nurcahyo
New member
MA Didesak Putus Perkara PK Pilkada Kutai Barat Pada Sidang Terbuka
Kapanlagi.com - Solidaritas Masyarakat Untuk Demokrasi (SMUD) mendesak Mahkamah Agung (MA) agar menggelar sidang terbuka ketika memutus perkara Peninjauan Kembali (PK) kasus sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), terutama Pilkada Kabupaten Kutai Barat.
Desakan tersebut disampaikan SMUD melalui aksi unjukrasa di depan gedung MA, Jakarta, Senin, yang diikuti puluhan orang. "Sidang terbuka penting untuk transparansi dan menjaga independensi MA," kata Ketua SMUD Feri Sal Eldin.
Selain itu, SMUD juga mendesak MA agar sidang PK tersebut bisa dilaksanakan dalam waktu dekat sehingga segera bisa didapat kepastian hukum yang bisa dijadikan pedoman bagi masyarakat Kutai Barat, Propinsi Kalimantan Timur.
Feri menjelaskan, Pilkada Kutai Barat pada 20 Februari 2006 yang dimenangkan pasangan Ismail Thomas dan Didik Effendi hingga saat ini masih meninggalkan banyak persoalan karena diyakini masyarakat banyak terjadi kecurangan dan tidak netralnya Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
"KPUD telah berani mengeluarkan keputusan hasil Pilkada Kutai Barat meski banyak kecurangan yang dilakukan salah satu pasangan calon," katanya. Kecurangan itu antara lain pemalsuan tandatangan salah satu calon, Rama Asia, dan tidak diberikannya ribuan kartu pemilih kepada masyarakat pemilih oleh KPUD.
Sayangnya, kata Feri, meski demikian KPUD tetap saja mengesahkan hasil Pilkada tersebut tanpa menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal yang sama, kata Feri, juga dilakukan Menteri Dalam Negeri yang mengeluarkan SK No.131.64.160/2006.
"Kami melihat SK Mendagri itu terkesan dipaksakan keluar tanpa melihat terlebih dulu akar permasalahan hasil Pilkada Kutai Barat yang telah menjadi sengketa melalui gugatan secara hukum," kata Feri.
SMUD sendiri pernah mendesak agar SK tersebut dibekukan, namun desakan mereka tidak mendapat tanggapan dari Mendagri.
"Ini jelas diskriminasi. Pada kasus Pilkada Depok Mendagri bersikap tegas yakni tidak mau mengeluarkan SK sebelum ada kepastian hukum. Tapi ini tidak dilakukan untuk Pilkada Kutai Barat. Apa ini karena Depok lebih dekat dan pengawasan publiknya lebih kuat jika dibanding Kutai Barat," katanya.
Kapanlagi.com - Solidaritas Masyarakat Untuk Demokrasi (SMUD) mendesak Mahkamah Agung (MA) agar menggelar sidang terbuka ketika memutus perkara Peninjauan Kembali (PK) kasus sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), terutama Pilkada Kabupaten Kutai Barat.
Desakan tersebut disampaikan SMUD melalui aksi unjukrasa di depan gedung MA, Jakarta, Senin, yang diikuti puluhan orang. "Sidang terbuka penting untuk transparansi dan menjaga independensi MA," kata Ketua SMUD Feri Sal Eldin.
Selain itu, SMUD juga mendesak MA agar sidang PK tersebut bisa dilaksanakan dalam waktu dekat sehingga segera bisa didapat kepastian hukum yang bisa dijadikan pedoman bagi masyarakat Kutai Barat, Propinsi Kalimantan Timur.
Feri menjelaskan, Pilkada Kutai Barat pada 20 Februari 2006 yang dimenangkan pasangan Ismail Thomas dan Didik Effendi hingga saat ini masih meninggalkan banyak persoalan karena diyakini masyarakat banyak terjadi kecurangan dan tidak netralnya Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
"KPUD telah berani mengeluarkan keputusan hasil Pilkada Kutai Barat meski banyak kecurangan yang dilakukan salah satu pasangan calon," katanya. Kecurangan itu antara lain pemalsuan tandatangan salah satu calon, Rama Asia, dan tidak diberikannya ribuan kartu pemilih kepada masyarakat pemilih oleh KPUD.
Sayangnya, kata Feri, meski demikian KPUD tetap saja mengesahkan hasil Pilkada tersebut tanpa menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal yang sama, kata Feri, juga dilakukan Menteri Dalam Negeri yang mengeluarkan SK No.131.64.160/2006.
"Kami melihat SK Mendagri itu terkesan dipaksakan keluar tanpa melihat terlebih dulu akar permasalahan hasil Pilkada Kutai Barat yang telah menjadi sengketa melalui gugatan secara hukum," kata Feri.
SMUD sendiri pernah mendesak agar SK tersebut dibekukan, namun desakan mereka tidak mendapat tanggapan dari Mendagri.
"Ini jelas diskriminasi. Pada kasus Pilkada Depok Mendagri bersikap tegas yakni tidak mau mengeluarkan SK sebelum ada kepastian hukum. Tapi ini tidak dilakukan untuk Pilkada Kutai Barat. Apa ini karena Depok lebih dekat dan pengawasan publiknya lebih kuat jika dibanding Kutai Barat," katanya.