. Hanya rokok, minuman cola, air mineral, dan
sejumlah barang
lain. Apakah itu semacam kemunduran perniagaan, saya
tak tahu persis.
Yang tampak jelas bagi sel-sel kelabu saya adalah
kenyataan bahwa ia,
untuk menafkahi hidupnya, masih saja duduk di tempat
yang sama, setelah
lewat bertahun-tahun.
Suatu sore lain dalam sebuah gerbong kereta yang saya
tumpangi, saya
menatap puluhan gubuk dan rumah petak di sepanjang
lintasan rel yang
menuju stasiun Senen. Benak saya digelayuti iba dan
juga pertanyaan.
Sejumlah gerobak mie ayam melintas di jendela dengan
cepat. Apa yang
begitu menarik dari kota ini, begitu pertanyaan saya,
sehingga mereka
sanggup bertahan dalam kepapaannya di tengah gemuruh
Jakarta yang keras.
Apakah itu nasib? Adakah nasib yang membuat Ibu
penjaja koran yang
tinggal di Semarang dan mereka yang tinggal di
kompleks kumuh Jakarta tetap
bertahan di sana?
Bagaimana bisa kita memahami nasib? Saya tak bisa.
Tetapi keponakan
saya yang berumur lima tahun punya petunjuknya.
Saat itu saya sedang bermain berdua dengannya:
Ular-Tangga. Setelah
beberapa lama bermain dan bosan mulai merambati benak,
saya meraih
surat kabar dan mulai membaca-baca. Nanda, keponakan
saya itu, kemudian
berkata, "Ayo jalan! Gililan Om. Kalo nggak jalan
juga, Om bakal nggak
naik-naik, di situ telus, dan mainnya nggak
selesai-selesai."
Saya tersadar.
Ular-Tangga, permainan semasa kita kanak-kanak, adalah
contoh yang bagus
tentang permainan nasib manusia. Ada petak-petak yang
harus dilewati.
Ada Tangga yang akan membawa kita naik ke petak yang
lebih tinggi. Ada
Ular yang akan membuat kita turun ke petak di
bawahnya.
Kita hidup. Dan sedang bermain dengan banyak papan
Ular-Tangga. Ada
papan yang bernama kuliah. Ada papan yang bernama
karir. Suka atau tidak
dengan permainan yang sedang dijalaninya, setiap orang
harus melangkah.
Atau ia terus saja ada di petak itu. Suka tak suka,
setiap orang harus
mengocok dan melempar dadunya. Dan sebatas itulah
ikhtiar manusia:
melempar dadu (dan memprediksi hasilnya dengan teori
peluang). Hasil
akhirnya, berapa jumlahan yang keluar, adalah mutlak
kuasa Tuhan.
Apakah Ular yang akan kita temui, ataukah Tangga,
Allah lah yang
mengatur. Dan disitulah Nasib. Kuasa kita hanyalah
sebatas melempar dadu.
Malangnya, ada juga manusia yang enggan melempar dadu
dan menyangka
bahwa itulah nasibnya. Bahwa di situlah nasibnya, di
petak itu. Mereka
yang malang itu, terus saja ada di sana. Menerima
keadaan sebagai
Nasib, tanpa pernah melempar dadu.
Mereka yang takut melempar dadu, takkan pernah
beranjak ke mana-mana.
Mereka yang enggan melempar dadu, takkan pernah
menyelesaikan
permainannya.
Semarang, 9 November 2002
Setiap kali menemui Ular, lemparkan dadumu kembali.
Optimislah bahwa di
antara sekian lemparan, kau akan menemukan Tangga.
Beda antara orang yg
optimis dan pesimis bila keduanya sama-sama gagal, Si
Pesimis menemukan
kekecewaan dan Sang Optimis mendapatkan harapan.
sumber: http://www.ladangtuhan.com/komunitas/kumpulan-kotbah-renungan/sang-dadu/?wap2
-----------------------------------------------------------------------------------------
Saya suka sekali cerita ini, selain mengajarkan kita agar tidak mudah menyerah dalam hidup terkadang kita juga harus peka & jeli bahwa sebenarnya dari sekian banyak pertanyaan dalam benak kita yang kita cari jawabannya mungkin jawabannya ada disekitar kita,dari hal2 yang mungkin kita anggap sepele dan kurang berarti.
semoga bisa bermanfaat bagi kita semua.
nb: gak nolak kalau ada yang mau berbaik hati kasih bintang buat saya...
he..he..he..