nurcahyo
New member
Maraknya Gelombang Utang
oleh : Darwin Z. Saleh (diambil dari NU online)
Bukannya karena alergi pada yang namanya utang, tetapi memang perihal tersebut perlu kita cermati benar untung ruginya. Dalam setahun belakangan ini, di Indonesia yang lagi favorit adalah sumber pendanaan berupa utang melalui penerbitan instrumen obligasi. Bila investor yang membelinya berasal dari luar negeri,maka itu berarti utang Indonesia ke luar negeri bertambah lagi. Dana semacam ini bagus dalam jangka pendek, tetapi sifatnya sangat fluktuatif dan bergantung kepada tingkat suku bunga yang berlaku di sini, karena itu bisa berbahaya bagi kesehatan neraca pembayaran dan stabilitas nilai tukar rupiah.
Tahun 2002 lalu ada 7 perusahaan menerbitkan obligasi (surat utang) dengan nilai total Rp 5,5 trilyun, dua kali lipat lebih banyak dibanding tahun 2001 (3 perusahaan dengan nilai total Rp 2,9 trilyun). Di tahun 2003, ini sudah antri dalam proses sekitar 17 perusahaan lagi yang akan menerbitkan obligasi dengan nilai total sekitar Rp 7,5 trilyun. Boleh jadi, selain karena faktor-faktor lain, relatif ramahnya perkembangan suku bunga adalah faktor penyebab utama. Suku bunga SBI 3 bulan misalnya -- yang sering jadi acuan surat utang -- di awal 2002 masih setinggi 16,9%, terus meluncur hingga 12,9% di akhir 2002, dan dalam catatan terakhir (akhir Mei 2003) turun lagi menjadi 10,44%. Agaknya, kecenderungan semakin maraknya penerbitan surat utang masih akan terus berlanjut di tahun 2003 ini. Memang, kalau suku bunga rendah, perusahaan semakin berani meminjam karena beban bunganya lebih murah.
Maraknya gelombang utang juga tercatat dalam laporan rutin perdagangan obligasi dari BES (Bursa Efek Surabaya) yang spesialisasinya memantau penyelenggaraan perdagangan obligasi. Nilai transaksi rata-rata bulan di tahun 2002 mencapai Rp 506 milyar, lebih 6 kali lipat nilai rata-rata perdagangan di tahun 2001, Rp 82,5 milyar. Demikian pula catatan perdagangan selama kuartal I 2003, sebesar Rp 465 milyar/bulan, lebih dari dua kali lipat nilai rata-rata perdagangan bulanan selama kuartal I tahun 2002 (Rp 120 milyar) atau 10 kali lipat dibanding kuartal I tahun 2000 (Rp 43 milyar).
Berutang boleh saja asal mampu bayar. Bagi suatu perusahaan kemampuan bayar itu terlihat dari prospek dan penguasaan medan usahanya. Akan tetapi, ceritanya akan menjadi lebih kompleks kalau berutangnya itu dalam USD, karena menyangkut apakah si perusahaan mempunyai sumber usaha yang menghasilkan USD alias kegiatan ekspor. Apabila tidak, maka pada waktu jatuh tempo utang bisa muncul kelangkaan USD untuk bayar utang. Akhirnya hal itu akan melambungkan nilai tukar USD dan membuat rupiah terpuruk. Dampak terpuruknya rupiah itu bisa meluas, termasuk mengenai pihak-pihak yang tidak pernah berutang dalam USD sekalipun.
Kalau begitu bagaimana kalau obligasi atau surat utang yang diterbitkan itu dalam rupiah ? Hal itu pun masih menyimpan problem bila dibeli oleh investor asing. Memang, keberadaan investor asing pada saat masuk (capital inflow) mulanya menggairahkan dan mempercantik wajah neraca pembayaran suatu negara, serta memperkuat nilai tukar mata uang lokal. Di neraca pembayaran (balance of payment) RI, sejak kuartal akhir tahun 2001 memang terlihat mulai pesatnya arus masuk modal swasta asing yang berbentuk investasi portfolio (bisa ditanamkan dalam bentuk investasi obligasi, saham atau yang lainnya). Secara kumulatif, untuk tahun 2002 (hingga kuartal III tahun 2002, data terbaru yang dipublikasikan ) arus masuk modal swasta jenis itu berjumlah tidak kurang dari US$ 3,2 milyar. Sedangkan arus modal swasta jenis lainnya, yang berbentuk investasi langsung netto (foreign direct investment) berupa pabrik baru maupun perluasan masih tercatat negatif sejak kuartal IV tahun 1998 (hingga kuartal III/2002 tercatat minus US$ 4,9 milyar).Berkat arus investasi asing jenis portfolio itu, kontribusi modal swasta asing secara total akan menjadi positif, mengatasi pengaruh negatif arus investasi asing langsung.
Tetapi, ketika terjadi krisis kepercayaan, akan terjadi arus modal keluar (capital outflow) khususnya dari pemilik dana-dana jangka pendek, maka keadaan sebaliknya yang terjadi. Negara terkait bisa mengalami ancaman kekurangan cadangan devisa dan mata uangnya pun terpuruk! Di tahun 1998, saat krismon baru berlangsung di Indonesia, terjadi rush besar-besaran dana asing jangka pendek, sehingga arus modal portfolio swasta asing tahun itu tercatat minus US$ 13,5 milyar (atau 97% dari total modal swasta asing yang tercatat minus US$ 13,8 milyar); nilai tukar rupiah pun terpuruk ke angka 9870 an (dari nagka 2950 an di tahun 1997). Lebih buruk lagi bila, surat utang itu diterbitkan dalam USD dan dibeli oleh investor asing. Tekanan nilai tukar rupiah bisa terjadi baik itu karena investor asing suatu kali buru-buru hengkang akibat kris kepercayaan (terlepas dari beralasan atau tidaknya rasa khawatir itu), ataupun ketika surat utang itu jatuh tempo.
Tentu saja meriahnya perdagangan obligasi itu layak disyukuri, karena berarti semakin berkembangnya dukungan bagi alternatif partisipasi masyarakat dalam mendanai aktivitas perusahaan-perusahaan di Indonesia. Di satu pihak, sumber pendanaan berupa utang (obligasi dll.) maupun penyertaan modal (saham) dalam komposisi yang optimal akan menyehatkan struktur keuangan perusahaan, di satu pihak. Di lain pihak, masyarakat investor perlu leluasa memperoleh kembali uangnya dengan menjual obligasi yang dimilikinya kapan saja dia inginkan. Untuk itulah berkembangnya perdagangan pasar obligasi akan sangat membantu kepercayaan investor.
Kalau sejak kuartal akhir tahun 2001 memang terlihat mulai pesatnya arus masuk modal swasta asing yang berbentuk investasi portfolio (bisa dalam bentuk investasi obligasi, saham atau yang lainnya). Dan, selama tahun 2002 (hingga kuartal III tahun 2002, data terbaru yang dipublikasikan ), secara kumulatif arus masuk modal swasta jenis itu berjumlah tidak kurang dari US$ 3,2 milyar. Lantas kemana modal asing untuk investasi portfolio itu mengalir ? Mungkinkah ke pasar saham ? Catatan BEJ justru menunjukkan bahwa investor asing mulai terlihat mengurangi pembeliannya di BEJ sejak April 2002, di mana saat itu indeks rata-rata bulanan BEJ mencapai 534 (angka indeks bulanan tertinggi sejak April 2000), dan terus turun hingga setinggi 388 di bulan Desember 2002. Secara umum pasar saham gairah pasar saham melesu di tahun 2002; menurut catatan Bapepam, hanya ada 20 emiten go public pada tahun itu, lebih sedikit dari tahun 2001, dengan 32 emiten yang go public. Sebaliknya, perdagangan obligasilah yang marak (sebagaimana diuraiakan dimuka). Jadi sangat boleh jadi para investor, termasuk investor asing asing, sejak tahun 2002 asyik meramaikan pasar obligasi. Di tahun 2003, ini berdasarkan observasi di pelaku pasar modal belum terlihat adanya keberanian untuk go public jual saham, khawatir tidak laku dan kalah menarik dengan obligasi. Ini yang bisa berbahaya bila tidak dipantau, sebab semakin besar peranan investor asing, semakin besar pula guncangan yang potensial timbul bila mereka itu kelak hengkang berbarengan.
Masuknya modal asing yang berbentuk investasi portfolio memang layak dicermati, mengingat sifatnya yang fluktuatif dan relatif mudah berpindah. Lain halnya bila itu berupa investasi asing langsung yang umumnya ditanamkan dalam bentuk pabrik atau permodalan suatu perusahaan, yang walaupun ada negatifnya, relatif tidak mudah hengkang. Kita perlu cermat karena menerbitkan surat utang dalam rupiah ataupun USD yang kemudian dibeli investor asing, pada dasarnya berpotensi menjadi bom waktu bila pemicunya teraktifkan. Pengaman picunya itu, terletak pada tersedianya devisa hasil ekspor yang memadai untuk mengimbangi kebutuhan USD bagi obligasi yang jatuh tempo ataupun "rush" investor asing akibat khawatir akan sesuatu lantas ingin hengkang.
Seberapa gencar kecenderungan berutang ke luar negeri itu di tahun 2003 ini ? Hal itu setidaknya bisa telihat dari berminatnya (baca : rakusnya) investor asing pada obligasi yang diterbitkan di sini, termasuk obligasi yang ditawarkan Bank Mandiri beberapa waktu lalu. Penerbitan obligasi senilai total 300 juta dollar AS itu mengalami kelebihan permintaan (oversubscribed) hingga tiga kali lipat dari nilai yang ditawarkan, dengan yield 7,125 persen. (Kompas 1 Mei 2003). Pemerintah pun tak terlepas dari pihak yang didekati untuk menerbitkan obligasi global RI untuk berutang ke LN. Sejumlah bank asing dilaporkan tengah berebut membujuk Pemerintah RI untuk segera menerbitkan obligasi (sovereign bond) di pasar global. Meningkatnya kepercayaan investor terhadap Indonesia yang didorong oleh membaiknya kondisi perekonomian membuat bank-bank asing berebut menawarkan diri menjadi penjamin (underwriter) penerbitan obligasi Pemerintah RI.
Sudah waktunya lembaga-lembaga pemerintah terkait (Bank Indonesia, Depkeu ataupun Bapepam) terus memantau dan mensupervisi maraknya perkembangan surat utang di tanah air. Kiranya perlu segera dituntaskan langkah penyelesaian dan penyempurnaan peraturan perundangan yang sejalan dengan konsep Indonesia Financial Safety Net (IFSN), sebagaimana yang dijelaskan Menkeu dihadapan komisi IX DPR belum lama ini. Memang, Menkeu Budiono sudah tampak berkomitmen untuk itu dengan tercantumnya program penyelesaian dan pemantuan utang perusahaan dalam penyusunan APBN 2004 (khususnya butir 4, yang menyebutkan itikad memperkuat kemampuan pemantauan pinjaman luar negeri swasta. Tetapi, apakah sekadar tekad itu cukup memadai, mengingat sebelum ksimon 1998, BI pun memiliki perangkat peraturan yang cukup ketat untuk itu, nyatanya jebol juga pemantauan utang luar negeri kalangan swasta kala itu.
oleh : Darwin Z. Saleh (diambil dari NU online)
Bukannya karena alergi pada yang namanya utang, tetapi memang perihal tersebut perlu kita cermati benar untung ruginya. Dalam setahun belakangan ini, di Indonesia yang lagi favorit adalah sumber pendanaan berupa utang melalui penerbitan instrumen obligasi. Bila investor yang membelinya berasal dari luar negeri,maka itu berarti utang Indonesia ke luar negeri bertambah lagi. Dana semacam ini bagus dalam jangka pendek, tetapi sifatnya sangat fluktuatif dan bergantung kepada tingkat suku bunga yang berlaku di sini, karena itu bisa berbahaya bagi kesehatan neraca pembayaran dan stabilitas nilai tukar rupiah.
Tahun 2002 lalu ada 7 perusahaan menerbitkan obligasi (surat utang) dengan nilai total Rp 5,5 trilyun, dua kali lipat lebih banyak dibanding tahun 2001 (3 perusahaan dengan nilai total Rp 2,9 trilyun). Di tahun 2003, ini sudah antri dalam proses sekitar 17 perusahaan lagi yang akan menerbitkan obligasi dengan nilai total sekitar Rp 7,5 trilyun. Boleh jadi, selain karena faktor-faktor lain, relatif ramahnya perkembangan suku bunga adalah faktor penyebab utama. Suku bunga SBI 3 bulan misalnya -- yang sering jadi acuan surat utang -- di awal 2002 masih setinggi 16,9%, terus meluncur hingga 12,9% di akhir 2002, dan dalam catatan terakhir (akhir Mei 2003) turun lagi menjadi 10,44%. Agaknya, kecenderungan semakin maraknya penerbitan surat utang masih akan terus berlanjut di tahun 2003 ini. Memang, kalau suku bunga rendah, perusahaan semakin berani meminjam karena beban bunganya lebih murah.
Maraknya gelombang utang juga tercatat dalam laporan rutin perdagangan obligasi dari BES (Bursa Efek Surabaya) yang spesialisasinya memantau penyelenggaraan perdagangan obligasi. Nilai transaksi rata-rata bulan di tahun 2002 mencapai Rp 506 milyar, lebih 6 kali lipat nilai rata-rata perdagangan di tahun 2001, Rp 82,5 milyar. Demikian pula catatan perdagangan selama kuartal I 2003, sebesar Rp 465 milyar/bulan, lebih dari dua kali lipat nilai rata-rata perdagangan bulanan selama kuartal I tahun 2002 (Rp 120 milyar) atau 10 kali lipat dibanding kuartal I tahun 2000 (Rp 43 milyar).
Berutang boleh saja asal mampu bayar. Bagi suatu perusahaan kemampuan bayar itu terlihat dari prospek dan penguasaan medan usahanya. Akan tetapi, ceritanya akan menjadi lebih kompleks kalau berutangnya itu dalam USD, karena menyangkut apakah si perusahaan mempunyai sumber usaha yang menghasilkan USD alias kegiatan ekspor. Apabila tidak, maka pada waktu jatuh tempo utang bisa muncul kelangkaan USD untuk bayar utang. Akhirnya hal itu akan melambungkan nilai tukar USD dan membuat rupiah terpuruk. Dampak terpuruknya rupiah itu bisa meluas, termasuk mengenai pihak-pihak yang tidak pernah berutang dalam USD sekalipun.
Kalau begitu bagaimana kalau obligasi atau surat utang yang diterbitkan itu dalam rupiah ? Hal itu pun masih menyimpan problem bila dibeli oleh investor asing. Memang, keberadaan investor asing pada saat masuk (capital inflow) mulanya menggairahkan dan mempercantik wajah neraca pembayaran suatu negara, serta memperkuat nilai tukar mata uang lokal. Di neraca pembayaran (balance of payment) RI, sejak kuartal akhir tahun 2001 memang terlihat mulai pesatnya arus masuk modal swasta asing yang berbentuk investasi portfolio (bisa ditanamkan dalam bentuk investasi obligasi, saham atau yang lainnya). Secara kumulatif, untuk tahun 2002 (hingga kuartal III tahun 2002, data terbaru yang dipublikasikan ) arus masuk modal swasta jenis itu berjumlah tidak kurang dari US$ 3,2 milyar. Sedangkan arus modal swasta jenis lainnya, yang berbentuk investasi langsung netto (foreign direct investment) berupa pabrik baru maupun perluasan masih tercatat negatif sejak kuartal IV tahun 1998 (hingga kuartal III/2002 tercatat minus US$ 4,9 milyar).Berkat arus investasi asing jenis portfolio itu, kontribusi modal swasta asing secara total akan menjadi positif, mengatasi pengaruh negatif arus investasi asing langsung.
Tetapi, ketika terjadi krisis kepercayaan, akan terjadi arus modal keluar (capital outflow) khususnya dari pemilik dana-dana jangka pendek, maka keadaan sebaliknya yang terjadi. Negara terkait bisa mengalami ancaman kekurangan cadangan devisa dan mata uangnya pun terpuruk! Di tahun 1998, saat krismon baru berlangsung di Indonesia, terjadi rush besar-besaran dana asing jangka pendek, sehingga arus modal portfolio swasta asing tahun itu tercatat minus US$ 13,5 milyar (atau 97% dari total modal swasta asing yang tercatat minus US$ 13,8 milyar); nilai tukar rupiah pun terpuruk ke angka 9870 an (dari nagka 2950 an di tahun 1997). Lebih buruk lagi bila, surat utang itu diterbitkan dalam USD dan dibeli oleh investor asing. Tekanan nilai tukar rupiah bisa terjadi baik itu karena investor asing suatu kali buru-buru hengkang akibat kris kepercayaan (terlepas dari beralasan atau tidaknya rasa khawatir itu), ataupun ketika surat utang itu jatuh tempo.
Tentu saja meriahnya perdagangan obligasi itu layak disyukuri, karena berarti semakin berkembangnya dukungan bagi alternatif partisipasi masyarakat dalam mendanai aktivitas perusahaan-perusahaan di Indonesia. Di satu pihak, sumber pendanaan berupa utang (obligasi dll.) maupun penyertaan modal (saham) dalam komposisi yang optimal akan menyehatkan struktur keuangan perusahaan, di satu pihak. Di lain pihak, masyarakat investor perlu leluasa memperoleh kembali uangnya dengan menjual obligasi yang dimilikinya kapan saja dia inginkan. Untuk itulah berkembangnya perdagangan pasar obligasi akan sangat membantu kepercayaan investor.
Kalau sejak kuartal akhir tahun 2001 memang terlihat mulai pesatnya arus masuk modal swasta asing yang berbentuk investasi portfolio (bisa dalam bentuk investasi obligasi, saham atau yang lainnya). Dan, selama tahun 2002 (hingga kuartal III tahun 2002, data terbaru yang dipublikasikan ), secara kumulatif arus masuk modal swasta jenis itu berjumlah tidak kurang dari US$ 3,2 milyar. Lantas kemana modal asing untuk investasi portfolio itu mengalir ? Mungkinkah ke pasar saham ? Catatan BEJ justru menunjukkan bahwa investor asing mulai terlihat mengurangi pembeliannya di BEJ sejak April 2002, di mana saat itu indeks rata-rata bulanan BEJ mencapai 534 (angka indeks bulanan tertinggi sejak April 2000), dan terus turun hingga setinggi 388 di bulan Desember 2002. Secara umum pasar saham gairah pasar saham melesu di tahun 2002; menurut catatan Bapepam, hanya ada 20 emiten go public pada tahun itu, lebih sedikit dari tahun 2001, dengan 32 emiten yang go public. Sebaliknya, perdagangan obligasilah yang marak (sebagaimana diuraiakan dimuka). Jadi sangat boleh jadi para investor, termasuk investor asing asing, sejak tahun 2002 asyik meramaikan pasar obligasi. Di tahun 2003, ini berdasarkan observasi di pelaku pasar modal belum terlihat adanya keberanian untuk go public jual saham, khawatir tidak laku dan kalah menarik dengan obligasi. Ini yang bisa berbahaya bila tidak dipantau, sebab semakin besar peranan investor asing, semakin besar pula guncangan yang potensial timbul bila mereka itu kelak hengkang berbarengan.
Masuknya modal asing yang berbentuk investasi portfolio memang layak dicermati, mengingat sifatnya yang fluktuatif dan relatif mudah berpindah. Lain halnya bila itu berupa investasi asing langsung yang umumnya ditanamkan dalam bentuk pabrik atau permodalan suatu perusahaan, yang walaupun ada negatifnya, relatif tidak mudah hengkang. Kita perlu cermat karena menerbitkan surat utang dalam rupiah ataupun USD yang kemudian dibeli investor asing, pada dasarnya berpotensi menjadi bom waktu bila pemicunya teraktifkan. Pengaman picunya itu, terletak pada tersedianya devisa hasil ekspor yang memadai untuk mengimbangi kebutuhan USD bagi obligasi yang jatuh tempo ataupun "rush" investor asing akibat khawatir akan sesuatu lantas ingin hengkang.
Seberapa gencar kecenderungan berutang ke luar negeri itu di tahun 2003 ini ? Hal itu setidaknya bisa telihat dari berminatnya (baca : rakusnya) investor asing pada obligasi yang diterbitkan di sini, termasuk obligasi yang ditawarkan Bank Mandiri beberapa waktu lalu. Penerbitan obligasi senilai total 300 juta dollar AS itu mengalami kelebihan permintaan (oversubscribed) hingga tiga kali lipat dari nilai yang ditawarkan, dengan yield 7,125 persen. (Kompas 1 Mei 2003). Pemerintah pun tak terlepas dari pihak yang didekati untuk menerbitkan obligasi global RI untuk berutang ke LN. Sejumlah bank asing dilaporkan tengah berebut membujuk Pemerintah RI untuk segera menerbitkan obligasi (sovereign bond) di pasar global. Meningkatnya kepercayaan investor terhadap Indonesia yang didorong oleh membaiknya kondisi perekonomian membuat bank-bank asing berebut menawarkan diri menjadi penjamin (underwriter) penerbitan obligasi Pemerintah RI.
Sudah waktunya lembaga-lembaga pemerintah terkait (Bank Indonesia, Depkeu ataupun Bapepam) terus memantau dan mensupervisi maraknya perkembangan surat utang di tanah air. Kiranya perlu segera dituntaskan langkah penyelesaian dan penyempurnaan peraturan perundangan yang sejalan dengan konsep Indonesia Financial Safety Net (IFSN), sebagaimana yang dijelaskan Menkeu dihadapan komisi IX DPR belum lama ini. Memang, Menkeu Budiono sudah tampak berkomitmen untuk itu dengan tercantumnya program penyelesaian dan pemantuan utang perusahaan dalam penyusunan APBN 2004 (khususnya butir 4, yang menyebutkan itikad memperkuat kemampuan pemantauan pinjaman luar negeri swasta. Tetapi, apakah sekadar tekad itu cukup memadai, mengingat sebelum ksimon 1998, BI pun memiliki perangkat peraturan yang cukup ketat untuk itu, nyatanya jebol juga pemantauan utang luar negeri kalangan swasta kala itu.