Masih Pantaskah Yogyaku dijuluki Kota Pendidikan???

Administrator

Administrator
Bila kita menggumam sebuah kalimat kota pendidikan, maka fikiran kita akan mengarah ke kota gudeg, Yogyakarta. Namun dengan semakin pesat dan ketatnya persaingan dunia Pendidikan, apakah Yogyakarta masih layak mendapat predikat kota pendidikan?

Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah V DIY Didit Welly Udjianto mengatakan, sebutan Kota Pendidikan kini tidak hanya diklaim Yogyakarta. Beberapa daerah seperti Malang , Bandung , Tarakan bahkan Jakarta juga mengklaim hal yang sama. Hal itu, menurut dia, sah-sah saja. Apalagi jika daerah-daerah yang dimaksud mampu menunjukan prestasi dan perhatiannya di bidang pendidikan.

“Tapi jika pertanyaannya apakah Yogya masih layak. Dengan tegas saya katakan ‘ya’. Yogya tetap sebagai Kota Pendidikan dengan keunikan, prestasi dan kelebihannya,” katanya.

Menurut dia, ada beberapa alasan mengapa Yogya masih pantas menyandang predikat tersebut, Pertama, dilihat dari jumlah mahasiswa dan pelajar luar kota yang menempuh pendidikan di kota ini. Khusus untuk mahasiswa perguruan tinggi swasta saja tercatat lebih dan 300.000 orang. Berikutnya adalah jumlah perguruan tinggi dan program studi (prodi) yang ditawarkan. Berdasar data yang ada di Aptisi, terdapat 123 perguruan tinggi swasta dengan 560 program studi. “Itu belum termasuk data dan perguruan tinggi negeri yang ada diYogya,” katanya kepada Seputar Indonesia (SI).

Dari sisi prestasi, kata Rektor Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta ini, sejumlah kampus baik negeri dan swasta juga banyak yang telah ‘berunjuk gigi’ baik di skala nasional maupun internasional. Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, dari hasil survei internasional disébut sebagai perguruan tinggi nomor satu di Indonesia. Khusus untuk kampus yang ditangani (UPN) juga banyak menghasilkan ahli perminyakan.

“Selain banyak perguruan tinggi yang berprestasi, pilihan lain kuliah di Yogya tentu pertimbangan soal biaya hidup. Untuk makan dan kos di Yogya masih terjangkau di banding daerah lain,” ungkapnya. Dia mengakui, belakangan ini ada stigma-stigma negatif yang disematkan kepada para pelajar dan mahasiswa yang ada di Yogyakarta. Beberapa di antaranya soal stigma pergaulan bebas dan narkoba.

Persepsi ini diakui atau tidak, memang menimbulkan beban psikologis bagi para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di Kota Gudeg. Bagi para pelaku pendidikan di Yogya, persepsi ini juga dirasa sangat berimplikasi negatif.

“Sebenarnya saya masih meragukan adanya survei-survei seperti itu. Contoh, ada survei yang menyebut 90% mahasiswa Yogya tidak perawan. Yang jadi pertanyaan siapa yang jadi respondennya?” ujarnya.


Terlepas dan kebenaran basil survei tersebut, lanjut Didit, hal itu bisa dijadikan bahan untuk meningkatkan kewaspadaan. Salah satu bentuk mengantisipasi persepsi negatif adalah meminta pemerintah meinbuat regulasi yang mengatur keberadaan kos-kosan mahasiswa. Hal itu telah ditindaklanjuti pemerintah dengan menge]uarkan peraturan daerah (perda yang melarang keberadaan kos yang tidak berinduk semang.

sindo


Lha, wong sekarang induk semangnya aja suka terlibat begituan juga
Hayoooh,... mahasiswa, ada yang mau bantu membersihkan citra negatif tersebut ga?
 
Bls: Masih Pantaskah Yogyaku dijuluki Kota Pendidikan???

wkwkkw....
ya memang pergaulan sudah sangat bebas....
tapi seperti daerah lain, stigma negatif tersebut tidak bisa kita lebelkan pada semua mahasiswa atau anak kos. Yg bebas banyak... tapi yang masih memegang norma2 aku rasa juga masih banyak...
jadi klo masih layak atau ga disebut kota pelajar ya tentunya masih layak..
hanya saja yg mau ke jogja, berhati hati aja, pinter pinter jaga diri aja dan pasti juga ga akan ada masalah... hihiihi... gitu juga klo mau ke daerah lain.. karena aku rasa semua sama aja tergantung bagaimana tiap individu menjaga dirinya baik baik
 
Bls: Masih Pantaskah Yogyaku dijuluki Kota Pendidikan???

wkwkkw....
ya memang pergaulan sudah sangat bebas....
tapi seperti daerah lain, stigma negatif tersebut tidak bisa kita lebelkan pada semua mahasiswa atau anak kos. Yg bebas banyak... tapi yang masih memegang norma2 aku rasa juga masih banyak...

Setuja...
Mungkin kalau di jaman ini masih ada orang yang melihat tinggi rendahnya nilai moral penduduknya, hanya dengan melihat dimana mereka tinggal, orang itu perlu untuk lebih sering keluar rumah, nonton tv, buka internet, karena sekarang dunia sudah lama telah berubah jadi sebuah desa kecil.
 
Back
Top